Suasana aula terasa lebih sepi dari biasanya. Tidak ada kalimat-kalimat singkat Cakrawala, tidak ada celetukan penasaran Asav. Tiba-tiba semua yang awalnya baik-baik saja menjadi sekacau ini.
"Jadi, Cakra benar-benar keluar?" tanya Binar pelan. Bahkan rona merah yang biasa menghiasi pipinya memudar, seakan kepergian dua anggota divisi turut membawa sebagian dari keceriaannya.
"Iya. Asav juga," jawabmu pelan. Sejak pagi wajahmu masam, menandakan setumpuk pikiran yang tidak bisa kamu temukan jalan keluarnya.
"Tinggal kita bertiga?" tanyaku. Kamu mengangguk, namun Binar menggeleng cepat.
"Kalian berdua. Maaf, tapi aku tidak bisa." Mau tidak mau aku terkesiap mendengarnya. Tapi, dibandingkan diriku tampaknya kamu yang paling terpukul.
"Kenapa?" Binar hanya mengangkat bahu sekilas sebelum kemudian menjawab.
"Terlalu menyakitkan untuk mengingat kenangan bersama Asav dan Cakra. Selama ini kita selalu berlima. Rasanya aku tidak bisa kalau harus menjalani kegiatan tanpa adanya mereka."
"Aku mengerti. Terima kasih untuk semua bantuanmu." Aku menatap tidak percaya pada jawaban yang kamu berikan. Bagaimana mungkin kamu membiarkan Binar pergi, di saat Cakrawala dan Asav sudah terlebih dahulu meninggalkan kita?!
Namun kamu malah memberikan sebuah senyum tipis ketika pada akhirnya Binar berdiri sembari membawa tasnya.
"Kalau butuh bantuan, kalian bisa menghubungiku," kata Binar. Aku dan kamu tahu kalau itu hanya sekedar kalimat basa-basi. Meski begitu kamu tetap membalasnya dengan senyum, sekalipun tatapan matamu tampak terluka di mataku.
"Terima kasih."
Lalu sunyi. Anggota divisi lain sudah pulang sejak tadi, meninggalkan kita berdua duduk di tengah ruangan aula yang kosong.
"Jadi, tinggal kita?" katamu akhirnya. Sebuah pertanyaan retorik yang aku tahu tak membutuhkan jawaban, namun aku tetap saja menjawabnya.
"Iya, hanya kita yang tersisa."
Kamu menghembuskan nafas berat. Wajahmu semakin masam, dan aku tahu apa sebabnya.
Asav, bukan hanya sekedar anggota divisi yang banyak bertanya. Bagi kita semua ia adalah adik, seseorang yang harus kita lindungi hingga akhir. Melihatnya bertahan di tengah masalah seorang diri tentu membuatmu tidak tenang.
Cakrawala, bukan hanya sekedar otak divisi. Bagi kita semua ia adalah sosok penggerak, seseorang yang terus membuat kita maju sekalipun dalam kondisi tersulit. Melihatnya hancur kembali tentu membuatmu khawatir.
Binar, bukan hanya sekedar pembawa keceriaan. Bagi kita semua ia adalah pendongkrak semangat ketika hari-hari terasa terlalu melelahkan. Tentu saja kepergiannya akan ikut membuatmu terluka.
Kamu terluka karena merasa gagal melindungi seseorang yang penting bagimu. Aku terluka karena gagal melindungi perasaanmu.
"Padahal aku kira kita dapat bertahan sampai akhir. Tampaknya aku terlalu banyak berharap."
"Bukan salahmu," kataku sambil menepuk pundakmu. Kamu hanya menggeleng sembari menyingkirkan tanganku perlahan.
"Tentu salahku," balasmu.
"Kenapa berkata begitu?" Pandangan matamu tampak menerawang, seakan memikirkan segala hal yang bisa membuatmu bersalah karena keluarnya tiga anggota divisi sekaligus.
"Aku ketua divisi ini. Harusnya aku bisa menjaga kalian dengan lebih baik." Gantian aku yang menggeleng mendengar perkataanmu.
"Bukan salahmu. Ini salah kita semua. Harusnya kita bisa menjaga satu sama lain."
Setelah itu, kembali sunyi yang bersuara. Samar terdengar seruan anak lelaki yang sedang sedang berlatih basket di lapangan sekolah. Mau tidak mau aku teringat Binar dan salah satu hobinya itu.
"Aku jadi teringat salah satu pesan Mama," katamu tiba-tiba. Aku memalingkan wajah, menatapmu yang juga ternyata sedang menatapku.
"Apa itu?" tanyaku penasaran.
"Jangan kehilangan dulu, baru menyadari pentingnya sesuatu."
Ketika netra hitammu lagi-lagi bertemu dengan iris sewarna madu milikku, aku menyadari dua hal. Pertama, aku sudah jatuh sedalam-dalamnya pada dirimu. Dan kedua, "Mama Kak Agam benar."
"Iya. Selama ini, aku merasa bahwa kita akan selalu bersama. Setidaknya sampai aku lulus," katamu sebelum kembali menghembuskan nafas berat, "Aku tidak menyangkan perpisahan kita akan secepat ini."
"Dan setragis ini," sambungku. Kamu terkekeh kecil mendengarnya.
"Nara," panggilmu perlahan. Aku kembali menatap sepasang matamu yang kali itu memancarkan kesungguhan.
"Iya?"
"Kamu tahu kan, kamu penting bagiku?" Aku mengganguk sekali, namun kamu tampak tidak puas sehingga aku segera menjawab.
"Aku tahu."
"Aku tidak ingin menyesal ketika kehilanganmu." Suaramu yang terdengar putus asa membuatku lagi-lagi mengatakan sesuatu yang aku sesali di kemudian hari.
"Kak Agam tidak akan kehilangan aku."
Karena nyatanya, aku yang kehilangan dirimu.
[12 Juli 2020]
*Part ini pendek banget astaga, cuma enam ratus kata:'( beberapa bab lagi menuju ending, gak sabar pengen cepet-cepet selesai:v
KAMU SEDANG MEMBACA
Aphelion✔
Novela JuvenilKalau boleh ku ibaratkan, dirimu sebagai Matahari, diriku sebagai Bumi, dan hubungan kita seperti Aphelion -titik terjauh Bumi dari Matahari. Bolehkah aku berharap, suatu saat nanti Aphelion kita akan berubah dan kembali menjadi Perihelion?