34. Ikatan.

4.4K 405 3
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Abdillah menghembuskan napasnya pelan sebelum akhirnya memilih bergabung di balik selimut tebal berwarna soft pink dengan aksen bunga sakura itu. Inilah salah satu kebiasaan Alea ketika menangis, bersembunyi di balik selimut selama yang dia mau. Dan pemandangan yang menyambut Abdillah pertama kali berhasil membuat napasnya tercekat, Abdillah menatap miris wajah sembab kakak perempuannya. Perlahan dia mengusap pipi basah Alea dengan sayang, meskipun rasanya sia-sia karena air mata itu tetap mengalir deras tidak peduli berapa banyak dia menghapusnya.

"Udah berapa lama lo nangis?" Tanya Abdillah meski tau perempuan di depannya tidak akan menjawab karena sibuk terisak, "Mata lo bengkak dan gue nggak bisa berbuat apa-apa." Abdillah menarik Alea ke dalam pelukannya, memberi tepukan menenangkan di punggung Alea. "Lo tau kan sejak kita SD bareng, gue nggak pernah ragu buat ngehajar siapapun yang udah bikin lo nangis. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya gue nggak bisa belain lo. Pertama, gue masih anaknya Herman tanpa Wijaya. Dan itu artinya gue nggak punya apa-apa selain kegantengan gue ini, kalo gue nekat ngelawan Papa demi belain lo... tamat riwayat gue." Ujarnya lalu terkekeh sendiri karena kata-katanya.

Abdillah tiba-tiba meringis mengusap bekas cubitan Alea di perutnya, lalu keduanya tertawa di balik selimut.

"Thank you, my favorite brother of all time." Ujar Alea tulus dengan suara bindengnya.

Tiba-tiba seseorang menyelinap masuk di sisi lain tempat tidur, bergabung di balik selimut dengan Alea yang berada di tengah-tengahnya. Tanpa banyak kata, Arkana langsung ikut memeluk Alea dan Abdillah.

"Kamu tau kan, sejak kecil kita nggak pernah di ajarin buat ngelawan omongan Papa. Kita selalu percaya bahwa setiap keputusan yang Papa ambil adalah yang terbaik untuk semua. Abang nggak bisa melawan Papa, Lea." Ujarnya lirih sambil mengecup kepala Alea dengan sayang, "Tapi Abang bisa membuat Papa mengerti apa maunya kamu. Maafin Abang, ya?"

Alea melepaskan pelukannya dari Abdillah lalu kini berbalik memposisikan tubuhnya menghadap Arkana. Alea menatap Arkana dalam, mencoba mencari kesungguhan di mata itu. "Abang serius?"

Arkana mengangguk lalu tersenyum tipis, mengusap kedua mata bengkak Alea. "Jadi Abang di maafin?"

Alea mengangguk semangat lalu masuk ke dalam pelukan Arkana, membenamkan wajahnya di dada bidang Arkana. "I love you, my best brother of all time."

"Yah, gue di cuekin." Seru Abdillah pura-pura kesal, yang di balas dengan kekehan geli dua orang di sampingnya.

Tanpa sepengetahuan ketiganya, sepasang suami isteri yang sejak tadi berdiri di balik pintu kamar itu tidak kuasa menahan haru dengan interaksi ketiga anaknya. Herman dan Melinda tidak pernah menyangka jika di balik keusilan Abdillah dan Arkana yang selalu bersikap kaku ternyata memiliki sisi hangat yang selama ini tidak pernah mereka tunjukan. Setelah melihat bagaimana anak-anaknya saling menguatkan dan melindungi satu sama lain, Herman merasa lebih tenang.

"Aku mulai ragu dengan keputusan kamu, Mas. Silahkan teruskan kalo kamu memang mau kehilangan satu-satunya anak perempuanmu." Melinda berujar dingin lalu berbalik meninggalkan Herman begitu saja. Membiarkan suaminya itu merenungi kata-katanya.

***

"Kamu... jadi ikut?" Melinda bertanya ragu, kembali meneliti penampilan Alea yang tampil begitu cantik dengan dress berwarna cream yang panjangnya hanya menutupi sebagian pahanya, bagian atasnya model sabrina yang memperlihatkan pundaknya yang terbuka bebas. Memberikan kesan anggun dan berkelas meski wajahnya hanya di hiasi make up tipis, rambutnya di biarkan tergerai dengan sisi kanan yang di jepit kebelakang telinganya. Alea tampak memukau dan berhasil membuat seluruh penghuni rumahnya, menatapnya kagum meski tatapan yang berbeda tercetak di wajah kedua orangtuanya.

"Memangnya aku punya pilihan lain?" Tanyanya tenang menatap Melinda lalu beralih menatap Herman, "Aku tunggu di mobil." Ujarnya singkat lalu berjalan ke arah pintu utama.

Herman dan Melinda saling pandang, seolah menyampaikan kegelisahan mereka lewat mata.

Setelah menempuh perjalanan hampir empat puluh menit, mobil yang di kendarai Herman akhirnya tiba di salah satu Restoran ternama di kawasan Menteng. Alea masih tetap diam, berjalan tenang tanpa senyum di wajah cantiknya. Bagaimana dia bisa tersenyum di saat ponsel di dalam sling bag-nya berkali-kali bergetar dan manampilkan satu nama yang sedang dia hindari sejak kemarin malam---tepatnya, sejak Herman menyampaikan keinginannya yang bagai bom waktu. Meruntuhkan semua kebahagiaan yang dia rasakan selama beberapa bulan belakangan. Lenyap sudah rencana indahnya bersama Atta.

Alea berkali-kali menarik lalu menghembuskan napasnya panjang, berusaha melenyapkan rasa sesak yang menjalar di dadanya. Apalagi ketika tiga orang yang tidak di kenalnya berdiri dan tersenyum ramah menyambut kedatangan keluarganya. Alea memperhatikan satu persatu orang di depannya, salah satu dari mereka mungkin adalah teman Herman, terlihat jelas bagaimana kedua pria paruh baya itu saling menyapa seperti teman lama yang baru saja bertemu. Hadi, teman lama Herman itu lalu memperkenalkan kedua  anaknya yang berbeda jenis kelamin. Anak perempuannya mengenalkan diri sebagai Fatya dan di sebelahnya ada Zian, kakaknya Fatya yang dua tahun lebih tua. Alea hanya tersenyum tipis sambil menyebutkan namanya.

Look at me, only me.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang