CHAPTER FIVE

5.4K 336 13
                                    

Saya datang lagi.Maaf lama.

ngetik ini kemarin,sesudah nge-bolang di simpang 5 semarang dan makan pecel depan kantor TELKOM nya>_< what a wonderfull city#!!! ->salahpokus.

Dan,mengucapkan turut berduka cita sangat atas insiden jatuhnya pesawat Air esia pada penutup akhir tahun2014 lalu.Berdoa agar keluarga korban dikuatkan dan jiwa para korban mendapat tempat layak disisi Tuhan,serta jenazah mereka segere diketemukan untuk dikebumikan.

#Aminnnnn

Met membaca ya semuanya.Saya mau bocan dulu alias bobo cantik.Ditunggu sangat tebaran bintang dan komentar membangun kalian :)

Peluk&cium.

******************

Aku tidak bertemu Aidan setelah acara di Hotel malam itu. Pekerjaan membuatnya harus pergi ke Palembang selama 3 hari. Merasa lebih bebas pasti, namun setelah berada di dalam rumah, kesepian itu kembali menyusup.

Malam ini bisa dibilang merupakan puncak kegalauanku, menatap hampa keluar jendela rumah melalui ruang keluarga lantai satu. Pikiranku melayang pada hari di malam acara di Hotel itu. Memoriku kembali berputar.

Dadaku disesaki oleh jutaan pertanyaan atas perilaku dan perkataan Aidan yang serba ambigu. Dan caranya memperkenalkanku sebagai cucu Kakek dengan menekankan bagian 'pewaris seharusnya'. Seolah-olah memberikan kesan bahwa Aidan ingin pensiun lalu menyerahkan segalanya padaku. Apa dia tidak takut rahasianya sebagai anak dari saudara jauh kakek bakal terungkap sebagai sebuah kebohongan?

Di akhir malam setelah kami pulang dari Hotel, Aidan bilang kalau aku terlalu banyak berpikir. Dia juga berpendapat sudah waktunya bagiku untuk mempersiapkan diri terjun ke dunia bisnis Sentosa. Sepertinya Aidan menolak tawaran yang dulu pernah kuberikan padanya.

Kebebasanku sepenuhnya ditukar hak darahku untuknya.

Sikap dan tingkah Aidan sering kali membuatku pusing serta merasa serba salah. Di satu kondisi dia lebih mirip seorang Ayah bagiku. Tapi di saat lain, mendadak dia menjadi seintim pasangan kekasih.

Ini membuatku pusing. Terutama perasaan aneh yang membuat badanku seperti ingin meledak setiap kali didekatnya.

"Sedang melamunkanku ya?"

Suara bass bernada rendah, maskulin yang khas barusan membuatku nyaris terlonjak. Memutar separuh badanku ke belakang. Aku kaget sekali waktu mendapati sosok tegap dan tampan Aidan sudah berdiri beberapa meter dariku.

Rambutnya sekusut benang wol dibuat mainan kucing. Dua kancing kemeja lengan panjang hitam bagian teratasnya, terbuka. Memperlihatkan sedikit dadanya yang bidang.

"Kenapa kok...??" aku melongo selama beberapa saat.

"Serius nih. Tak ada pelukan" kata Aidan. Mengerling satu kali padaku.

Aku mengerjap dua kali baru setelah itu berlari ke arahnya. Aidan tersenyum lebar sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Membiarkan dirinya terbuka atas pelukanku.

Kutenggelamkan diriku dalam tubuhnya. Badan Aidan yang kencang dan kekar. Tulang berbalut otot-otot hasil olahaga teratur serta kulit lembut berwarna kuning langsat. Aroma maskulinnya percampuran musk dan cengkeh yang sangat enak. Membuatku lupa diri kalau sudah menciumi baunya.

"God you smell so good" bisik Aidan lirih di luar daun telingaku."And I miss you like crazy my Queen" tambahnya.

Menyebabkan setiap bulu halusku mulai dari tengkuk hingga ujung kaki berdiri. Getaran listrik aneh mengalir masuk ke dalam tenggorokanku. Terus turun sampai perut.

"Kenapa tidak menghubungiku kalau mau pulang?" tanyaku. Melepaskan pelukan kami.

"Sengaja buat kejutan. Selain itu aku ingin tahu saja, seperti apa sih kelakuanmu di rumah sewaktu aku sedang berpergian" jawab Aidan di barengi seulas senyum indah.

"Hoo...jadi ceritanya tak percaya ya sama aku. Sampai sebegitunya" tangan kananku membelit lengan kiri Aidan.

Aku membawa kami duduk di atas sofa letter berjok kulit berwarna merah tua.

"Aku mau memberitahukan sesuatu padamu Airin, aku telah berpikir selama 3 hari bepergian ini. Dan walaupun bagiku terasa sangat berat, namun aku telah mengambil keputusan" suara Aidan berubah serius. Ekspresinya menjadi sedikit sedih.

Mendadak perutku mulas,yang tidak ada hubungannya dengan sakit lambungku.

"Baiklah. Aku mendengarkan" kataku.

Mata Aidan memandangku lurus-lurus. Dia menghela nafas panjang dan lama beberapa kali sebelum akhirnya kembali bicara.

"Ini soal surat izin acara kampusmu akhir pekan ini. Aku sudah memutuskan akan menandatanganinya" kata Aidan secepat lesatan shinkansen. Membuatku butuh waktu beberapa detik hingga bisa memahaminya.

Dan reaksiku berikutnya adalah.

"Aidan terima kasih banyak! Sungguh izin darimu merupakan segalanya" jeritku gembira.

Aku melompat ke atas pahanya dan melingkarkan kedua tanganku di sepanjang lehernya, refleks mengecup kedua pipinya bergantian.

Aku masih seperti orang bodoh, hingga tak sadar kalau ekspresi wajah Aidan berubah pucat. Kilat aneh muncul lagi di kedua pupilnya. Saat itulah aku baru paham jika tindakanku barusan berlebihan.

" Sori, aku terlalu senang" kataku gugup. Bergegas ingin berdiri.

Namun anehnya tangan Aidan mencengkram lembut pergelangan tanganku. Matanya seolah memerintahkanku agar tidak ke mana-mana. Kedua sudut bibirnya tertarik di dua sisi.

"Masih ada kelanjutannya Airin. Aku memberimu izin dengan satu syarat. Kalau aku juga ikut bersamamu"

Dhuarr!!

Hatiku langsung melorot jatuh ke atas lantai.

"Hah? maksudmu?? Kamu ikut kemping bersamaku begitu??" tanyaku shock.

Aidan mengangguk mantab, memberiku senyuman nakalnya.

"Tepat sekali"

"Tapiii...tapii itu bakal memalukan Aidan!" Aku bangkit berdiri. Dadaku disesaki kemarahan."Yang benar saja aku ini bukan anak SD kelas satu lagi. Sudah saatnya kamu memberiku kepercayaan Aidan!"

"Justru karena aku tahu betul siapa dirimu, makanya aku menjagamu dengan cara seperti ini" kata Aidan. Menatapku datar dibarengi ekspresi kaku ala C.E.Onya yang khas itu.

"Akhh kamu menyebalkan" teriakku. Tanganku mengacak-acak rambutku hingga kusut. Tingkahku sekarang memang mirip anak kecil tidak terpenuhi keinginannya.

"Ya itu sih terserah kamu Airin.Yang jelas aku sudah memberikan solusi dan pilihan" Aidan bangkit berdiri. Melipat kedua tangan di depan dada. Memandangku lurus-lurus.

Dahiku berkerut dalam. Ada dua suara berbeda di kepalaku sedang berdebat.

Satunya ingin sekali pergi tak peduli apapun konsekuensinya. Satunya lagi memilih meninggikan harga diriku, apa kata orang nanti jika aku datang bersama Aidan yang mengikutiku ke mana-mana?!!

Tapi...

"Jadi bagaimana? sudah kamu putuskan?" tanya Aidan. Sedikit mendesakku.

Kujilat bibir bagian bawahku yang kering, tubuhku terasa mengkerut.

"Baiklah. Kamu boleh menemaniku Aidan" ujarku akhirnya.

Binar kepuasan tergambar jelas pada kedua bola mata Aidan. Bibirnya mengembangkan senyum tipis ala Aidan Sentosa setiap kali berhasil mendapatkan sesuatu bagi perusahaan.

Aidan mendekatiku,lalu meletakkan tangan kanannya di atas kepalaku. Dia membungkukkan tubuhnya hingga wajah kami sejajar. Lalu berkata.

" Kalau begitu aku kamu harus segera memberitahu Kampusmu bukan. Selain itu,persiapkan dirimu juga. Oke" Aidan meneggakkan badannya lagi.

Kedua tanganku terkepal di samping badanku. Berusaha tidak menunjukkan emosi di depan sepupuku. Dalam hati aku berjanji akan membalas sikap menyebalkannya ini, kelak.

WINNING LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang