1. Tentang Hujan dan Pertemuan Pertama Kita

59 8 3
                                    

Harus ku mulai dari mana kisah ini? Aku bingung.

Mungkin dari suatu hari di tanggal sebelas bulan pertama. Masih awal tahun, jadi tidak mengherankan kalau hujan turun hampir setiap hari. Aku baru saja mau melangkahkan kaki keluar dari toko buku, ketika tetesan air menderas secara tiba-tiba. Dengan cepat aku memasukkan novel yang baru ku beli ke dalam tas selempangku.

Wajahku yang semula cerah, ikut mendung ketika menyadari kecerobohanku. Bagaimana mungkin aku lupa membawa payung, padahal Mama sudah berulang kali mengingatkan. Saat itu aku memang menggerutu dalam hati, mencaci diri sendiri karena selalu saja melupakan hal-hal penting. Meskipun bertahun-tahun kemudian, ketika mengingat kembali hari itu aku mensyukuri kecerobohanku.

Ketika sedang menimbang apakah aku harus menelepon Mama dan minta di jemput, ataukah lebih baik menunggu sampai hujan reda, kamu datang. Aku tidak terlalu memperhatikan ketika kamu berdiri memandangi hujan disampingku. Sampai kemudian aku mendengar suaramu.

"Hujannya deras ya." Katamu saat itu. Ketika memalingkan wajah menatapmu, aku mendapati dua buah iris mata sewarna malam. Hitam kelam, namun entah mengapa terlihat berkilauan. Kurasa karena pantulan lampu, atau mungkin juga karena petir dan kilat  yang sesekali terlihat.

"Iya, kak." Jawabku. Kedua matamu masih diam menatapku, sampai saat dimana suara guntur mengagetkan kita berdua. Setelah itu pun, kau malah tertawa menanggapi kecanggungan yang tiba-tiba tercipta.

"Mau nunggu di dalam?" Tanyamu. Tanpa kata, aku mengangguk dan mengikuti sampai kamu mengajakku duduk di kursi tunggu yang memang telah tersedia.

Canggung yang saat itu kurasakan, perlahan terkikis ketika kamu terus berusaha mengajakku berbicara. Hal-hal menarik yang rasanya sulit kubicarakan bersama teman-teman seumuranku.

"Kamu tahu paradoks?" Aku mengangguk lagi, ketika mendengar pertanyaanmu. Kebetulan yang menyenangkan, akhir-akhir ini aku sedang senang membaca buku bertema fiksi ilmiah yang sesekali membahas paradoks dan dimensi lain.

"Paradoks kesukaanku itu, yang mengenai perubahan. Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri."

Aku tidak tahu, kenapa aku membiarkanmu terus berbicara mengenai teori paradoks hasil pikiranmu sendiri. Padahal saat itu aku belum mengenalmu. Hanya saja rasanya menyenangkan melihatmu berbicara. Bagaimana matamu tampak antusias saat mulutmu mengeluarkan rangkaian kata. Bagaimana tanganmu bergerak lincah saat berusaha menggambarkan pemikiranmu. Dan bagaimana lesung pipimu muncul dengan indah saat melepas sebuah senyum maupun tawa.

Kalau di ingat lagi, sepertinya itu adalah saat dimana aku menjatuhkan hatiku padamu. Hatiku jatuh pada dua bola matamu, pada manis senyummu, pada serak suaramu.

Hatiku jatuh, bahkan sebelum aku menyadarinya. Tak ada debaran jantung yang menggila. Tak ada wajah yang tersipu kemerahan. Hatiku jatuh pada kenyamanan yang kau ciptakan.

"Karena tidak ada yang berubah kecuali perubahan itu sendiri, jadi menurutmu perubahan itu berubah atau tidak?" Tanyamu lagi. Aku diam, memikirkan pertanyaanmu tersebut. Sampai kemudian kamu kembali bersuara.

"Kalau menurutku, perubahan itu berubah sekaligus tidak berubah." Aku mengerutkan kening mendengar jawabanmu tersebut, sementara kamu tertawa melihatku kebingungan.

"Maksud kakak?" Tanyaku, sedikit jengah karena ditertawakan olehmu.

"Ya, perubahan itu berubah sekaligus tidak berubah. Gimana ya jelasinnya." Katamu, bingung sendiri. Gemas sekali rasanya melihatmu antusias sekaligus bingung seperti saat itu. Dahimu mengerut, bibirmu tersenyum canggung, sementara tanganmu bergerak membentuk pola tidak beraturan.

"Jadi misalnya gini." Aku kembali memfokuskan pandangan pada dua bola matamu.

"Misalnya aku nih ya. Dulu aku cuma anak kecil yang dekil, hobinya main bola panas-panasan tiap pulang sekolah. Sekarang aku jadi remaja ganteng, —jangan ketawa dong!" Serumu ketika melihatku tertawa geli. Lucu saja mendengarmu begitu sadar diri seperti itu.

"Maaf, maaf. Lanjutin lagi dong, kak." Kataku setelah berhasil mengontrol tawa. Syukurlah kamu bukan tipe orang yang mudah merajuk, karena setelah itu kamu kembali berbicara dengan semangat.

"Udah sampai mana tadi? Oh, iya. Sekarang aku udah remaja, lebih banyak menghabiskan waktu di kegiatan ekstrakulikuler sekolah. Sepuluh tahun lagi, mungkin aku sudah berkerja dan menikah. Dua puluh tahun nanti, mungkin aku sudah jadi bapak-bapak yang tiap weekend harus family time sama anak." Aku hampir saja tertawa lagi ketika membayangkan kamu yang berusia akhir tiga puluh, bermain di timezone bersama sepasang anak lelaki dan perempuan. Namun melihatmu yang mendelik kesal, aku akhirnya hanya memasang cengiran lebar.

"Aku sepuluh tahun yang lalu, aku yang sekarang, maupun aku sepuluh tahun yang akan datang, adalah bagian dari diriku. Aku mungkin berubah, tapi pada akhirnya aku tetaplah aku." Katamu sambil tersenyum senang. Baru kusadari bahwa senyum itu menular, karena aku ikut tersenyum ketika kamu tersenyum.

"Jadi, kakak berubah tapi gak berubah." Simpulku pada akhirnya.

"Betul sekali. Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri."

Ya, kurasa kamu benar.

Tidak ada yang berubah. Bahkan setelah bertahun-tahun telah berlalu, tetap ada hal-hal yang tidak berubah. Salah satunya hatiku.

Dulu, hatiku lemah, rapuh, mudah patah. Sekarang, hatiku sudah lebih kuat, tidak lagi serapuh dulu, bahkan patahannya berhasil kuberbaiki. Namun disisi lain, hatiku tetaplah sama. Hatiku tetaplah hati yang terjatuh padamu, berulang kali, tanpa bisa kukendalikan.

Meskipun diriku —pada saat itu aku hanyalah gadis lima belas tahun yang baru saja masuk sekolah menengah atas— sama sekali tidak menyadari bahwa kamu nantinya akan menjadi tawa sekaligus tangis dalam hidupku.

Satu-satunya yang kusadari saat itu hanyalah, matamu indah, senyummu manis, dan aku tidak bisa menepis rasa nyaman ketika berbicara denganmu.




[18 Juni 2020]

Aphelion✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang