33. Kekecewaan Alea.

4.6K 433 3
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

"How do you feel after successfully completing your mission, little girl?" Tanya Herman di tengah-tengah makan malam keluarga yang begitu hangat karena kepulangan salah satu anggota keluarga setelah terpisah selama enam bulan.

Alea menelan makanannya sebelum menjawab, "I'm happy but also sad, Dad. Teman-teman kerjaku semuanya orang baik."

"And your boss too." Tambah Arkana yang masih fokus dengan makanannya. Mengabaikan Alea yang tengah menatapnya penuh maksud.

Seakan menyadari ketegangan yang ada, Abdillah berseru heboh. "Gila! Gue masih nggak nyangka lo bisa hidup selama itu, Kak. Kalo gue---"

Herman berdehem keras, menatap tajam anak bungsunya. "Watch how you speak, Boy. Papa nggak pernah ngajarin kalian ngomong nggak sopan sama saudara sendiri, sekalipun jarak umur kamu sama Alea nggak beda jauh. She is your sister, you have to respect her." Ujarnya penuh penekanan.

Seketika seluruh ruangan menjadi hening, bahkan gerakan sendok dan garpu-pun terhenti ketika suara berat penuh ketegasan itu menggelegar.

"I'm sorry, Dad." Ucap Abdillah penuh penyesalan.

Herman menghembuskan napasnya panjang lalu mengangguk pelan, tatapan matanya sudah tidak setajam tadi. "Don't repeat, even if it's behind me."

Abdillah mengangguk paham.

Melinda berdehem keras, "Ini meja makan, jangan bikin selera makan anak-anak hilang sama muka kamu yang udah kayak mau makan orang." ujar Melinda sarkastik, berharap dapat mencairkan suasana yang sempat membeku. Meski tangannya masih sibuk menyendokan makanan ke mulutnya.

Sontak ketiga anaknya mengulum senyum, Sedangkan Herman berdehem canggung. Tidak bisa melawan teguran isterinya, bisa gawat kalau sampai Melinda marah. Sudah menjadi rahasia umum jika seorang Herman Wijaya yang selalu terlihat berwibawa dan tegas itu ternyata bucin garis keras.

***

"Besok ada teman bisnis Papa yang ngajak makan malam, kamu ikut ya?" Suara itu menarik perhatiannya dari layar televisi, Alea menatap Herman yang baru saja ikut duduk di samping isterinya.

"Sama Abdi dan Abang juga?"

Herman menggeleng, "Nggak. Yang di tunggu itu kehadiran kamu, jadi besok makan malamnya bareng Mama sama Papa aja."

Alea memandang Mama dan Papanya secara bergantian. "Emang ada acara apaan sih? Bosen ah, kalo disana Papa sama Mama cuma ngomongin bisnis. Aku nggak ada temennya."

Melinda menepuk paha Alea pelan, "Nggak ada yang mau ngomongin bisnis. Ini cuma makan malam biasa, sekalian mau kenalin kamu sama anak mereka."

Kerutan di dahi Alea semakin dalam, kini dia merubah posisi duduknya menghadap Mama dan Papanya. Menatap mereka dengan tatapan serius, "Jangan bilang kalo..."

"Kamu mau di jodohin."

Herman langsung menatap anak pertamanya, "Arkana!" Tegurnya tegas.

Alea menatap Arkana yang baru ikut bergabung di sampingnya, dengan santainya laki-laki itu mengambil remote dan mengganti saluran televisi, mengabaikan tatapan Papa dan adik perempuannya.

Sedangkan Alea kini menatap Herman dengan tatapan percaya tidak percaya, "Are you serious about doing this to me, Dad?"

Herman menghembuskan napasnya kasar, "Bukan gitu Aleanara..."

Melinda menepuk punggung tangan suaminya dengan senyum menenangkan, seolah berkata 'biar aku yang jelasin.' Dan setelah mendapat anggukan dari suaminya, Melinda langsung beralih menatap anak perempuannya itu dengan sayang,

"Kamu jangan salah paham dulu. Maksud Papa itu baik, Papa hanya ingin mengenalkan kamu dengan seseorang yang menurutnya baik untuk mendampingi kamu---"

"Dari mana Papa tau kalo orang itu baik buat aku?" Tanya Alea langsung, matanya sudah berkaca-kaca. Tatapannya menyiratkan kekecewaan yang begitu besar.

"Papa kenal orangnya, Lea. Nggak hanya itu, Papa juga udah lama kenal sama orangtuanya, mereka dari keluarga baik-baik. Papa yakin---"

"Atas dasar apa Papa mengukur kebaikan seseorang? Dari latar belakang keluarganya? Kenapa Papa selalu ngambil keputusan seenaknya tanpa mau dengerin apa mau aku. Ini hidup aku, Pa." Ujar Alea, Tanpa sadar suaranya meninggi.

"Aleanara!" Bentak Arkana.

Alea menatap Arkana tidak percaya, tidak menyangka jika dia baru saja di bentak oleh laki-laki itu. Air matanya luruh begitu saja, "Why? why do you keep quiet even though you know a lot of things?" Tanyanya lirih lalu menghapus air matanya dengan kasar, "Abang jelas tau, ada hati yang harus aku jaga." Ujarnya lalu berdiri tanpa menatap salah satu dari mereka, "Maaf, tapi aku butuh waktu sendiri. Good night Ma, Pa." Alea langsung bergegas meninggalkan ketiga orang itu dengan perasaan kacau.

Herman menatap punggung Alea yang mulai menaiki tangga ke lantai dua dengan pandangan yang tidak bisa di artikan. Berkali-kali Herman menarik lalu menghembuskan napasnya, rasa bersalahnya semakin menjadi ketika wajah kecewa bercampur air mata itu melintas kembali di ingatannya. Selama ini, tidak pernah sekalipun dia melihat kekecewaan sebesar tadi di wajah putrinya. Alea memang satu-satunya anak yang paling manja kepadanya, sering merajuk karena hal-hal sepele dan merengek ketika keinginannya tidak terpenuhi. Tapi semua itu jelas berbeda jika di bandingkan dengan apa yang baru saja terjadi.

"Abang tau sesuatu?" Pertanyaan Melinda sukses menarik kembali kesadaran dua orang laki-laki berbeda usia yang tengah larut dalam pikirannya.

Arkana menatap Melinda sekilas lalu menatap Herman, "Sorry, I can't say anything, Dad. Biar Alea sendiri yang ngomong semuanya sama kalian. Yang jelas, saat ini ada seseorang yang sedang memperjuangkan dia. Dan aku udah mutusin buat percaya sama laki-laki itu. Aku percaya Atta bisa jaga Alea kayak apa yang Aku, Papa dan Abdi lakuin selama ini." Jelas Arkana penuh keyakinan.

Look at me, only me.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang