Aku berdiri di sini tanpamu
Mengapa hampa?
Setiap kali aku mengingatmu dalam setiap langkahku
Mengapa merindu?Aku dan kebodohanku yang mengabaikan inginmu
Aku dan kebodohanku yang mengabaikan halusnya hatimu
Aku dan kebodohanku yang menunda bahagiamu
Lalu mengapa aku yang dipenuhi oleh sesak di dalam rongga-rongga hatiku?Wahai masa depan
Apa kabarmu?
Bisakah suatu saat nanti aku memijakmu?
Bersamanya...- Sally Adinda Natapraja -
Sudah sebulan berlalu, sejak malam di mana ledakan di laboraturium kimia itu memisahkan hidupnya dan hidup Alex. Debar rasa rindu itu semakin menggebu ketika Sally hanya bisa menatap sosok Pria tercintanya tanpa bisa mendengar suaranya.
Ya, Alex hidup, namun dalam keadaan koma. Hal yang membuat Sally tersiksa luar biasa. Setelah kebodohannya yang tak segera menjawab pernyataan cinta Pria itu, Tuhan menghadapkannya pada kenyataan bahwa Pria itu bernafas tanpa bisa melakukan apapun di sampingnya.
Tapi Sally tetaplah Sally, yang mencintai Alex apa adanya dan tak ingin menuntut apapun dari Pria itu. Karena baginya, cinta dari Pria itu saja sudah cukup untuk membuatnya bahagia.
* * *
Kedua mata Alex terbuka meskipun kesadarannya belum benar-benar kembali. Hendri menatapnya dengan cemas sementara Dokter dan beberapa orang perawat memeriksanya.
Alat-alat penopang hidup yang melekat pada tubuh Alex mulai dilepas satu persatu, menyisakan selang infus dan selang oksigen di hidung pria itu. Jemarinya bergerak seakan memberi tanda pada Hendri untuk mendekat ke arahnya.
Dokter mempersilahkan Hendri untuk mendekat seperti yang Alex mau.
"AL..., gimana perasaanmu saat ini?" itulah yang Hendri lebih ingin tahu dari Alex untuk pertama kalinya.
Kedua mata Alex benar-benar mengerjap kali ini, berusaha mengembalikan kesadaran dalam dirinya untuk memberi Hendri jawaban.
"Masih nggak enak Kak. Mana yang lain? Difta? Ian? Key? Far? Vey? Tita?" rasa ingin tahunya membuat ia tak bisa menahan diri.
Hendri menggenggam tangan Alex dengan kuat.
"Kamu yang pertama sadar AL, mereka masih koma," jawab Hendri, jujur.
Alex pun menutup kedua matanya kembali, di dalam pikirannya kembali berputar peristiwa hari itu dan yang terakhir ia sadari adalah ketika tubuhnya jatuh ke tanah setelah ledakan dan di sampingnya ada tubuh Veyza yang tak bergerak.
Hanya itu!
"Udah berapa lama Kak?" tanya Alex lagi.
"Satu bulan AL," jawab Hendri.
"Imey gimana? Cassandra baik-baik aja kan Kak?" Alex tak bisa melepaskan apa yang menjadi beban pikirannya.
Ia yakin, Keylan akan menanyakan hal yang sama saat bangun nanti.
"Kalian tidak gagal, apa yang kalian lakukan untuk menyelamatkan Cassandra malam itu berhasil. Imey meninggal dan jasadnya langsung di bawa oleh pihak kepolisian untuk dikembalikan pada keluarganya," jawab Hendri.
Alex pun menghembuskan nafas lega, setidaknya ia tahu kalau semua sudah baik-baik saja dengan meninggalnya Imey.
"Tapi di balik keberhasilan itu, ada harga mahal yang harus dibayar AL. Saya benar-benar dipenuhi rasa takut jika seandainya yang Dokter katakan itu benar, bahwa kesempatan hidup kalian tidak lebih dari lima belas persen. Sejak malam itu saya tidak pernah tinggal di rumah karena takut kehilangan kalian, takut tak punya kesempatan untuk melihat kalian lagi. Saya benar-benar takut AL," ungkap Hendri.
Alex mengerti bagaimana perasaan Hendri, karena jika ia yang ada di posisinya, maka mungkin ia akan jauh lebih menggila dari sekedar merasa takut.
Krekkk!!!
Pintu kamar perawatan itu terbuka, Hendri menyibak gorden pembatas dan melihat siapa yang datang.
"Hai Kak Hendri, aku datang lagi mau jenguk AL," ujar Sally dengan senyuman sedih di wajahnya.
Alex mendengar suara gadis itu, ritme detak jantungnya tiba-tiba mendadak meningkat. Ia rindu suara itu, ia rindu sosok itu.
"Apa kabar cintaku yang belum terjawab?" tanya Alex dalam hati.
"Ya..., masuk Sally. AL sudah menunggu kamu," jawab Hendri.
Sally pun tersenyum lalu menyibak gorden berwarna putih itu dan terkejut setengah mati saat melihat Alex yang telah membuka kedua matanya. Pria itu tersenyum ke arahnya. Tubuh Sally mendadak gemetar dan kedua matanya berkaca-kaca karena menahan tangis.
"Hai Sally, kenapa nangis? Lo nggak senang lihat gue bangun?" tanya Alex, parau.
Sally meletakkan buku yang ia bawa di sembarang tempat dan lebih memilih mendekat pada Alex untuk memeluk pria itu erat-erat. Airmata itu akhirnya benar-benar tumpah dari kedua mata Sally. Alex melingkarkan tangan kirinya yang bebas dari selang infus untuk membalas pelukan gadis itu.
"Gue kangen AL..., gue kangen sama lo," ungkapan pertama Sally pada Alex yang membuat pria itu tersenyum bahagia.
"Thank's Sally, gue juga kangen sama lo," balas Alex.
"Gue takut AL, gue takut banget selama satu bulan ini. Gue takut lo nggak bangun lagi, gue takut nggak bisa membalas ungkapan cinta lo waktu itu dan gue menyesal nggak jawab waktu itu," Sally mengakui.
Senyum Alex semakin merekah.
"Lo masih ingat? Gue pikir lo akan menganggap itu sebagai angin lalu," tanya Alex.
"Gue ingat AL, cuma gue memang bodoh karena menunda-nunda memberi jawaban ke elo. Gue menyesal AL..., gue menyesal," jawab Sally.
Alex membelai rambut Sally dengan lembut.
"Apalagi yang lo sesali? Kan sekarang lo ada di sini sama gue. Gue nggak pergi ninggalin lo, jadi lo nggak perlu takut," bujuk Alex.
Jemari Alex mengusap airmata yang membanjiri wajah Sally. Ia menatap kedua mata Sally yang selalu ia rindukan. Ia jatuh cinta pada gadis itu karena sikapnya yang berbeda dari yang lain. Di mana saat semua orang menghindari Cassandra karena Keylan membully-nya, hanya Sally lah yang bersedia mengulurkan tangan dan merangkulnya. Dan Alex jatuh cinta pada saat itu juga.
"Sally, gue cinta sama lo. Mau nggak lo jadi bagian hidup gue dan selalu menemani gue di mana pun gue berada?" Alex kembali mengungkapkan perasaannya.
Sally tersenyum lalu menganggukan kepalanya.
"Iya, gue juga cinta sama lo AL dan gue mau jadi bagian hidup lo sekaligus menemani lo di mana pun lo berada," jawab Sally, tanpa ragu-ragu.
Alex menangkupkan kedua tangannya di pipi Sally yang lembut. Ia mendekat perlahan untuk memberikan satu kecupan pertama di bibir gadis itu.
"WOY!!!"
Alex dan Sally menoleh bersamaan ke arah ranjang di samping ranjang yang Alex tempati.
"Jangan syuting sinetron di sini bisa, kan??? Sadar kek, kalau di ruangan ini bukan cuma ada lo berdua doang!!!" omel Keylan, yang entah sejak kapan terbangun dari komanya.
"Dia itu selalu menyebalkan setiap saat ya?" tanya Sally, jengkel.
"Selalu!" jawab Alex yang ingin sekali meninju wajah Keylan jika saja tidak ingat bahwa mereka masih dalam kondisi sakit.
Keylan segera menutup kembali gorden pembatas tempat tidurnya dan terkekeh senang karena bisa mengganggu Alex. Hendri hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Keylan yang tak pernah berubah.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
ALLY ; Ketika Pilihanku Hanya Jatuh Padamu
Teen Fiction[COMPLETED] Kulkas! Dia mirip kulkas! Sudah pendiam, dingin, kaku lagi! Tidak ada pria manapun yang bisa menandingi iritnya dalam berbicara. Tapi entah mengapa di balik diamnya seorang AL Seven B membuatku penasaran setengah mati untuk tahu segalany...