Suasana UGD malam ini sepi. Di meja resepsionis, beberapa dokter dan perawat yang kebetulan mendapat jadwal jaga sedang mengobrol sembari memakan cemilan malam. Aku sendiri lebih memilih untuk duduk menyendiri di pojokan ruang jaga, menuliskan kenanganku tentangmu seperti malam-malam sebelumnya.
"Nara, ada pasien yang sedang dalam perjalanan. Pria dua puluh delapan tahun, mengalami trauma kepala akibat benturan, patah tulang rusuk, dan luka tembak pada kaki dan lengan. Tolong bantu Dokter Leo di ruang operasi," kata salah satu suster sebelum beralih dengan cepat menuju bagian depan UGD ketika raungan sirine terdengar membelah malam. Aku segera mengambil jas dokterku dan berlari menyambut pasien yang baru saja diturunkan dari ambulans.
Tak dapat kupungkiri betapa terkejutnya aku ketika melihat siapa pasien yang akan aku tangani malam ini. Aku memang merindukanmu, tapi bukan berarti aku ingin bertemu dalam kondisi seperti ini. Dengan wajah merah karena darah, mata terpejam, dan masker oksigen yang terpasang kamu terlihat begitu rapuh.
"Cepat lakukan pemeriksaan awal! Panggil Dokter Leo! Siapkan ruang operasi!" seruku pada beberapa perawat yang sedang bertugas. Ruang UGD seketika ricuh, apalagi ketika beberapa orang berjas masuk secara paksa; dua orang pria dan tiga orang wanita.
"Tolong selamatkan rekan saya," kata seorang pria berperawakan tinggi besar. Tangannya yang berlumuran darah menangkap lenganku, meninggalkan bercak kemerahan pada jas dokterku.
"Apa anda terluka?" tanyaku cepat. Pria itu menggeleng, namun tidak melepaskan cengkramannya.
"Selamatkan rekan saya," katanya lagi, membuatku mengangguk mengerti. Dapat kusimpulkan bahwa pria ini merupakan rekanmu.
"Kalau begitu anda bisa tunggu diluar," kataku sembari berusaha melepaskan diri. Sungguh, tenaganya begitu besar sampai-sampai lenganku terasa sakit.
"Raga, biarkan mereka menangani Agam." seorang wanita tiba-tiba datang dan menarik pria ini sampai terlepas dariku. Aku terpaku pada wajah wanita itu dan seketika merutuk dalam hati. Ah, apa semesta ingin bermain-main dengan hatiku malam ini?
"Maafkan rekan saya Dok— eh?" wanita itu tertegun sejenak ketika menatapku. Tampaknya bukan hanya aku yang mendapat kejutan.
"Nara?" Aku mengangguk sembari memaksakan seulas senyum pada wanita itu.
"Ruang operasi sudah siap. Dokter Nara sudah ditunggu oleh Dokter Leo," ucap seorang suster, berhasil menyelamatkanku dari kecanggungan yang mulai tercipta. Aku mengiyakan dengan cepat sebelum kembali memberikan seulas senyum pada wanita itu.
"Aku permisi dulu," Kataku, dan tanpa menunggu respon dari wanita itu aku segera berbalik menuju ruang operasi. Samar dapat kudengar keributan petugas kemanan beserta perawat dan dokter yang berjaga agar orang-orang berjas itu keluar dari ruang UGD dan membiarkan yang terluka diobati.
*
Dokter Leo merupakan salah satu dokter terbaik di rumah sakit ini. Aku bersyukur karena kamu dapat tertangani dengan baik, dan aku menjadi salah satu dokter yang bertanggung jawab terhadapmu. Hanya saja aku tidak siap kalau harus menghadapi wanita itu.
"Jadi, bagaimana keadaan rekan saya?" tanya pria berperawakan tinggi besar yang kemarin wanita itu panggil dengan nama Raga. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran terhadap dirimu, sementara wanita itu berdiri disampingnya dengan eskpresi yang tidak jauh berbeda.
Tidak heran sebenarnya, mengingat operasimu semalam berlangsung selama tiga jam. Dibandingkan dengan pasien yang biasa ku tangani, tingkat kesulitan kasusmu ini masuk ke level menengah. Bukan operasi sulit, hanya saja kami dilamakan oleh jumlah luka yang tidak sedikit.
"Pasien baik-baik saja. Untuk beberapa hari akan berada di ruang ICU untuk diamati karena pasien sempat kehilangan banyak darah. Kalau kondisinya sudah stabil dapat dipindahkan ke kamar rawat," jawab Dokter Leo, membuat kedua rekanmu menghela nafas lega.
"Terima kasih, Dokter," Kata wanita itu. Satu hal lagi yang aku syukuri, aku hanyalah asisten Dokter Leo sehingga tidak perlu terlalu banyak berinteraksi dengan kedua rekanmu itu.
Baru saja aku hendak berbalik mengikuti Dokter Leo, wanita itu sudah menahan lenganku. Aku menatapnya sejenak, sebelum kemudian memberi kode untuk mengikutiku.
"Aku ganti pakaian dulu, baru kita bicara," kataku pada wanita itu sembari menuntun arah menuju ruangan kerjaku. Wanita itu hanya diam sampai kemudian aku mendudukan diri dihadapannya dengan dua cangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas.
"Apa kabar?" Tanyaku memecah kesunyian. Ruangan berukuran tiga kali tiga meter dengan nuansa serba putih itu membuat kecanggungan terasa semakin meningkat.
"Baik. Kamu sekarang dokter?" aku mengangguk mendengar pertanyaan wanita itu.
"Kamu sendiri?" wanita itu bergeming, tampak ragu untuk menjawab. Seketika aku berhasil menyimpulkan satu hal ketika melihat kebimbangan diwajah wanita itu.
"Kamu rekan Kak Agam, artinya pekerjaanmu sama seperti dia," simpulku. Wanita itu tersenyum mendengar perkataanku tadi.
"Kurang lebih seperti itu," katanya.
"Pantas saja aku jarang mendengar kabarmu." wanita itu tertawa kecil menanggapi ucapanku.
"Yah, kabar seperti apa yang bisa kamu harapkan dari orang dengan pekerjaan seperti ini?"
"Yang jelas bukan kabar yang dibawa oleh tubuh bersimbah darah seperti semalam," jawabku. Seketika suara tawa menghiasi ruang kerjaku yang selalu sepi sejak pertama kutempati. Aku sendiri lebih senang menghabiskan waktu dengan memeriksa keadaan pasien atau mengobrol bersama para dokter dan perawat yang lain, sehingga ruanganku hanya berfungsi sebagai ruang ganti dan istirahat —dan sesekali untuk menerima tamu seperti saat ini.
"Apa kamu dan Kak Agam memiliki hubungan spesial?" tanyaku tanpa sempat berpikir kembali.
"Maksudku, kalian kan dekat sejak sekolah menengah. Tidak mengherankan kalau akhirnya kalian berakhir sebagai pasangan. Aku hanya penasaran." Tambahku cepat ketika mendapati raut tidak nyaman di wajah wanita itu.
Wanita itu berdeham sekali sebelum kemudian menjawab pertanyaanku. Untuk sekali ini, aku merutuki otakku yang seakan tidak berfungsi dan menyerahkan segala keputusan pada perasaan semata. Sungguh, aku tidak ingin mendengar jawaban wanita itu.
"Hubunganku dan Kak Agam hanya sebatas teman dan rekan kerja. Tapi aku memanglah memiliki perasaan khusus padanya," jawab wanita itu dengan wajah bersemu merah.
"Ah, Binar dan Kak Agam memang cocok sebagai pasangan," kataku sembari menahan air mata agar tidak jatuh dihadapannya. Cukup hatiku yang patah saat ini. Setidaknya aku harus bisa mempertahankan harga diriku agar tidak ikut dicabik-cabik oleh kenyataan.
Sungguh, baru semalam aku membiarkan sebuah harapan berakar dalam hatiku hanya untuk dimatikan kembali pagi ini.
Tampaknya hanya perasaanku yang tetap bertepuk sebelah tangan meski bertahun-tahun telah lewat.[04 Juli 2020]
*Kurang riset soal dokter-dokter, maaf ya kalo jadinya aneh atau gak nyambung ╥﹏╥ Mbak Nara gak berniat move on aja? Dokter Leo jomblo tuh:v
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion✔
Roman pour AdolescentsKalau boleh ku ibaratkan, dirimu sebagai Matahari, diriku sebagai Bumi, dan hubungan kita seperti Aphelion -titik terjauh Bumi dari Matahari. Bolehkah aku berharap, suatu saat nanti Aphelion kita akan berubah dan kembali menjadi Perihelion?