CHAPTER THIRTEEN

7K 274 35
                                    

       Aku mencium aroma kuat alkohol dari mulut Aidan. Dia mabuk! Kenapa aku tak sadar sejak tadi.

       Tanganku berjuang melepaskan diri dari cengkramannya. Otakku berusaha agar tetap waras, meski fakta kulit telanjangnya yang menempel padaku membuatku meleleh. Ini gila! Harus ada yang bisa menyadarkannya.

       Aidan bergerak di atasku saat itulah aku menemukan celah untuk melayangkan tendangan memakai siku kananku ke tengah perutnya.

        Aidan menjerit, tubuhnya terpelanting ke samping. Masih dalam kondisi setengah shock dan nafas nyaris habis kupaksa diriku bangkit berdiri lalu beringsut, bersandar ke dekat lemari.

        Kulihat Aidan masih mengerang kesakitan seraya memeluk perutnya, dalam cahaya temaram kamar. Selimut menutupi dari pinggul hingga ke bawah.
       Gemetar, aku meringsek maju. Cemas mengalahkan ketakutanku. Ia sakit dan mabuk, jelas sekali Aidan membutuhkan pertolonganku.
        " Airin maaf" bisiknya lirih dari atas ranjang.
         Aku mendekat, mencoba melihat wajahnya, menatap jauh ke dalam bola matanya. Dia nampak kesakitan, bukan secara fisik melainkan batinnya. Ada apa sebenarnya dengan Aidan?? Mengapa ia sampai mabuk segala?
        Membasahi kerongkongan, aku berkata. " Tunggulah, akan kuambilkan es dan obat untuk mengompres kakak"
        Aidan tak menjawab cuma mengangguk lemah, segera aku berlari keluar dari kamarnya menuju dapur dan mempersiapkan semua yang kubutuhkan untuk merawat Aidan.
        Jika ia sampai lepas kontrol seperti sekarang pasti ada masalah gawat menghampirinya.
**********
        Aku merawatnya setelah itu, memberinya air kelapa muda, mengompres kepalanya dan membasuh badannya memakai kain. Aidan segera terlelap sambil sedikit meracau dalam tidurnya. Setelah memastikan dia lebih nyenyak, aku keluar kamar diam-diam, pergi ke dapur untuk membuatkannya bubur ayam. Satu jam kemudian aku kembali ke kamarnya dan dia sudah sadarkan diri seraya duduk di atas ranjangnya. Memakai baju.
       Kulirik lemari bajunya, daun pintunya terbuka separuh, gorden kamarnya juga telah ditarik sepertiga membiarkan cahaya matahari terang menerangi kamarnya yang suram.
         " Kak Aidan, ayo makan dulu. Sudah kubuatkan bubur ayam kesukaanmu" kataku mencoba seriang mungkin.
         Aidan duduk dalam posisi satu kaki ditekuk, kedua tangan terjatuh disamping badannya, punggungnya bersandar pada tumpukan bantal dan kepalanya menunduk.
       " Kakak, ada apa? " tanyaku benar-benar cemas sekarang. Duduk ditepian menghadapnya.
        Aidan mendongak perlahan, bibirnya sepucat wajahnya, sedikit membiru agak pecah-pecah.
        " Maaf aku sudah bertindak begitu tak bertanggung jawab tadi, itu diluar akal sehatku" katanya serak, suaranya putus-putus penuh penyesalan.
         Aku mencoba memahami situasinya meski masih menuntut jawaban. Ah bisa kutanyakan nanti saja jika kondisinya membaik.
         "Kakak kalau ada masalah jangan melampiaskannya pada alkohol, itu bukan jawaban dari segala persoalan. Lagipula sudah tahu tidak tahan sama alkohol diteruskan saja" kataku menasehatinya seraya memeluk erat mangkuk berisi bubur panas ditanganku.
       Aidan tak menjawab, mengalihkan pandangannya. Aku mendesah panjang. " Ayo makan" kataku beringsut maju.
        Tanganku bergerak menyendok sesuap bubur ayam dan mengarahkannya ke mulut Aidan. Dia membuka mulutnya, membiarkanku menyuapinya dan menelan tanpa bicara. Pandangannya tampak kosong menatap sesuatu dibalik punggungku.
       Ingin protes tapi kutahan, karena dia memakan bubur buatanku tanpa banyak bicara. Kurang dari lima menit isi mangkuk sudah tandas. Kulihat jakunnya bergerak pelan ketika menelan makanannya tanpa susah payah menelannya.
      Dia mungkin tidak sadar telah menghabiskan buburnya. Menghembuskan nafas panjang, aku berdiri dari tempatku, tepat sebelum berbalik Aidan mencengkram lenganku ketat membuatku menolehkan leher memandangnya.
        " Kumohon jangan pergi"pintanya memelas.
        " Cuma mau nyuci piringmu sayang" jawabku lembut.
        Aidan melepaskan genggamannya dariku. " Setelah itu kembali lagi kemari. Ada hal penting yang harus kusampaikan padamu"
         Kepalaku mengangguk memberinya senyum menenangkan. Sesampainya di luar pintu kamarnya aku segera bersadar pada dinding, jutaan pertanyaan mengamuk dikepalaku. Tepat saat itulah terdengar bunyi bel berkali-kali dari luar rumah.
        Kakiku melangkah cepat melintasi ruang tamu dan keluarga. " Biar aku saja Bik" tukasku pada salah satu ART harian dirumah kami ketika dia akan membukakan pintu rumah.
        Wanita itu mengangguk, lalu begerak mundur.
       Satu tanganku membuka kunci sementara lainnya mencengkram erat mangkuk kaca dan sendok kotor ditanganku. Begitu terbuka, bayangan pertama yang muncul adalah siluet seorang wanita.
       Dia cantik, bertubuh tinggi langsing semampai, kulit putih, rambut pendek seleher berpotongan bob warna coklat. Satu tangannya melepaskan kacamata merknya memperlihatkan sepasang mata jernih dan tajam sementara tangannya satu lagi kuperhatikan tengah menggenggam erat lengan pergelangan tangan mungil. Kutebak seorang anak kecil. Sembunyi dibalik badannya.
      " Maaf bapak Aidannya ada?" Tanyanya ramah tapi intonasinya tegas.
       " Mmm iya ada, tapi maaf kak Aidannya sedang sakit. Kalau boleh tahu anda siapa ya?" Aku balik bertanya. Mencoba melihat sosok anak kecil dibelakangnya yang entah kenapa menarik minatku.
        " Saya sudah buat janji dengannya. Nama saya Nikita dan ini" wanita bernama Nikita memutar tubuhnya.
       Waktu itulah kulihat seorang anak kecil, balita, laki-laki yang kutebak berumur sekitar 4 tahunan dan super imut, mendongak menatapku lekat-lekat melalui sepasang mata bulat besar menggemaskannya.
        Aku merasa terhipnotis oleh sosok balita tersebut hingga kesulitan berkata-kata. Dia tampan. Lucu. Begitu lugu dan masih murni.
       Ada sesuatu dalam diri bocah ini yang mengingatkanku akan seseorang.
        " Namanya Moses, dia putraku" kata Nikita memperkenalkan.
        " Hai Moses" bisikku lirih. Tersihir oleh sosoknya yang kini memeluk erat kaki mamanya dan terlihat ketakutan.
         " Dan dia putra Aidan Sentosa juga" ujar Nikita datar.
        DHUARR!! GELEGARR!!
        Ucapan Nikita barusan seketika melenyapkan dunia tempatku berpijak.
       
      *********
Om aidan datenggggg....
Maap authornya lagi galau bin pegel. Dunyat menyitaku sangat huhuhu. Butuh 5 hari menyelesaikan bab ini dan jujur mood juga lagi down. Maapken saya jika ceritanya jadi jelek banyak typoo ntar akan saya coba perbaiki jika waktu luang lebih banyak. Saya cuma mengetikkan apa yang ada dikepala saat ini.
Met baca moga suka. Minta tebaran cintanya ya.

Hug n kiss.
Sby. 01:37
Balik bobok.
       
        

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 10, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WINNING LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang