16. Mengapa Tidak Tepati Saja Janjimu?

16 4 4
                                    

Bau obat-obatan sudah menjadi teman sehari-hari bagi seorang dokter sepertiku. Terlebih dengan profesiku sebagai dokter bedah, membuatku sering berdiam di rumah sakit. Namun, seterbiasa apapun aku dengan suasana ini, rasanya tetaplah aneh ketika salah satu pasienku adalah orang yang pernah aku sayangi.

Ralat, masih aku sayangi.

"Apa ada keluhan?" tanya Dokter Leo saat memeriksa keadaanmu. Kamu tampak sehat. Pucat memang, tapi setidaknya kamu sudah bisa tertawa dan bercanda pada rekan-rekanmu.

"Cuma sedikit lemas," jawabmu. Dokter Leo mengangguk maklum lalu menjelaskan bahwa itu hal yang wajar mengingat kamu baru saja keluar dari ICU kemarin.

Rasanya seperti kembali ke masa lalu dimana aku tersembunyi dibalik punggung teman-temanku, bebas mengamatimu dari jauh tanpa ada yang menyadari. Sayangnya kebahagiaanku dalam hal ini tidak berlangsung lama.

"Dokter Na—" perkataan Dokter Leo terputus ketika tidak mendapati diriku disampingnya. Matanya dengan cepat menatapku tajam, membuat beberapa koas menyingkir agar aku dapat terlihat.

"Sedang apa disana?" Aku tersenyum canggung mendengar pertanyaan Dokter Leo. Sungguh, tatapan matanya yang seakan berniat mengulitiku hidup-hidup membuatku melupakan keberadaan dirimu untuk sesaat.

"Maaf, Dok." Hanya itu yang dapat aku katakan sembari menunduk malu. Tidak mau terlibat lebih jauh dengan tingkahku, Dokter Leo kembali mengalihkan pandangan padamu.

"Dokter Nara merupakan penanggung jawab anda, bersama dengan saya tentunya." Kamu mengangguk mengerti sebelum kemudian menatapku lama. Kerutan di keningmu bertambah ketika menyadari siapa diriku.

"Narasi Amerta?" Aku mengangguk senang. Setidaknya kamu tidak melupakanku.

"Hai, Kak Agam," sapaku canggung. Kamu tertawa kecil melihat wajahku yang mungkin sudah memerah, sementara rekan-rekanmu menatapku penasaran.

"Kalau begitu, saya permisi dulu," potong Dokter Leo sebelum kamu sempat membalas sapaanku. Kelihatannya Pria berambut klimis itu bisa membaca situasi kurang mengenakan yang terjadi diantara kita.

"Mau cari makan. Permisi, Dok," kata salah satu rekanmu sebelum berjalan keluar di ikuti dengan keluarnya rekanmu yang lain, meninggalkan aku yang berdiri canggung disamping kasurmu.

"Duduk dulu," katamu memecah kesunyian. Sebelah tanganmu menunjuk sebuah kursi yang berada tepat disebelah kananmu.

"Nara apa kabar?" tanyamu lagi setelah memastikan aku duduk dengan nyaman.

"Baik. Kak Agam sendiri?" Kamu tersenyum lebar sembari menatapku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak melihat lesung pipi itu. Ah, aku rindu.

"Seperti yang terlihat," jawabmu. Sesaat, sunyi kembali mengisi ruang diantara kita. Sampai kemudian kamu kembali bersuara.

"Maaf."

Mata hitam milikmu terasa menghujamku. Berbagai emosi seakan menari di kedua netramu itu. Apa itu kecewa? Apa itu marah? Apa itu luka? Aku sendiri tidak dapat mengerti, perasaan seperti apa yang berusaha kamu sampaikan padaku. Kurasa jarak yang tercipta selama bertahun-tahun membuatku tidak dapat lagi mengerti dirimu. Kamu berubah. Aku berubah. Keadaan berubah.

"Kenapa?" Pada akhirnya hanya itu yang berhasil terucap, seakan mewakili puluhan, atau bahkan mungkin ratusan pertanyaan lain yang menunggu untuk aku keluarkan.

"Maaf untuk janji-janji yang belum sempat kutepati." Aku seperti dibawa kembali pada kilasan masa lalu, dimana kelingking kita saling bertaut dan bercerita tidak pernah terasa secanggung ini.

"Maaf karena meninggalkanmu, maaf karena tidak ada disaat kamu membutuhkanku, maaf karena pernah menyukaimu." Suaramu memelan ketika berada di akhir kalimat, terdengar ragu untuk mengatakannya. Sementara hatiku rasanya semakin hancur, tidak bersisa.

"Tidak apa-apa," jawabku sambil memaksakan sebuah senyum. Perlahan lapisan bening mulai mengaburkan penglihatanku, membuatku harus menatap langit-langit kamar agar tidak menumpahkan air mata.

"Kalau mau nangis, nangis saja," katamu. Tanpa dapat kutahan, sebuah isakan lolos ketika aku menatap kedua bola matamu. Itu tatapan yang sama dengan milikmu dulu. Tatapan lembut yang selalu kamu tujukan pada diriku sepuluh tahun yang lalu.

"Kenapa harus minta maaf?" gumamku sambil terisak, "Kenapa harus minta maaf karena pernah menyukaiku?"

Rasanya sakit. Seperti tidak lagi diinginkan. Seakan menyukaiku adalah sebuah kesalahan. Tahukah kamu kalau permintaan maafmu tadi adalah permintaan maaf paling kejam yang pernah aku dengar?

"Jangan minta maaf. Tepati saja janjimu untuk tidak akan pergi, untuk selalu ada." Tanganmu bergerak mengelus puncak kepalaku, rasanya seperti dahulu ketika aku dan kamu hanyalah sejauh ruang kosong diantara bangku sekolah.

"Tepati janjimu untuk tidak berubah," sambungku.

"Keadaan sudah berbeda, aku tidak bisa." Isakanku semakin menjadi mendengar perkataanmu. Iya, aku tahu kalau dunia kita tidak lagi sama. Tapi, tidak bisakah kamu memberiku sedikit harapan?

"Nara butuh Kak Agam," kataku pelan. Gerakan tanganmu berhenti sesaat, membuatku memberanikan diri untuk kembali menatap wajahmu.

"Nara harus bisa hidup tanpa aku, lupakan aku." Aku menggeleng kencang. Tampak kamu menghela nafas lelah, menatapku dengan sendu.

"Nara, kumohon," pintamu, yang masih kujawab dengan gelengan. Aku menghapus jejak air mata dengan kasar, sebelum kemudian menatapmu tajam.

"Kenapa?" Sadar aku membutuhkan lebih dari sekedar alasan, kamu mengalihkan pandangan ke arah jendela yang menampilkan langit siang. Awan hitam berarak menutupi birunya langit, seperti mengirim pesan untuk segera bersiap akan datangnya hujan.

"Setelah ini aku akan kembali bertugas. Kamu tidak akan mendengar kabarku. Besar kemungkinan aku benar-benar mati, sementara kamu tidak akan pernah tahu. Jadi tolong, hiduplah dengan baik dan lupakan aku." Aku sadar bahwa apa yang kamu katakan benar adanya, hanya saja egoku ingin berkuasa hari ini.

"Tapi, Nara sayang Kak Agam," kataku tegas. Lagi-lagi kamu menghela nafas; membuatku berpikir, apa sebegitu melelahkannya untuk menghadapi aku?

"Kelihatannya hampir semua janji kita tidak ada yang di tepati." Kamu membalas tatapanku tidak kalah tajam, sebelum kemudian kedua netramu kembali melembut.

"Kalau begitu Nara mau buat janji baru?" Tak dapat aku pungkiri, aku penasaran mendengar tawaranmu ini. Dan tampaknya kamu masih dapat membacaku dengan baik. Sejak dulu kamu selalu bisa mengetahui segala tentangku dalam satu kedipan mata. Sedangkan bagiku, kamu selalu abu-abu. Baik dulu, maupun sekarang.

"Janji buat saling melupakan, karena tidak akan ada aku di lembaran Nara selanjutnya dan tidak akan ada Nara di lembaranku selanjutnya. Mari kita berhenti menyakiti diri sendiri." Aku tertegun sejenak mendengar perkataanmu, sebelum kemudian menyadari bahwa apa yang kamu katakan benar adanya.

Mungkin selama ini hanya diriku yang terlalu keras kepala dan menolak untuk menerima kenyataan. Karena ketika aku menerima takdir yang sudah digariskan semesta, itu artinya aku harus menerima hidup tanpa adanya dirimu.

"Janji?" tanyamu sembari mengulurkan jari kelingking. Ragu, aku menautkan jariku.

"Janji."








[07 Juli 2020]





*Nara be like :
Mau dibawa kemana hubungan kitaaa~~

Aphelion✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang