09. Awkward!

4.8K 502 3
                                    

🍁  🍁  🍁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍁  🍁  🍁

Sudah dua hari ini Alea sukses menghindari Atta. Di pagi hari ketika briefing, sebisa mungkin Alea menghindari kontak mata di antara keduanya. Tidak ada yang menyadarinya, kecuali Nima dan Atta sendiri. Jauh di lubuk hatinya, Atta juga merasa bersalah karena sudah lancang mencium Alea. Perempuan itu pasti sangat membencinya karena sudah bersikap kurang ajar tanpa permintaan maaf setelahnya. Kalau boleh jujur, alasan kenapa Atta tidak langsung meminta maaf saat itu karena dia pikir tidak ada yang salah dengan ciuman itu. Alea tidak menolak, tidak juga membalas dan yang paling penting... Alea tidak menamparnya.

Tapi pemikiran-pemikiran itu sirna ketika hari sudah berganti, sikap perempuan itu benar-benar berubah. Alea menghindarinya. Dan malam ini, ketika kesabaran Atta sudah mencapai batasnya, bertepatan dengan keluarnya Alea dari pintu Nightfall. Atta langsung menyeretnya masuk ke dalam mobil tanpa adanya perlawanan, Atta jadi heran sendiri kenapa perempuan itu tetap menurut ketika dia harusnya marah atau bahkan menampar Atta karena lagi-lagi bersikap langcang.

"Mau sampai kapan lo ngehindar dari gue?"

Alea meremas ujung rok pensilnya, "Aku nggak menghindar." Elak Alea. Hilang sudah sopan santunnya, Alea memutuskan untuk bersikap lebih santai.

"Iya, lo jelas ngehindar." Tegasnya. Dengan kasar Atta menyugar rambutnya ke belakang. "Harusnya lo minta penjelasan soal gue yang tiba-tiba nyium lo di depan di Hilda, harusnya lo marah atau sekalian nampar gue karena udah bersikap kurang ajar sama lo."

Alea menghembuskan napasnya panjang lalu menunduk, menatap jari-jarinya yang saling bertautan. "Lupain aja, anggap aja itu nggak pernah terjadi."

"Apa?" Atta mengernyit tidak suka. "Liat gue kalo ngomong." Bentaknya lagi, egonya merasa tersentil. Atta memegang dagu Alea, membuatnya terpaksa menatap Atta dalam jarak sedekat ini. "Why? why do you say that, Aleanara?"

"Karena kalo bukan aku, kamu yang akan ngomong kayak gitu." Alea melepas paksa tangan Atta dari wajahnya lalu mengalihkan pandangan ke sembarang arah. "Kalo kamu mau minta maaf, itu nggak perlu. Kamu nggak sepenuhnya salah, karena aku sendiri nggak menolak. Sounds like a bitch right?" Alea terkekeh miris. "Ya it's me. Dan Aku jadi mikir... apa karena aku masih suka sama kamu, Atta?"

Ada jeda yang cukup lama sebelum akhirnya Atta membuka suara, kata-kata yang terdengar dingin dan menusuk.

"Jangan! Jangan biarin perasaan itu ada buat gue."

Alea tersenyum miris, matanya memanas tanpa bisa dia tahan. "Kalaupun aku masih suka sama kamu, itu urusanku. Rasa nggak pernah salah kan?" Alea tersenyum menatap Atta lalu memilih keluar dari mobil itu secepat mungkin. Alea berlalu tanpa menoleh, air matanya meluruh bersama langkah kakinya.

"Ini yang bikin gue takut, karena penolakan itu pasti jauh lebih sakit dari pada diam-diam suka sama laki-laki brengsek kayak lo." Alea terisak di sepanjang jalan menuju kosannya.

***

Tidak ada yang baik-baik saja setelah pembicaraan keduanya malam itu---Oh, bukan, lebih tepatnya lagi setelah ciuman itu pikiran dan perasaannya terus di hatui oleh sosok Alea. Perempuan yang dulunya hanya adik kelas yang sering ketahuan memperhatikannya dari jauh, lalu diam-diam mulai berani menyatakan rasa sukanya lewat surat dan sarapan dengan tempelan sticky notes yang selalu mencuri perhatiannya. Alih-alih mengejar dan menempelinya seperti Hilda, Alea tetap bersembunyi di balik tulisan-tulisannya.

Atta masih bersikap dingin tapi diam-diam sering memerhatikan Alea tanpa sepengetahuan perempuan itu. Seharusnya kejadiannya tidak seperti ini kalau saja Hilda tidak datang dan mengacaukan segalanya. Dia memang sengaja mencium Alea di depan Hilda agar perempuan itu berhenti mengusik hidupnya layaknya lintah yang terus menempelinya selama beberapa tahun ini, dia pikir setelah Hilda pergi masalah akan selesai dan dia bisa hidup tenang. Nyatanya, efek ciuman Alea masih terus menghantuinya. Atta sendiri tidak menyangka jika sensasi yang di timbulkan saat mencium Alea akan seberpengaruh ini untuk kelanjutan hidupnya. Niat awalnya membawa Alea ke ruangannya adalah untuk menjawab rasa penasarannya tentang kejadian di masa lalu yang membuat perempuan itu seolah hilang di telan bumi bersama surat-suratnya, dan tentang dugaan Alea yang di bully oleh Hilda. Kabarnya, Alea sampai harus di rawat di rumah sakit dan Hilda yang sampai saat ini tetap bungkam jika di tanyai perihal kejadian itu. Meskipun terlambat, Atta merasa dirinya berhak tau apalagi kalau benar Hilda melakukan itu semua karena dirinya.

Karena itulah, Atta meminta Nima untuk diam-diam menemuinya di lantai tiga. Atta masih ingat jika perempuan berhijab itu adalah satu-satunya teman dekat Alea di sekolah, besar kemungkinan jika Nima juga mengetahui sesuatu yang tidak di ketahuinya.

"Jadi, apa yang ingin Mas Atta tanyakan?" Nima nampak tegang duduk di hadapan Atta.

Atta berdehem sebentar, "Ini bukan soal kerjaan Nim, nggak perlu tegang gitu." Atta bisa melihat bahu perempuan itu melemas di iringi helaan napas lega. "Gue mau nanya soal temen lo, Alea."

Nima mengulas senyum lalu mengangguk kecil, "Silahkan Mas."

"Apa lo tau, soal Alea yang dulu pernah di bully sama Hilda?" Atta memandang Nima lekat, menuntut penjelasan, "Tolong jangan tutupin apa-apa dari gue."

Nima bergerak gelisah, ragu-ragu dia menatap Atta. "Tapi Mas..."

"Gue bisa pastiin, Alea nggak akan tau soal ini."

Look at me, only me.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang