CHAPTER TWO

7.7K 368 20
                                    

Badai malam itu luar biasa.Langit dipenuhi teriakan marah guntur dan petir.Angin kencang membuat pohon-pohon raksasa yang mengelilingi puri keluarga Sentosa menari-nari karena ketakutan oleh hujan.

Aku seperti biasa,hanya memakai gaun tidur, sutra bertali tanpa lengan selutut, berwarna hitam.Bergelung di balik selimut tebal ungu tua bergambar bunga mawar dan kelopaknya.Lampu kamarku mati beberapa saat lalu dan hingga kini belum juga menyala.

Gigiku bergemeletuk hebat.Udara dingin merayap masuk menembus kulit,menusuk hingga ke tulang.Padahal tidak ada air condition yang hidup tapi tetap  sedingin ini.

Aku mulai gemetar.Ketakutan.

Aku benci petir!!

Segala hal mengenai badai ini mengingatkanku akan tragedi masa lalu.

Malam di mana Kakek wafat juga hujan badai seperti sekarang.Aku menanti kepulangannya dari luar kota semalaman,di tengah kondisi mati lampu hanya bersama Ibu Rohma yang merupakan pengasuhku.Hanya untuk mendapatkan kabar buruk ketika tengah malam,kalau Kakek sudah meninggal dunia saat berada di Rumah Sakit.

Aku benci hujan! Banyak hal buruk terjadi ketika hujan tiba.

Seketika aku menjerit kencang ketika melihat kilasan petir raksasa masuk ke dalam  kamarku,melejit tepat di hadapan mataku,dibarengi gelegar suara maha dahsyat membelah langit.

Air mataku tumpah.

Aku memaki dalam hati,memarahi sikap cengengku ini.

Terdengar bunyi debum pintu terbuka.Segera saja aku bangkit duduk dari atas ranjang sambil masih menutupi diri dengan selimut.

Petir dan guntur menerangi sosok bertubuh atletis yang hanya memakai celana pendek,kulit kuning langsatnya dipenuhi peluh,nafasnya juga terengah-engah. Aidan berdiri di ambang pintu kamarku,wajahnya terlihat sangat cemas.

Aidan menghambur dan duduk di sisi kanan ranjangku.

"Apa yang terjadi? Kamu kenapa?" tanya Aidan panik.Matanya menatapku was-was.

Seketika ketakutanku lenyap.Berusaha menguatkan diri,kugelengkan kepalaku perlahan.

Di luar kebiasaannya,Aidan meraihku ke dalam pelukannya.Menekankan kepalaku ke atas dadanya yang bidang.Aku terkejut setengah sekali hingga tidak bisa menolak.

"Syukurlah.Kukira ada hal buruk menimpamu" kata Aidan penuh kelegaan.Suaranya terputus-putus.

Nafasku tercekat.Aku tak menyangka dia ternyata bisa lembut juga.

Selama beberapa saat kami terus begini.Sampai aku berdeham karena merasa canggung.

Melepaskan pelukannya,Aidan terlihat salah tingkat.Dan aku nyaris mencubit diriku sendiri karena mengira sedang bermimpi.

"Mau ku...errr temani?" tanyanya kaku.

Melongo.Kutatap dia dan kasurku bergantian.

"Maksudku.Hanya sampai badainya reda karena aku tahu kamu ketakutan" Aidan buru-buru menambahkan.Tangannya menggaruk rambut hitam pendeknya yang kini berantakan.

Sebuah tawa terlepas dari bibirku seketika.

"Apanya yang lucu?" Aidan sedikit merengut.

"Kamu.Aku baru kali ini  melihat 'Tuan tanpa ekspresi' salah tingkah.Satu Indonesia pastinya juga penasaran ingin tahu sosok Aidan Sentosa selain raut muka datar atau kaku" terangku,sembari tertawa.

"Aku tidak...Ah,sudahlah lupakan saja.Kamu mau ditemani atau tidak?" tanya Aidan.Terlihat kesal karena kutertawakan.

Kuperhatikan dirinya cukup lama,bisa juga raja es ini gelisah.Tanganku menepuk sisi kanan kasurku.

WINNING LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang