Akhir akhir ini kelas makin sepi karena kesibukan mereka untuk belajar lebih giat lagi. Ada yang les di bimbingan ternama, ada yang khursus dengan guru-guru di sekolah. Kalau aku sendiri belajar keras bersama Ayah di rumah tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun.
Hari-hari bersama mereka tidak terasa berlu begitu saja, kini hanya menghitung hari kita akan melaksanakan Ujian Nasional dan graduation di Jogja.
Rasanya sedih, senang, bahagia, terharu, jadi satu kesatuan, senang karena tidak harus ikut bimbel di sekolah sampai sore karena UN akan segera dilaksanakan. Sekaligus sedih karena harus berpisah dengan mereka dan berhenti membuat kenangan sampai disini.
Tentu teman-teman seperti mereka tidak ada dua di dunia ini, dan pasti tidak bisa aku temukan lagi di manapun. Mereka juga pasti punya arah yang ingin di tuju untuk menggapai impian dan cita-citanya di masa depan.
Beberapa ada yang memilih masuk SMA negeri ataupun swasta adapula yang enggak dua-duanya. Salah satunya aku. Mungkin di kelas hanya aku yang masuk pesantren dan kisah ini berawal dari langkah kaki pertama aku di pondok pesantren ini.
🌸 🌸 🌸 🌸
Matahari naik memancarkan sinarnya ke dalam ruang tengah. Sabtu pagi kali ini aku tidak ada rencana untuk keluar dan menemui siapapun, alias aku mau di rumah aja menikmati sepanjang hari ini bersama keluargaku.
Seketika, Ibu bertanya perihal keyakinanku untuk melanjutkan ke pesantren, "Nak, kamu serius mau lanjut ke pesantrenkan?" tanya Ibu di ruang tengah.
Aku mengangguk, "Serius dong Bu, kalau cuma bercanda ngapain tahun lalu kita sekeluarga survey jauh-jauh kesana?"
"Iya, Alhamdulillah kalo kamu udah yakin sayang... Ibu senang mendengarnya, semoga kamu betah dan punya banyak teman ya Nak disana," Ibu membelai lembut kepalaku.
Aku mengangguk lagi, "Iya, Bu Aamiin"
Perasaanku tiba-tiba campur aduk, kenapa ya Ibu tiba-tiba nanya gitu? Apa perlakuanku akhir-akhir ini tidak meyakinkan kalau aku ingin sekolah di pesantren? Sebenarnya aku diizinkan gak sih sekolah di pesantren jauh dari rumah? Sebenarnya Ibuku keberatan gak ya? Aku bergumam dalam hati. Pikiranku melambung jauh ke arah yang enggak-enggak.
🌸 🌸 🌸 🌸
"Fir!" panggil Ayah.
Aku yang sedang asyik membuka laptop di kamar langsung bergegas menghampiri Ayah di teras rumah, "Apa yah?"
"Nih, Ayah mau kasih tau jadwal ujian tulis dan ujian lisannya," Ayah memberikan hp ke arahku, "Nanti kita kesana 8 hari setelah lebaran ya, kamu siapin semua kebutuhannya. Jangan lupa juga buat rajin berlatih soal biar bisa jawab tes tulis maupun tes lisannya Fir," Ayahku terlihat sangat antusias sembari memperlihatkan layar handphonenya.
Aku tercengang mendengar semua penjelasan Ayah dan langsung melihat jadwal tes yang sudah Ayah cari dari website resmi pondok pesantren yang aku tuju.
Aduh, kok aku jadi takut gini ya? udah tadi pagi ditanya Ibu, terus sore ini di kasih tau jadwal ujiannya sama Ayah, aduh kenapa jadi se deg-degan ini? Aku terus bergumam dalam hati.
Setelah melihat jadwal dan melihat kalender di hp, itu artinya kurang dari 2 bulan lagi aku akan berangkat kesana, aku siap gak ya? Aku bisa gak ya keterima disana? Kenapa tiba-tiba aku jadi ragu sama diriku sendiri?
"Fir, Fira,? Udah siap kan?" Ayah menghamburi lamunanku.
Aku mengembalikan hp yang aku pegang ke Ayah "Eh, iya Yah, udah dong! paling tinggal belajar untuk ujian lisan aja sih Yah,"
Ayahku mengangguk, "Bagus, nanti minta ajarin Pak Agi aja ya, kan udah di les in disana supaya kamu bisa keterima pesantren impian kamu." Jelas Ayah lagi.
Aku berlagak kayak orang mau hormat bendera "Oke, Yah siap" setelah itu aku kembali ke kamar.
Ayah gak boleh tau kalau aku lagi ragu sama diri sendiri, aku harus terlihat antusias di hadapan beliau, gumamku. Sedangkan di kamar aku langsung merenungi setiap keputusan yang telah aku buat. Aku sudah melangkah sejauh ini, aku juga sudah mengambil keputusan sedari dulu, lalu kenapa baru sekarang aku mempertimbangkannya lagi? Apakah aku sanggup bertahan disana? Apakah tujuan sebenarnya aku sekolah disana? Apa aku bisa di terima disana? Berbagai pertanyaan menghantam pikiranku, keraguan, ketakutan, kebimbangan hadir seolah ingin meruntuhkan semangat yang sudah aku buat dari 5 bulan lalu.
2 bulan sebelum berangkat, aku selalu dihantui perasaan khawatir, khawatir dengan keputusan yang aku buat. Khawatir akan mengecawakan siapapun yang telah aku bebani, khawatir akan hasil akhirnya. Dan hari-hariku dipenuhi dengan kekhawatiran itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Try To Be Shalihah
Fiksi RemajaIni kisah tentang remaja perempuan yang bersusah payah untuk menjadi shalihah dan tetap istiqamah ditengah lingkungan pertemanan yang tidak baik baik saja