Mall yang kita datangi hari itu cukup dipadati oleh orang-orang. Sebagian besar merupakan sepasang suami-istri dengan beberapa orang anak. Sisanya, orang-orang yang berjalan berdua —seperti aku dan kamu— atau pun beramai-ramai.
"Nara, mau nonton apa?" tanyamu begitu kita memasuki area bioskop. Aku menatap satu per satu poster film yang ada, sebelum kemudian menghela nafas pelan.
"Apa ya yang bagus?" tanyaku bingung. Kamu tampak sama bingungnya, ketika pada akhirnya pandanganmu jatuh pada poster salah satu film yang bergambarkan seorang wanita berpakaian biarawati.
"Horor?" Aku menatapmu tidak yakin, dan ternyata aku mendapati ketidak yakinan yang sama pada sorot matamu.
"Kak Agam suka horor?" Kamu berpikir sejenak lalu menggeleng.
"Enggak. Kamu?"
Aku balas menggeleng mendengar pertanyaanmu, "Enggak."
"Tapi aku pengen coba nonton. Kata teman-temanku filmnya bagus." Sambungku ketika kamu kembali mengamati poster-poster tersebut dengan tidak tertarik.
"Ya sudah, ayo nonton itu," katamu cepat.
"Kak Agam yakin?"
"Yakin. Lagi pula tidak ada film yang bisa kita tonton." Tampaknya kamu melihat keraguan di wajahku, karena setelahnya kamu kembali bertanya, "Nara enggak takut film horor kan?"
"Enggaklah," jawabku cepat, membuatmu tertawa pelan.
"Kalau begitu ayo." Dan begitu saja. Aku terjebak bersamamu dan jeritan memekakan telinga selama kurang lebih dua setengah jam.
*
"Gimana film tadi?" tanyamu begitu kita melangkah keluar dari area bioskop. Rasanya leherku sakit karena terlalu banyak berteriak, membuatku hanya berdiam diri dan tidak berniat membuka pembicaraan.
"Aku kaget berkali-kali pas setannya tiba-tiba muncul."
Kamu tertawa mendengar jawabanku itu —atau mungkin karena suara serakku, "Aku juga."
"Setelah ini, kita kemana?" tanyaku kemudian. Kamu berpikir sejenak, sebelum kemudian menarikku menuju jajaran penjual cemilan.
"Ayo cari makan, aku lapar." Kini, gantian aku yang tertawa. Mataku menangkap sebuah stan crepes, sehingga aku dengan cepat mengarahkanmu kesana.
"Ayo. Disana ada crepes."
Kamu tampak begitu bersemangat ketika akhirnya mendapatkan sebuah crepes coklat dengan sedikit keju. Bahkan raut senangmu masih belum menghilang setelah makanan serupa panekuk tipis tersebut habis sejak sepuluh menit sebelumnya.
Kamu membawaku menuju sebuah toko buku, membiarkanku melihat-lihat novel sementara kamu memilih buku untuk referensi tes masuk perguruan tinggi.
"Kak Agam jadi masuk STIN?" tanyaku ketika kamu sedang menatap satu per satu buku soal matematika.
"Jadi," jawabmu tanpa mengalihkan pandangan. Menyadari tatapanku yang tidak berpindah darimu, kamu memalingkan wajah menatapku.
"Aku tidak apa-apa," katamu sembari tersenyum.
"Benar tidak apa-apa?"
"Iya, Nara. Tenang saja."
Aku menghela nafas pelan, sebelum kemudian berkata lirih, "aku hanya khawatir."
Kamu tampak menyadari keruhnya suasana hatiku yang berubah tiba-tiba, karena kamu segera mengalihkan pembicaraan.
"Menurutmu bagus yang ini atau ini?" tanyamu sambil menunjukan dua buah buku kumpulan soal matematika. Aku menatap kedua buku tersebut sejenak, sebelum kemudian menunjuk buku yang kamu pegang dengan tangan kiri.
"Yang ini saja."
"Baiklah."
Baru saja akan beranjak untuk membayar, sebuah panggilan lembut membuatmu menghentikan langkah.
"Kak Agam?" Samar aku mengenali suara tersebut, sebelum kemudian aku membalikan badan dan benar saja itu dia.
"Binar?" Kamu bahkan tidak berusaha menyembunyikan ekspresi senangmu ketika melihat Binar sedang tersenyum.
"Eh, ada Nara," katanya ketika pada akhirnya mendapati keberadaan diriku.
"Hai," sapaku canggung. Tatapan Binar tampak berpindah antara aku dan dirimu, membuatku yakin kamu merasa tidak nyaman akan hal itu.
"Kalian berdua—"
"Kami berteman. Nara sudah aku anggap adikku sendiri," jawabmu cepat, bahkan ketika Binar belum menyelesaikan perkataannya.
"Oh, begitu." Entah hanya perasaanku saja, atau memang gadis itu terdengar lega ketika mendengarnya. Mau tidak mau aku merasakan sesuatu menusuk hatiku, terlebih ketika aku menyadari betapa cocoknya kamu jika disandingkan dengan Binar.
"Kamu ke sini sendirian?" tanyamu pada Binar. Detik itu juga, sebuah kesadaran untuk tidak menganggumu menghantam benakku, membuatku perlahan mundur menuju rak novel.
"Tidak, aku bersama kakak. Sepertinya dia sedang melihat-lihat novel," jawab Binar yang hanya kudengar samar-samar. Kelihatannya ia tidak berbohong karena benar, di bagian novel aku melihat seorang perempuan dengan postur wajah yang mirip dengan gadis itu. Hanya saja perempuan itu terlihat jauh lebih tegas dan dewasa.
Mengalihkan pandangan, aku berusaha fokus pada sebuah novel yang sedang aku pegang. Aku bahkan tidak tahu novel apa itu. Tiba-tiba saja semua buku yang ada terlihat kalah menarik dibanding jam tanganku.
Lima belas menit.
Lima belas menit aku berdiam diri di bagian novel, ketika kamu akhirnya memanggilku.
"Nara?"
Aku menoleh sekilas dan mendapati kamu sedang berdiri tak jauh dariku, "ya?"
"Ayo." Aku mengangguk sekali dan segera mengikuti langkahmu. Baru aku sadari bahwa Binar dan kakaknya sudah tidak terlihat sehingga aku bertanya.
"Mana Binar?"
"Sudah bersama kakaknya."
Setelah itu sunyi. Suara lagu yang diputar melalui pengeras suara dan juga percakapan samar orang-orang menjadi satu-satunya pengisi kesunyian di antara kita siang itu.
"Kak Agam masih menyukai Binar?" tanyaku pelan. Kamu hanya diam sampai aku pikir tidak akan mendapatkan jawaban, ketika pada akhirnya suaramu terdengar.
"Iya." Kamu hanya menatapku sekilas ketika melanjutkan, "Kamu tahu, aku ini sulit untuk jatuh hati. Tapi, sekalinya jatuh, rasanya hampir tidak mungkin untuk berpaling."
"Kalau begitu Binar beruntung karena disukai oleh seseorang seperti kakak," kataku, berusaha mengenyahkan ketercekatan yang serasa menyumpal tenggorokanku.
"Tenang saja, aku tetap sayang kamu kok."
"Benarkah?"
Kali itu kamu menatapku dalam, lalu tersenyum tipis.
"Tentu. Kamu kan adikku."
[18 Juli 2020]
*Naik level guys, dari friendzone jadi kakak-adek-zone :v
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion✔
Teen FictionKalau boleh ku ibaratkan, dirimu sebagai Matahari, diriku sebagai Bumi, dan hubungan kita seperti Aphelion -titik terjauh Bumi dari Matahari. Bolehkah aku berharap, suatu saat nanti Aphelion kita akan berubah dan kembali menjadi Perihelion?