🍁 🍁 🍁
Uhukk---Uhukk!
"Bangsat! Lo mau bikin gue mati?"
Dito terbahak sambil menepuk pundak Atta beberapa kali, temannya itu terlalu mudah untuk di baca.
"Lo-nya aja yang gampang kebaca." Dito menggeleng dramatis masih dengan sisa-sisa kekehannya, "Kalo suka ya ngomong, diem-diem aja lo kayak anak perawan."
"Siapa yang suka sih, Babi?" Elak Atta.
"Yakin lo nggak suka?"
"Kenapa jadi ngomongin ini sih?"
"Tinggal jawab aja kenapa sih? Ngeles mulu lo kayak bajaj."
Atta menghembuskan napasnya kasar, "Fine, puas lo?!"
Dito tergelak puas, "Nggak, sebelum lo jawab sejelas-jelasnya."
Atta memilih bungkam lalu meneguk birnya hingga tandas. Tangannya terangkat membidik tong sampah yang berada di pojok namun gerakannya terhenti begitu Dito merebut kaleng kosong itu dari tangannya. Terlalu sering menjadi korban yang harus bekerja dua kali memungut apa saja yang Bos-nya itu lempar dengan asal, membuatnya hafal di luar kepala dan tergerak untuk mencegah sebelum terjadi.
"Kebiasaan lo! untung Bos gue, kalo nggak---" sesampainya di depan tong sampah, matanya tidak sengaja menangkap pemandangan di bawah sana, tepat di parkiran Nightfall. Dito tiba-tiba berbalik menatap Atta dengan wajah serius, "Kelamaan mikir bikin lo berpotensi di tikung, Babi."
"Hah?"
Dengan gemas Dito melempar Atta dengan kaleng bir yang sudah kosong tadi, "Hah heh hah heh aja terus sampe kiamat! Alea di jemput cowok barusan."
"Ya terus?"
"Sebelum naik ke mobil, mereka sempat pelukan."
"Oh---APA?"
"Si cowok meluk Alea sambil ngusap-ngusap rambutnya dengan sayang." ujar Dito sambil memperagakan adegan yang di lihatnya beberapa menit yang lalu, "Dan yang paling penting... Alea kelihatan bahagia." Ujarnya yakin, sengaja mengompor-ngompori Atta yang mulai termakan emosi.
"Shut your fuck up. Gue nggak bisa mikir." Bentak Atta frustasi.
Bukannya tersinggung, Dito malah tergelak puas. Sepertinya sebentar lagi dia akan di berikan penghargaan karena pelan namun pasti, kepala batu Atta pasti terpecahkan.
***
"Kemarin kamu di jemput siapa? Pacar?"
Persetan jika Alea menganggapnya kepo, dia harus tau untuk bisa mendesak temannya bergerak cepat sebelum tersingkir di tikungan. Dan karena itu juga Dito sengaja meminta Alea membantunya di dapur pagi ini, berhubung Reza---asistennya itu sedang cuti setengah hari.
"Kok Mas Dit tau?" Alea mengalihkan tatapannya dari coklat batang yang sedang dia lelehkan di atas kompor, menatap Dito dengan satu alisnya terangkat. "Aku nggak liat Mas Dit kemarin."
Dito menggaruk pelipisnya, salah tingkah. "Kemarin gue di rooftop... sama Atta."
Alea mematung, bahkan hanya dengan mendengar namanya di sebut saja sudah berhasil mengusik kinerja organ tubuhnya. Detak jantung yang tidak beraturan, perutnya tiba-tiba melilit, otaknya yang di penuhi oleh bayangan Atta dan lain-lain sebagainya. Apa sebegitu besarnya pengaruh Atta?
"Oh!" See? Satu kata yang membuatnya terlihat bodoh, salahkan otaknya yang tidak bisa bekerja sama. Kenapa di antara banyak kata, dia seolah kehilangan kata-kata untuk berkata atau sekedar merespon dengan tenang.
Dan sayangnya, Dito cukup pintar untuk sekedar membaca situasi.
"Kamu sama Atta gimana?"
Deg!
Kali ini gantian Alea yang bergerak gelisah, "Gi-gimana apanya, Mas?"
Dito mengulas senyum, "Untuk laki-laki yang sebentar lagi melepas masa lajang, kamu nggak berpikir kalo track record-ku bersih-bersih aja kan?" Dito menggerling lalu terkekeh geli melihat keterkejutan di wajah Alea. "Segitu kagetnya ya?" Melihat anggukan polos perempuan itu membuatnya tak kuasa menahan tawa. "Oke, back to the topic. Jadi, apa yang kamu rasain setelah ketemu lagi sama kakak kelas itu?"
Alea terbelalak, mengedarkan pandangannya ke segala arah dengan perasaan was-was lalu kembali menatap Dito dengan tatapan memelas, nyaris menangis. "Mas Dit tau dari mana?" Dia mematikan kompor lalu berjalan mendekati Dito. "Mas, please jangan kasih tau siapa-siapa. Aku bisa mati karena nggak sanggup nahan malu."
Dito menepuk puncak kepala Alea beberapa kali, "Santai aja, aku bisa jaga rahasia kok." Dito mengedipkan sebelah matanya.
Alea menghembuskan napasnya lega meskipun rasa khawatir itu masih tersirat jelas di wajahnya, "Gila nggak sih, kalo aku masih suka sama orang yang sama setelah bertahun-tahun?" Tanyanya lagi, wajahnya berubah sendu.
"Is he your first love?"
Alea menggeleng, "Of course not, but he's the only one who drives me crazy. God! Kayaknya aku harus cari jasa cuci otak deh." Ujarnya frustasi.
"Tenang aja, sebentar lagi orang yang kamu suka itu bakalan lebih gila lagi dan---" Dito menyeringai begitu melihat sosok yang baru muncul di belakang Alea, dengan sengaja merapatkan diri dan berbisik ke telinga Alea, "Kayaknya setelah ini kamu harus berterima kasih sama aku."
Ekhem!
Suara berat itu berhasil membuat Dito menarik diri, namun Alea masih menatap Dito dengan tatapan bingung, mengabaikan seseorang di belakangnya yang mulai terbakar emosi.
"Sampe kapan lo mau ngeliatin calon suami orang?" Suara berat yang kali ini terdengar ketus itu lagi-lagi menarik perhatiannya.
Alea menoleh, menatap Atta yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya dengan kedua tangan tersilang di dadanya.
Alea mengerjap beberapa kali, menatap Atta dan Dito secara bergantian sebelum akhirnya membuka suara, "Kayaknya Mas Atta---"
"Lo kenapa sih? Jadi sensi gini? PMS ya lo?" Dito dengan santainya menyiramkan minyak ke dalam kobaran api. Dito menyeringai, dengan santai balas menatap Atta, seakan tidak gentar dengan tatapan tajam laki-laki itu.
Atta maju selangkah, mendekati Dito. "Jaga batasan lo. Jangan sampe tangan lo nggak bisa di pakai pas ijab qobul." ujar Atta terdengar tenang namun tersirat nada ancaman di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Look at me, only me.
Roman d'amourAtta yang terlalu menggampangkan urusan cinta, nyatanya telah jatuh karena mencintai Aleanara. Adik kelas yang dulu menyukainya diam-diam, menyampaikan rasa lewat kalimat-kalimat yang tanpa sadar sudah menarik perhatian Atta. Perempuan yang tanpa d...