26. Aku Akan Merindukanmu

15 4 0
                                    

Seminggu setelah hanya aku dan kamu yang tersisa dari anggota divisi, untuk kesekian kalinya kamu membuatku jatuh dan patah.

Tanggal enam bulan ketujuh. Beberapa minggu lagi kamu akan menghadapi ujian akhir, lalu setelah itu aku kembali sendirian. Satu hal yang tidak aku sangka, aku sudah kehilanganmu jauh sebelum kamu pergi meninggalkanku.

"Kak Agam, mau mampir ke rumah?" tanyaku begitu turun dari angkutan umum. Seperti biasanya, kamu akan menemaniku sampai di depan lorong, sebelum kemudian melanjutkan dengan berjalan kaki ke rumahmu yang berjarak beberapa lorong dari lorong rumahku.

"Enggak dulu ya, Nara," jawabmu sembari mengimbangi langkahku yang kecil. Satu dari sekian banyak hal yang aku sukai ketika berjalan denganmu, kamu tidak pernah keberatan memperlambat langkah untukku.

"Oh, oke." Melihat raut kekecewaan pada wajahku, kamu menarikku menuju sebuah minimarket —tempat dimana aku melihatmu hancur untuk kali pertama.

"Duduk sini." Aku tetap diam dan mendudukan diri tepat di sampingmu. Tempat ini, bangku ini, pernah menjadi saksi betapa hubungan kita sebelumnya baik-baik saja.

"Kenapa kak?" tanyaku setelah keheningan selama beberapa saat. Kamu tampak menarik nafas perlahan, sebelum kemudian menatapku dalam.

"Kamu tahu kan, beberapa minggu lagi aku ujian akhir." Aku mengangguk mendengarnya.

"Mulai minggu depan, aku akan pulang terlambat karena jadwal pelajaran tambahan."

"Jadi, Nara pulang sendiri?" Ada sedikit —atau mungkin banyak— rasa tidak rela ketika kamu mengangguk mengiyakan.

"Iya. Gak apa-apa kan?"

"Gak apa-apa." Tampaknya kamu menyadari keengganan dalam suaraku, karena setelahnya kamu mengalihkan pandangan pada barisan kendaraan yang lewat silih berganti.

"Tahu kan harus naik angkutan umum apa kalau mau pulang?" Aku menggangguk mendengar pertanyaanmu itu, namun kamu tidak tampak puas hingga akhirnya aku menjawab.

"Tahu."

"Jangan sampai lorong rumahmu terlewat." Nada suaramu mengingatkanku pada Papa ketika memberitahuku akan sesuatu yang menurutnya akan aku lupakan.

"Iya," jawabku seraya tersenyum kecil.

"Pastikan kamu turun tepat didepan minimarket ini." Netra hitammu menatapku tegas, hingga aku mengurungkan diri untuk membantah.

"Siap."

"Tahu cara menyeberang kan?" Kali itu sebuah senyum geli berhasil lolos dari bibirku, membuatmu ikut tersenyum.

"Tahu."

"Bagaimana?" tanyamu lagi. Aku tidak bisa untuk tidak menatap kesal ketika menyadari kamu selama ini menganggapku sebagai anak kecil yang tidak tahu menyeberang.

Hei, aku bukannya tidak tahu. Aku hanya tidak berani untuk menyeberang sendirian.

"Lihat dulu kiri dan kanan, setelah sepi baru menyeberang." Kamu tersenyum puas mendengar jawabanku, sebelum kemudian menambahkan dengan serius.

"Jangan lupa angkat tanganmu."

"Jangan lupa angkat tangan, check." Kamu tertawa, begitu juga diriku. Setelah itu, kembali sunyi yang menjadi bahasa di antara kita.

"Nara," panggilmu tiba-tiba.

"Ya?"

"Aku khawatir padamu." Aku tetegun sejenak, sebelum kemudian mengalihkan pandangan pada  sepasang kaki yang diselimuti sepatu hitam.

"Aku akan baik-baik saja," jawabku pelan. Kamu menghela nafas sekali, membuatku kembali mengalihkan atensi pada dirimu.

"Setelah aku lulus, bertemanlah dengan banyak orang. Binar, Cakra dan Asav akan sulit untuk menemanimu seperti saat ini." Sorot matamu khawatir, membuat hatiku terbelah bimbang. Di satu sisi aku senang karena setidaknya masih ada aku di pikiranmu. Di sisi lain aku tidak mengerti apa perhatianmu itu karena kamu benar-benar perduli atau karena selama ini aku hanya dekat denganmu.

"Iya."

"Belajar yang baik, agar suatu saat nanti aku bisa melihatmu menggunakan jas dokter."

"Iya."

"Jangan lupakan mimpimu. Aku ingin sekali membaca tulisan Nara dalam bentuk buku. Pastikan suatu saat nanti tulisanmu diterbitkan." Kembali aku terdiam. Yah, pada akhirnya kamu yang menjadi isi dari tulisanku. Apa kamu akan membacanya?

"Iya."

"Jangan dulu jatuh hati. Kamu hanya perlu fokus sekolah saat ini." Mengapa kamu selalu saja berhasil membuatku tertohok dengan kenyataan yang berusaha aku abaikan?

"Diusahakan." Kamu tampak keberatan dengan jawabanku sehingga aku segera melanjutkan, "Masalah hati kan enggak ada yang tahu."

Kamu mengendikan bahu, sebelum lagi-lagi keheningan mengisi tempat di antara kita. Langit biru sudah berganti menjadi jingga, memantulkan warnanya pada kedua netra hitammu. Lalu lalang kendaraan tidak berkurang, marah semakin ramai. Namun, baik aku maupun dirimu tidak ada yang berniat untuk beranjak pergi.

"Aku akan rindu Nara."

Aku tercekat sesaat, kehilangan kata-kata ketika mendengar ucapan lirihmu. Dengan segera kamu berdiri, mengajakku untuk pulang ketika pada akhirnya aku menemukan keberanian untuk membisikan kalimat itu.

"Aku juga akan rindu Kak Agam."








[17 Juli 2020]

Aphelion✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang