Happy reading guys:)
Jangan lupa vote dan komennya. Kritik dan saran aku terima.
By : Penulis amatiran yang bermimpi jadi astronot.
***
Aku membawa Andi pulang, di sepanjang jalan aku menggerutu nggak jelas. Adikku ini memang banyak tingkahnya, suka bikin aku naik darah.
"Bu liat nih Andi, dia jajan Bu." aduku pada Ibu.
"Ya terus kalo jajan kenapa? Ya nggak papa dong Kak." Ibu berjalan ke arahku sambil meraih Andi yang ada dalam gendonganku.
"Bukan gitu Bu, kan aku nggak bawa uang. Aish, gimana sih bikin kesel aja Andi."
"Ngehutang dulu maksud kamu?" tanya Ibu.
Aku mengangguk "Tadi dibayarin temen aku yang kebetulan ada disana."
"Oh yaudah bayar dulu sana. Berapa hutangnya?"
"Limaribu." aku menengadahkan tangan pada Ibu yang sedang mengambil uang di sakunya.
"Nih." Ibu meletakkan dua lembar uang nominal limaribuan.
"Kok lebih sih Bu?" tanyaku heran.
"Oh, kamu nggak mau jajan? Yaudah sini balikin lagi."
"Ya mau lah, jangan diambil lagi. Kalo gitu Keani pergi dulu ya Bu." pamitku sembari berlari kecil.
Padahal Kak Evan nggak minta diganti, nggak papalah uangnya buat aku aja.
Hehe. Lumayan buat jajan siomay atau aku simpan aja ya? Siapa tau entar butuh. Yaudahlah aku simpan aja.Aku pun meletakkan uang itu di belakang ponselku yang ditutupi casing berwarna hitam.
Sesampainya di taman, aku langsung mendatangi tempat dimana Kak Evan duduk. Dia melambaikan tangannya padaku.
"Hai Kak." sapaku.
"Hai juga, sini duduk." balasnya sambil menepuk tempat kosong di sebelahnya.
Aku ragu, sebenarnya aku kurang nyaman kalau berduan sama lawan jenis kayak gini.
"Eh, kok malah ngelamun. Sini duduk nggak bakal aku gigit kok." Kak Evan tersenyum geli sembari menarik tanganku.
"Kamu itu temennya Sinta ya?" tanyanya padaku.
Bukan rahasia lagi, kalau Sinta itu lumayan famous di sekolah, dia punya banyak temen diangkatan kelas 10, 11, bahkan kelas 12.
Jadi ya nggak heran banyak yang kenal sama dia. Beda kayak aku, kakak kelas yang kenal sama aku bisa dihitung sama lima jari. Maklum, aku kan emang nggak menarik.
"Iya Kak." jawabku sambil mengangguk.
"Pantesan, kamu agak familiar gitu. Oh iya, nama kamu siapa?" tanyanya.
"Keani."
"Keani ya? Hm, nama kamu langka di sekolah." ujarnya.
"Iya Kak, emang. Namanya cuman satu doang dan pemiliknya itu aku." ucapku sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigi.
Kak Juna tertawa kecil, " Aku juga sering liat kamu di snapnya Sinta."
"Eh. Iyakah? Duh jadi malu." ucapku sambil mengusap tengkuk.
"Lucu ya kamu, receh banget kalo aku liat." Kak Evan tertawa lagi.
"Udah ah Kak. Malu tau." bibirku mencebik kesal.
"Iya deh iya." jawabnya sembari menghentikan tawa.
"Oh iya, Kak Evan kok bisa ada di sini?" tanyaku.
"Tadi aku habis dari rumah Adnan, tau kan?" jawabnya.
Kepalaku manggut-manggut, "Oh Kak Adnan. Tau lah, siapa yang nggak tau Kak Adnan anak pengajian idaman ibu-ibu."
Kak Ervan tertawa lagi, "Idaman ibu-ibu?"
"Iya, idaman ibu-ibu. Dia kan ganteng, suaranya bagus kalo ngaji terus rajin ke masjid. Anak gadis sini juga banyak yang suka." jelasku.
"Termasuk kamu?"
"Nggak lah."
"Sukanya sama siapa dong? Aku ya?" tanyanya sambil menaik turunkan alis.
"Idih, apaan? Kalo iya gimana?" aku tertawa geli mendengar penuturanku sendiri.
"Yaudah, kita pacaran aja." jawab Kak Evan dengan raut muka dibuat serius.
Sontak aku tertawa yang diikuti juga oleh Kak Evan. Kepalaku menggeleng mendengar perkataannya. Kak Evan ini tipe orang yang ramah pada siapa saja, pantas saja banyak suka.
Lalu aku dan Kak Evan berbicara tentang banyak hal. Ternyata bisa nyambung juga obrolannya. Kak Evan pandai mencari topik pembicaraan.
Rejekinya aku nongkrong sore ditemenin cogan hehe.
***
Setelah berbincang banyak hal dengan Kak Evan, saking serunya tak terasa bahwa hari sudah larut. Aku pun segera berpamitan pulang pada Kak Evan, dia pun sama hendak balik ke rumahnya.
Sebelum berpisah, kami saling bertukar nomor dahulu. Biar nggak putus komunikasi katanya. Wah, aku punya nomor cogan sekolah.
Di depan rumah, aku melihat sepatu yang suka Bapak pakai kalau kerja. Berarti dia sudah pulang.
Oh iya, Bapakku bekerja sebagai kuli bangunan. Gajinya tak seberapa, sehingga kami terus merasa kekurangan walau dipakai sehemat mungkin.
Makanya, Ibu sering marah kalau keuangan kami krisis. Kebutuhan banyak, namun uangnya yang tak kunjung cukup.
Aku masuk ke dalam rumah, di ruang tengah aku melihat semuanya sedang berkumpul. Mengobrol sembari minum kopi dan teh hangat juga pisang goreng sebagai temannya.
Senang rasanya melihat keluargaku seperti itu. Bibirku melengkungkan senyuman, aku melangkah mendekati mereka.
"Dari mana aja Kak, kok baru pulang?" tanya Ibu sembari memijat kaki Bapak.
Ibu kalau ada uang pasti jinak, ya aku sih nggak menyalahkan. Bukan hanya Ibuku saja yang seperti itu, pasti semua Ibu-Ibu juga memiliki sifat yang sama.
Ada uang Abang di sayang, nggak ada uang Abang di tendang.
"Nggak dari mana-mana kok Bu, cuman nongkrong di taman depan." jawabku sembari mencomot pisang goreng yang ada di piring.
Dengan jahil aku mendorong punggung Nesya yang sedang duduk lesehan di bawah, membuat sang empunya mendelik kesal. Aku hanya menjulurkan lidah kemudian ikut duduk lesehan sambil menonton televisi.
Kalau seperti ini, aku merasa hidup normal.
---
(14 Juni 2020)Astronot.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAYDREAM (ON GOING)
Teen FictionIni hanya tentang kisah keseharianku. Hidupku di rumah maupun di sekolah. Masalah yang datang dari yang kecil sampai yang besar. Jadi jika kamu ingin tahu lebih tentang hidupku maka ikutilah, tapi jika kamu tak tertarik tentangku maka berhentilah. ...