12. Merasa Kosong dan Kesepian Itu Manusiawi

12 4 0
                                    

"Kak Agam pernah merasa kosong?"

Aku ingat dulu pernah menanyakan hal tersebut padamu. Kalau tidak salah pada tanggal dua puluh delapan bulan kelima. Cuaca siang itu cerah; langit biru, awan putih, angin yang berhembus lembut. Terlihat kontras dengan wajah damai milikmu.

Lapangan sekolah sepi karena pelajaran olahraga sudah berakhir sejak pukul sebelas tadi. Kebetulan yang menyenangkan, guru sejarahku sedang tidak bisa mengajar disertai dengan ke tidak hadiran guru kimia di kelasmu, membuat kita dapat menikmati sedikit istirahat tambahan yang seharusnya tidak diperbolehkan.

Tidak apa sekali-sekali melanggar peraturan, asalkan tidak ketahuan guru bimbingan konseling. Begitu katamu waktu itu ketika akan mengajakku bersantai di tribun sekolah.

"Tentu saja pernah." Kamu yang membaringkan diri di sampingku menjawab pelan. Kedua matamu terpejam dengan tangan kiri yang difungsikan sebagai alas kepala.

"Kapan?" tanyaku lagi. Untuk sesaat kamu diam. Alismu sedikit mengerut, kurasa kamu sedang memikirkan jawaban yang akan kamu berikan.

"Saat Ayah memaksaku untuk mengikuti segala kemauan Ayah, awalnya aku merasa marah. Setelah itu, muncul sebuah pemahaman bahwa aku tidak dapat berbuat apa-apa untuk melawan. Dan kemudian perasaan kosong itu muncul begitu saja, melenyapkan segala emosi yang sempat tercipta."

Aku tertegun mendengar jawabanmu. Bagaimana caramu bertahan dengan segala keadaan yang memaksa seperti itu?

"Bagaimana cara kakak supaya tetap baik-baik saja?" kedua matamu perlahan terbuka menatap langit, sebelum kemudian beralih menatapku.

"Kamu." Sesaat aku seperti terpaku dalam kedua bola matamu, sebelum kemudian sebuah kesadaran menghantamku kembali.

"Maksud kakak?" kamu mengubah posisi menjadi duduk menghadapku, memberikan sebuah tatapan lembut.

"Aku cuma tahu cara untuk terlihat baik-baik saja. Sampai hari itu kamu datang, mendengarkanku, mengobatiku. Dan ketika aku sadar, aku sudah tidak apa-apa. Kamu yang membuatku bisa melewati semuanya."

Kembali aku tertegun mendengar mendengar jawabanmu. Bahkan elusan lembut di puncak kepalaku seakan tidak terasa karena detakan jantungku yang mulai tidak beraturan.

Saat itu, yang dapat kupikirkan hanyalah bagaimana tatapanmu terasa menenangkan. Bagaimana senyumanmu terlihat mempesona. Dan bagaimana detakan dalam rongga dada yang menggila bisa terasa begitu nyaman.

"Kenapa Nara bertanya soal kekosongan?" tanyamu. Aku mengerjap sekali, sebelum kemudian akal sehatku kembali menguasai.

"Akhir-akhir ini, Nara merasa kosong. Seperti ada yang hilang," jawabku tanpa berusaha mentupi apapun. Kalau hatiku ibarat sebuah bendungan, maka aliran air yang berisi curahan perasaanku hanya aku alirkan padamu.

"Nara masih belum bisa mengikhlaskan Oma?" aku menggeleng pelan. Salah satu alasan aku nyaman mencurahkan segalanya padamu, karena dirimu tidak pernah menatapku dengan pandangan penuh penghakiman. Kamu hanya akan menatapku lembut, sampai terkadang aku berpikir; jika tatapanmu itu bisa menjadi suatu entitas, apakah bisa menyaingi lembutnya awan di angkasa?

"Nara sudah berusaha, tapi susah. Belum bisa ikhlas sepenuhnya." Kamu mengangguk maklum mendengar jawabanku.

"Tidak apa-apa, yang penting Nara tetap berusaha." Entah sejak kapan elusan pada rambutku itu berubah menjadi tepukan pelan.

"Kenapa Tuhan tidak menjawab doa Nara, kak?" tanyaku sembari memainkan jemari yang saling bertaut. Dari sudut mata, kulihat kamu mengalihkan pandangan pada barisan pepohonan disisi lain lapangan.

"Memangnya apa doa Nara?" kamu malah balas bertanya.

"Nara berdoa agar Oma sembuh. Tapi, kenapa Oma malah pergi?" Susah payah aku menahan diri agar tidak menangis disana.

"Aku rasa, Tuhan sudah menjawab doa Nara." Aku mengernyit bingung mendengar jawabanmu itu. Bagaimana mungkin Tuhan menjawab doaku, sementara Oma sudah tidak ada lagi sekarang. Oma tidak sembuh. Oma meninggal.

"Nara tahu, ada tiga cara Tuhan menjawab doa. Pertama, iya. Kedua, tidak. Dan ketiga, tunggu." Aku diam, membiarkan dirimu menyelesaikan segala penjelasanmu mengenai cara Tuhan menjawab doa.

"Kalau Tuhan menjawab tidak, itu artinya Tuhan punya suatu rencana yang lebih baik. Kalau Tuhan menjawab tunggu, berarti belum waktunya doa itu untuk di jawab. Entah Tuhan ingin melihat kesungguhan orang yang berdoa itu, atau mungkin Tuhan memiliki waktu yang lebih tepat untuk menjawab doanya."

"Nara berdoa agar Oma sembuh. Aku rasa Tuhan menjawab dengan tidak. Nara sendiri tahu kan, tubuh Oma sudah renta. Kalau Tuhan menjawab doa Nara dengan iya, lalu apa? Oma hidup, sehat untuk beberapa waktu, sebelum kemudian penyakit lain datang menguasai tubuhnya? Apa Nara mau, Oma terus saja merasakan sakit?" aku menggeleng mendengarnya.

"Tapi, Nara masih butuh Oma. Tidak bisakah Tuhan menunggu sedikit lebih lama lagi? Setidaknya sampai Nara siap untuk kehilangan." Suaraku sedikit pecah di akhir, dan setetes air mata jatuh tanpa bisa kutahan.

"Kapan Nara akan siap? Lima tahun, sepuluh tahun? Nara tega melihat Oma dalam keadaan tidak berdaya untuk waktu yang lama, hanya karena ke egoisan Nara?" Ah, kurasa kamu benar. Aku terlalu egois untuk menahan Oma tetap disini, sementara aku sendiri tahu bahwa selama ini Oma sudah cukup kesusahan menjaga kesehatannya yang semakin menurun.

"Tidak ada orang yang siap dengan perpisahan. Tapi, Nara tahu tidak kalau kematian adalah cara paling baik hati untuk berpisah dengan seseorang?" Kamu kembali menatapku. Tangan kananmu bergerak menghapus jejak air mata pada wajahku.

"Kenapa begitu?" Suaraku bahkan terdengar serak akibat menahan keinginan untuk menangis meraung-raung.

"Karena ketika kematian memisahkan kita seseorang, kita akan tahu bahwa orang itu sudah baik-baik saja sekarang. Bahwa kita tidak perlu mengkhawatirkan terlalu banyak hal mengenai orang itu," jawabmu.

"Lagi pula, ketika seseorang direnggut kematian, bukan berarti orang itu akan benar-benar menghilang. Dia masih hidup di hati dan pikiran. Pada akhirnya, jarak yang ada hanyalah sejauh kenangan." Aku mengangguk mengerti ketika pada akhirnya kamu kembali mengelus lembut puncak kepalaku.

Kini baru aku mengerti bahwa apa yang kamu katakan benar adanya. Kematian adalah cara paling baik hati untuk bepisah dengan seseorang.

Bukan berarti aku ingin kamu pergi seperti Oma atau apalah. Hanya saja terkadang rasanya benar-benar menyakitkan saat aku tahu kamu ada diluar sana, sementara aku disini harus menahan diri untuk tidak mencari tahu kabarmu.











[02 Juli 2020]














*Tolonggg aku kebanyakan baca sci-fi sampai kebawa mimpi dan akhirnya kualitas tidur menurun:((
Btw, ada yang bisa kasih rekomendasi cerita misteri/fantasi/fiksi ilmiah atau yang semacam itu tapi udah end?? Kehabisan bahan bacaan, soalnya ternyata cerita-cerita yang baru kutambahin masih on going ಥ_ಥ

Aphelion✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang