9. Karena Kamu Istimewa

18 6 0
                                    

"Satu piring nasi goreng istimewa datang!" Dengan cepat kamu menutup novel yang sedang kamu baca, dan mengalihkan atensi pada nasi goreng yang baru saja aku letakkan dihadapanmu.

Kalau ada yang bisa mencuri seluruh perhatianmu -setelah diriku dan juga buku, tentu saja- sudah dapat dipastikan itu adalah sepiring nasi goreng.

Berbeda denganku yang menyukai makanan manis, kamu cenderung lebih suka sesuatu yang pedas. Nasi goreng dengan telur dadar dan kornet merupakan salah satu yang paling sering kamu makan.

Saking seringnya, aku sampai harus belajar memasak pada Ibumu hanya agar kamu tidak melupakan makan malam ketika sedang berada dirumahku. Ah, ternyata jatuh hati bisa membuat apapun menjadi mungkin ya. Lihat saja diriku yang secara mengejutkan mau menyibukan diri dengan pisau dan wajan demi dirimu.

"Gimana rasanya?" tanyaku setelah kamu memasukkan sebuah suapan pertama dalam mulut. Memang bukan pertama kalinya aku memasak untukmu, namun rasanya tetap saja mendebarkan ketika kamu memakan hasil pekerjaanku itu.

"Enak kok. Nara makin pintar masak." Mau tidak mau aku tersipu mendengar pujianmu itu. Yah, lagi pula aku belajar memasak karena dirimu. Jadi, tidak ada salahnya kan kalau aku senang mendengar perkataanmu.

Suasana sunyi merambati halaman belakang rumahku. Aku sama sekali tidak keberatan dengan diammu hari itu. Aku cukup puas dengan menatap pantulan langit siang pada sepasang bola matamu. Angin sesekali berhembus menerbangkan rambutmu yang menjuntai melewati alis. Kelihatannya kamu harus segera memotong rambutmu, kalau tidak ingin terkena teguran lagi.

Hari itu sabtu, jadi kamu memiliki lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersamaku. Kalau boleh jujur, aku senang dengan hubungan kita saat itu. Ingin sekali rasanya aku kembali ke masa lalu dan menyimpan segala perasaan ini seorang diri, semata-mata agar tidak ada yang berubah di antara kita.

"Nara," panggilmu. Sekilas aku melirik ke arah piring diatas meja, sebelum beralih menatapmu. Nasi goreng buatanku sudah habis. Entah aku yang terlalu tenggelam dalam pikiran, atau kamu yang memang sedang lapar.

"Kenapa kak?" kamu diam, membalas tatapanku. Selama sesaat aku mengira waktu berhenti berputar, dan aku tersesat dalam netra hitam milikmu.

"Kamu tau kenapa nasi goreng ini istimewa?" tanyamu, membuat perhatianku kembali terfokus pada pembicaraan kita.

"Karena ada telur dadar dan kornetnya," jawabku yakin. Namun, kamu malah tertawa mendengar jawabanku waktu itu.

"Kamu salah." Aku mengernyit bingung mendengar bantahanmu itu.

"Nasi goreng ini istimewa karena kamu yang masak." Dapat kurasakan jantungku yang kembali berdetak tak beraturan.

Ah, curang sekali. Perasaanku saat itu sudah tidak karuan mendengar perkataanmu -bisa bayangkan perasaan senang, bangga, gugup, kesal dan malu bercampur menjadi satu- sementara kamu tampak tidak terpengaruh.

"Jawaban Kak Agam juga kurang tepat," balasku kemudian. Kamu memberiku pandangan bertanya, membuatku mengulas sebuah senyum jahil.

"Kalo gitu apa jawaban yang tepat?" Tanyamu.

"Nasi goreng itu istimewa karena aku memasaknya untuk Kak Agam." Kamu tertawa menanggapi perkataanku itu, memperlihatkan sebuah lesung pipi yang selalu tampak ketika kamu tersenyum.

Manis. Sayang sekali aku sering kali hanya terfokus pada sepasang mata sekelam malam milikmu. Yah, mau bagaimana lagi. Matamu memang menghanyutkan.

"Kamu tau apa yang lebih istimewa dari nasi goreng ini?" Aku berpikir sesaat sebelum kemudian menggeleng.

"Kamu. Bagiku kamu lebih istimewa." Kamu menjawab sendiri pertanyaanmu itu, membuat diriku melepas tawa mendengar perkataanmu. Dari mana dirimu belajar mengatakan hal-hal manis seperti itu?

"Kalo gitu Kak Agam juga istimewa dong bagi Nara," Balasku tanpa berpikir panjang.

Selama sepersekian detik kamu terdiam menatapku, sebelum kemudian memalingkan wajah yang merona.

"Hahaha, apa sih Nara," katamu dengan tawa yang jelas sekali dipaksakan. Sepertinya rona merah di wajahmu mulai merambat padaku, karena aku dapat merasakan wajahku yang mulai memanas.

Nara ngapain sihh?! Malu-maluin aja! Batinku berteriak kesal. Duh, dihakimi diri sendiri itu tidak enak ya.

Setelah beberapa saat pun kamu masih menolak menatapku. Aku sendiri lebih memilih untuk menerima penghakiman sepihak dari hati kecilku, dibanding harus membuka pembicaraan denganmu.

Waktu itu, lagi-lagi jantungku berdetak kencang tanpa bisa aku kendalikan. Lucu juga kalau mengingatnya sekarang. Bagaimana kamu dan aku menjadi salah tingkah hanya karena sebuah ucapan yang bahkan tidak kukira akan terucap.

Bolehkah aku berharap, bahwa rona kemerahan pada wajahmu hari itu disebabkan oleh detakan jantung yang menggila. Detakan jantung yang tidak dapat kau kontrol. Detakan jantung yang berartikan sebuah perasaan lebih dari teman.

Bolehkah?

"Terima kasih," katamu setelah beberapa saat hanya berdiam diri. Kamu kembali menatapku, menunjukan sebuah tatapan menenangkan dan rona wajah yang sudah kembali seperti biasanya.

Perkataanmu itu berhasil mengembalikan kesadaranku, membuat detakan dalam rongga dadaku perlahan kembali normal dan suara-suara penghakiman dalam kepalaku perlahan menghilang.

"Terima kasih, buat apa?" tanyaku bingung.

"Terima kasih karena sudah mau membuatkan aku nasi goreng. Aku senang Nara mau memasak untukku." Kamu terseyum lembut, membuatku secara tak sadar membalas senyumanmu.

"Sama-sama,"

Aku memasak untukmu. Satu hal itu saja sudah cukup menjadi alasan kenapa sebuah nasi goreng sederhana bisa menjadi istimewa. Karena bagiku, apapun yang menyangkut dirimu tidak pernah biasa saja.

Pernahkah dirimu berpikir kamu istimewa?









[28 Juni 2020]









*Part paling pendek sejauh ini,, kurang dari 800 kata😅 Serius deh mentok banget udah gak tau mau nulis apa lagi, soalnya ya jarang aja mikirin yang istimewa-istimewa gini ಥ_ಥ Palingan juga mentok mikirin doi, sedangkan hubunganku sama doi mah gak pernah semanis Agam - Nara ╥﹏╥

Aphelion✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang