Hari ini adalah hari terakhirmu di rumah sakit. Pagi tadi —sehabis pemeriksaan rutin— Dokter Leo berkata kamu sudah boleh keluar setelah pengecekan terakhir. Mendengar hal itu, rasanya seperti ada sebuah batu besar yang tiba-tiba mengganjal tenggorokanku, membuatku kesulitan bernafas dengan normal.
Membanyangkan bahwa setelah ini kamu akan menghilang sepenuhnya dari hidupku, membuat lapisan bening air mata mengaburkan penglihatanku. Bagaimana caranya menjalani hidup tanpa mengharapkan dirimu?
"Siang Dok," Sapaan seorang pria bertubuh tinggi besar membuatku tersentak kaget. Rupanya salah satu rekanmu. Ternyata tanpa sadar sedari tadi aku berjalan menuju kamar rawatmu.
"Siang." Rekanmu itu membalas senyumanku, sebelum kemudian pandangan matanya jatuh pada lengan jas dokterku. Masih ada sedikit bercak merah disana, bekas darah yang sulit hilang karena tidak segera aku cuci.
"Maaf, karena saya jas Dokter jadi bernoda," katanya. Aku mengikuti arah pandangannya sambil tersenyum geli.
"Tidak masalah. Saya anggap ini kenang-kenangan." Suara tawa rekanmu bergema disepanjang lorong, membuat beberapa perawat yang lewat menatapnya kesal namun urung untuk menegur.
"Kecilkan suaramu, atau kita akan berakhir di kantor keamanan," kataku, membuat rekanmu seketika terdiam dan memasang senyum canggung.
"Maaf, kebiasaan." Aku mengangguk maklum, membuatnya menghela nafas lega.
"Dokter teman lama Agam, kan?" Lagi aku mengangguk, membuat rekanmu itu melanjutkan perkataannya, "Kalau begitu Dokter tahu pekerjaan kami?"
"Kurasa aku tahu," jawabku pelan. Seketika sebuah senyum terbit di wajah rekanmu itu. Tanpa persetujuan, dia menarik lenganku menuju lantai dasar rumah sakit. Langkah kami berhenti pada sebuah cafe kecil yang di sediakan khusus untuk orang yang menjaga pasien, juga pekerja rumah sakit. Cafe yang tampak sepi itu menguarkan aroma coklat dan kopi yang sangat menggiurkan. Wajar karena ini belum jam makan siang, sementara waktu sarapan sudah lewat.
"Maaf karena tiba-tiba membawa Dokter ke sini. Hanya saja saya ingin membicarakan beberapa hal." Ketegasan dalam nada suara rekanmu itu membuatku tanpa sadar mengikuti apa yang ia katakan.
"Jadi, ada apa?" Tanyaku setelah kami duduk dan memesan teh dan beberapa cemilan sebagai teman pembicaraan kali ini.
"Sebelumnya perkenalkan, nama saya Nuraga. Saya dan tim sedang menjalankan sebuah misi, ketika Agam sebagai salah satu anggota saya terluka." Rekanmu itu menghentikan ucapannya sejenak, kedua netranya menatapku dalam.
"Bisa tolong rahasiakan identitas kami?" Lanjutnya lagi. Sesaat aku mengira kedua matanya itu berwarna hitam, sampai kemudian sinar lampu membuat warna aslinya terlihat. Coklat tua yang indah.
"Kalau boleh saya bertanya, kenapa kamu meminta saya secara pribadi? Padahal saya sudah tahu pekerjaan kalian —bahkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Tanpa kamu minta, saya tidak akan membeberkannya pada orang-orang." Rekanmu itu tersenyum tenang mendengar perkataanku. Tidak heran kalau dia menjadi ketua timmu, karena aura yang ia miliki sungguh berbeda.
"Karena ada orang yang sedang mengincar nyawa kami. Dia akan melakukan segala hal —termasuk mengancam Dokter— untuk dapat mengetahui informasi sekecil apapun." Perlahan aku meraih gelas teh yang berada di hadapanku, berusaha untuk tidak menampakan kecemasan yang tiba-tiba saja menyeruak. Rasa hangat dan aroma khas dari teh tersebut membuatku sedikit tenang.
"Mengapa saya harus mempercayai perkataanmu?" Tanyaku. Rekanmu tampak menimbang sesaat sebelum kemudian kembali bersuara.
"Saya tidak minta kamu untuk percaya. Yang terpenting saya sudah mengatakannya padamu. Kalau suatu saat kamu benar-benar membocorkan identitas Binar dan Agam, maka kami akan meminta pertanggung jawaban darimu," jawabnya sembari menatapku tajam, "kamu bisa menjadi musuh negara."
Sejenak keheningan mengisi ruang di antara kami. Membiarkanku terlarut dalam berbagai pikiran yang menghantuiku beberapa hari ini, di tambah dengan permasalahan identitasmu. Tak dapat aku pungkiri, rasa khawatir itu ada. Khawatir akan keselamatanmu, juga khawatir akan hidupku kedepannya.
"Jujur, saya takut. Tapi saya akan berusaha menjaga identitas kalian," kataku pada akhirnya. Sekarang aku mengerti kenapa rekanmu itu sampai harus meminta secara pribadi padaku. Aku menyimpan identitas dua anggota timnya, sehingga secara tidak langsung aku pun bisa saja menjadi ancaman bagi kalian.
"Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjagamu," balasnya yakin. Ketegasan yang memancar dari kedua matanya membuatku pada akhirnya mengangguk.
"Terima kasih." Rekanmu malah menggeleng mendengar ucapanku.
"Saya yang harus mengatakan hal itu. Terima kasih karena sudah mempercayai kami." Kembali aku mengulas sebuah senyum. Yah, asalkan ada dirimu maka aku pasti akan percaya dengan sepenuh hati.
Lihat, begitu sulit untuk melupakan ketika dalam sepuluh tahun ini hanya kamu yang memenuhi pikiranku.
"Boleh saya menanyakan hal lain?" Aku menatap penasaran pada rekanmu itu, sebelum kemudian memberikan persetujuan.
"Hubungan seperti apa yang terjadi antara kamu dan Agam?" Seketika jantungku seperti kehilangan kemampuan berdetaknya. Mengapa harus topik ini lagi? Rasanya akhir-akhir ini semakin banya orang yang penasaran mengenai hubungan kita. Pertama Dokter Leo, lalu sekarang rekanmu.
"Saya rasa itu tidak ada hubungannya denganmu," kataku, sedikit kesal. Terlebih ketika melihat seulas senyum jenaka pada wajah rekanmu itu.
"Saya hanya penasaran. Kamu terlihat tidak baik-baik saja ketika berada di dekat Agam." Tertegun sejenak, aku menatap tajam rekanmu itu. Bagaimana mungkin ia mengetahui keadaanku yang patah hati berulang kali tiap bertemu denganmu?!
"Kami hanya teman," jawabku pada akhirnya. Rekanmu itu memberikan tatapan tidak percaya, membuatku terpaksa mengalihkan pandangan pada sepotong brownis coklat di hadapanku.
"Kamu tahu kan kalau saya ini seorang agen. Saya bisa membaca ekspresimu. Jujur saja, saya tidak akan berkomentar macam-macam," katanya. Aku merutuk dalam hati ketika menyadari bahwa tidak ada gunanya menutupi sesuatu dari rekanmu itu.
"Saya memang menyukainya, tapi hubungan kami hanya teman." Sejenak ekspresi rekanmu tampak keruh, sebelum kemudian dia menyunggingkan sebuah senyum tipis.
"Saya sudah menduganya," gumamnya pelan.
"Kamu tahu kalau Agam dan Binar—" Aku mengangguk cepat sebelum dia dapat menyelesaikan perkataan. Sudah cukup puas aku tertampar oleh kenyataan, tidak perlu di tambah lagi.
"Sejak dulu aku sudah tahu kalau Kak Agam tidak pernah menyukaiku." Dia pernah menyukaimu, sayang baginya itu sebuah kesalahan. Batinku meralat cepat, membuat genangan air tiba-tiba saja mengaburkan pandanganku.
"Bagaimana pun, hubungan kami tidak pernah lebih dari teman." Rekanmu mengangguk maklum, tidak mendesakku lebih jauh.
"Kau masih menyayanginya," simpulnya, yang berusaha ku tepis dengan gelengan kuat. Aku tidak berani bersuara, karena aku tahu sekalinya aku membuka mulut maka dinding pertahananku akan rusak kembali.
"Tidak? Lalu kenapa kamu menangis?" Dengan cepat telapak tanganku bergerak membelai pipi, merasakan jejak hangat air mata yang entah sejak kapan berada di sana.
"Saya sendiri tidak tahu apa yang saya rasakan ketika kenangan tentangnya hadir kembali. Rasanya saya senang, karena pernah ada saya dalam hidupnya. Meskipun di sisi lain saya sedih karena tak akan ada lagi dia di hidup saya." Rekanmu bergeming ketika mendengar perkataanku itu.
"Dia adalah orang yang, ketika mengingatnya senyum dan tangis saya menjadi satu."
[08 Juli 2020]
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion✔
Novela JuvenilKalau boleh ku ibaratkan, dirimu sebagai Matahari, diriku sebagai Bumi, dan hubungan kita seperti Aphelion -titik terjauh Bumi dari Matahari. Bolehkah aku berharap, suatu saat nanti Aphelion kita akan berubah dan kembali menjadi Perihelion?