Resident Squad
***Naldo menghela napas lelah kala ia melihat namanya terpampang pada daftar kandidat ketua eskul PMR (Palang Merah Remaja) yang akan diselenggarakan tiga hari lagi. Kepala Naldo serasa ingin pecah.
"Tuh muka kenapa, dah?"
Naldo mendengus jengah. Ia menatap Steby, lalu menatap namanya dengan perasaan miris pada daftar yang telah dibuat senior itu. "Gue nggak ngerti lagi, kenapa nama gue bisa nangkring didaftar ini."
Steby tersenyum miring. "Bukan cuma ini, sih. Lo harus liat ini."
Steby mengarahkan layar ponselnya ke wajah Naldo. "Liat, nih."
Naldo kini memokuskan pandangannya, mengamati tulisan yang terpampang di dalam grup pesan eskul english society. Mulut Naldo sedikit menganga, lagi-lagi ada namanya yang terpampang disana.
"Kok....bisa?", tanya Naldo menggaruk kesal kepalanya.
"Ya bisa, lah!", jawab Steby. "Lagipula, lo ini memenuhi kualifikasi sebagai kedua eskul itu. Tapi yah kembali lagi, lo harus milih salah satu."
Decakan pelan keluar dari mulut Naldo. Ia ingin memprotes ke pada senior, jika ia tak ingin mengambil jabatan apapun di eskul itu. Ia masuk eskul untuk mencari dan menambah pengalaman, beserta mengenal banyak teman baru. Cukup menjadi anggota saja Naldo sudah senang, tapi ditunjuk untuk memegang salah satu jabatan, bagi Naldo itu adalah malapetaka.
Naldo bangkit begitu saja. Ia harus menemui ketua eskul PMR dan english society sekarang juga.
Mata Steby membulat. "Mau kemana lagi sih lo?"
"Protes ke senior!", jawab Naldo sekenanya. Langkah panjangnya menuntun Naldo keluar kelas. Steby ikut bangkit, dan kini menggelengkan kepalanya. "Emang tuh anak kebangetan keras kepalanya."
*****
Naldo melangkah cepat. Ia harus menemui Kak Lintang, ketua eskul english society sekarang. Wajah Naldo tak tenang. Sebelum namanya dicopot, pemuda itu tak bisa merasa lega.
Langkah Naldo begitu cepat, hingga beberapa kali ia tak sengaja menubruk siswa yang berjalan tak jauh darinya. Naldo hanya bisa mengatakan kata maaf saat itu.
Tangan Naldo sudah menyentuh ruangan khusus eskul english society dilaksanakan. Naldo mengetuk pintu ruangan, dan tak lama kemudian pintu terbuka, menampilkan Lintang dan beberapa senior lain yang nampak berbincang santai disana.
"Eh, Naldo! Ayo masuk!", ajak Lintang. Naldo menurut, pemuda itu masuk. Beberapa senior menyapanya dan Naldo langsung menjabat tangan senior itu dengan sopan.
"Kenapa, Do?", tanya Lintang.
Naldo menghembuskan napas lelah. "Bang, kok nama gue tiba-tiba nongol jadi kandidat ketua eskul? Kan lo tau sendiri, sejak awal gue masuk sini cuma mau nambah pengalaman. Kalau lo nggak ngerekrut gue juga gue nggak bakalan berani ikut eskul ini, Bang."
Pengakuan Naldo membuat senior lain, termasuk Lintang tergelak.
"Jadi, itu alasan lo datang kesini?"
Kepala Naldo mengangguk cepat. "Iya, Bang."
Lintang meringis. "Gimana yah, Do? Yang ngusulin nama lo itu teman satu eskul yang lain, dan gue langsung setuju, karena gue pikir lo pantas jadi ketua eskul ini gantiin gue, kan bentar lagi gue pensiun, Do."
Naldo menggaruk kepalanya gemas. "Gue tau, Bang. Tapi yang lain banyak yang lebih pantas, lebih cocok. Gue mah apa, Bang? Kagak tau apa-apa."
Senyum Lintang terbentuk. "Naldo, gue yakin lo layak. Disaat orang yakin sama kemampuan lo, kenapa lo sendiri malah ngeremehin diri lo sendiri? Selama ini gue yang mengawasi, dan melihat gimana kalian. Jadi gue udah tau persis, siapa yang kayak buat gantiin gue." Lintang menepuk pelan pundak Naldo. "Karena pilihan teman eskul lain, gue jadi berpikir bukan cuma gue yang menganggap lo mampu, tapi mereka juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagi Dua
Teen FictionLeonardo Iriandi, pemuda manis yang jago urusan menggambar. Otaknya cerdas, tapi itu tidak membuatnya sombong. Kata teman-teman sekelas, Naldo, sapaan akrabnya, tak tertarik dengan hal cinta dan asmara. Kata Naldo, ia masih terlalu 'kecil' untuk mem...