Happy reading guys:)
Jangan lupa vote dan komennya. Kritik dan saran aku terima.
By : Penulis amatiran yang bermimpi jadi astronot.
Ps* Kalau ada typo tandain ya sahabat:)
***
Author's pov
Hari minggu ini Keani berencana menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia bersama Rivan. Walaupun masih kesal setengah mati ia berusaha untuk menerima.
Sekarang dia sedang berada di rumah Rivan, kalau bukan karena tugas pasti Keani malas mendatanginya. Apalagi anak itu hanya bermalas-malasan, ingin rasanya dia tendang saja bocah tengik itu.
"Rivan, buruan kerjain. Jangan main game mulu dong." Keani merenggut dengan tangan yang mengepal gemas.
"Iya bentar nih. Bawel banget kamu, cuman gitu doang kok. Aduh bego banget malah mundur lagi." jawab Rivan masih terfokus pada permainannya.
Kesabaran Keani mulai habis, sedari tadi ia bertahan untuk tidak meneriaki Rivan karena sadar ini bukan rumahnya. Namun kali ini Rivan benar-benar menyebalkan.
Keani melempar buku Rivan dengan kasar, nafasnya memburu. Matanya menatap sengit pada Rivan yang tersentak.
"Kalau nggak niat ngerjain tugas ngomong aja. Aku dari tadi mikir dan kamu malah enak-enakan main game. Waktu buat nugas hampir habis dan kamu malah bilang 'gitu doang'?!" Keani menahan dirinya supaya tak berteriak.
Ia menghela nafas kasar kemudian menyambar tas miliknya untuk pulang, namun sebelum itu Rivan menahan lengannya dengan wajah panik.
"Eh, mau kemana? Tugasnya kan belum selesai. Ayok kita kerjain lagi." ujar Rivan sambil menarik Keani.
Keani menghempaskan tangan Rivan kemudian menatapnya datar, "Kita? Sana kerjain aja sendiri. Aku mau gabung aja sama yang lain, siapa tau Bu Astrid berubah pikiran."
Dengan sigap Rivan menarik tangan Keani lagi, "Maaf dong Lay, janji deh bakal fokus kalau sekarang. Nih ponselnya kamu pegang aja."
Keani hanya diam tak menanggapi membuat Rivan meringis bingung. Apa yang harus dia lakukan? Haruskah ia mengajak Keani bergulat? Atau mengoloknya dahulu supaya Keani merespon? Itu sepertinya ide yang buruk.
Tak putus asa, Rivan meletakkan paksa ponselnya di atas telapak tangan Keani. Dahi gadis itu berkerut dan mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, namun Rivan dengan cepat menyela, "Aku beneran janji Lay. Tuh kan ponselnya aja udah aku kasih ke kamu, sekarang kita ngerjain lagi ya."
Rivan menarik Keani dan memaksanya duduk kembali. Keani hanya memutarkan bola matanya tak berusaha berontak lagi.
Ternyata perkataan bahwa ia akan bergabung dengan kelompok lain membuat Rivan tersadar. Keani juga tak serius mengatakan itu, ia tahu bahwa sekeras apapun memaksa Bu Astrid tetap bersikukuh.
"Jadi apa yang harus ditulis?" tanya Rivan sambil mencari-cari pulpennya.
"Dih. Sok banget nanya tulis apa, pulpen aja nggak pegang." jawab Keani sembari menyedekapkan tangan di depan dada.
Rivan hanya memberikan senyum menyebalkan sebagai tanggapan. Keani mendengus malas, kemudian membuka tasnya lalu mengambil pulpen di dalamnya. Ia melempar pulpen itu ke arah Rivan.
"Tuh pulpen, makanya modal dikit dong. Kuota buat game aja kebeli, buat pulpen doang nggak ada. Dasar miskin."
Sontak Rivan memelototkan matanya, dan tangannya hendak meraih rambut Keani. Namun dengan cepat Keani memutarkan pergelangan tangan Rivan, membuat sang empunya memekik kesakitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAYDREAM (ON GOING)
Ficção AdolescenteIni hanya tentang kisah keseharianku. Hidupku di rumah maupun di sekolah. Masalah yang datang dari yang kecil sampai yang besar. Jadi jika kamu ingin tahu lebih tentang hidupku maka ikutilah, tapi jika kamu tak tertarik tentangku maka berhentilah. ...