19: Jangan pergi

8 2 0
                                    

Lorong dingin ini menjadi saksi tangis bisu malam hari Larisa. Ia berlarian sampai tak sadar bahwa dihadapannya barang orang-orang yang berlalu lalang. Ia terjatuh dan terpeleset beberapa kali. Orang tuanya menyusul di belakang.

"DIONE!" teriak Larisa dari kejauhan.

Nuansa dinding yang dipenuhi dengan warna putih dan bau khas dari obat yang ada di rumah sakit ini membuat Larisa mual. Dia tidak suka aroma rumah sakit. Demi Dione dia berani menginjak di tempat ini.

Sementara itu, Anila masih menangis di kursi untuk menunggu pasien. Deimos masih lemas saat ia melihat banyak darah yang bercucuran di kepala Dione.

Jujur saja, Dione memang selalu membuat Deimos kesal. Namun, rasa persahabatan, persaudaraan dan kekeluargaan mereka sangat erat. Deimos dan Dione seperti saudara kandung. Mereka mengerti satu sama lain.

Orang tua Dione belum diberi tahu oleh Deimos. Namun, beberapa menit yang lalu ibu Dione-- dia menelepon Deimos. Memang, naluri seorang ibu dan rasa sayang terhadap anaknya itu luar biasa. Dia bisa merasakan rasa sakit dan sedih yang dilalui oleh anaknya.

"Larisa?"

Deimos berhenti memandang jendela yang berada di pintu UGD ruangan Dione. Larisa menangis di pelukan Anila. Ia segera berlari menemui Deimos dan memaksa untuk membuka pintu ruangan itu.

"Jangan gila Larisa! Kami juga di sini mengkhawatirkannya, sadar! Atur dirimu!" seru Deimos.

"Ris, udah! Gak ada gunanya kamu kaya gini! Lebih baik kita berdo'a supaya Dione bisa selamat," ucap Anila.

Larisa lemah tak berdaya, dia kini berada di pelukan sang ayah. Orang tua Dione belum juga datang, Deimos mulai mengkhawatirkan Dione. Karena dia kekurangan banyak darah. Sementara, yang ada di sini tak ada satu pun yang cocok dengan golongan darah Dione.

Dokter keluar, mereka mulai memberikan beberapa pertanyaan. Larisa yang paling  khawatir diantara mereka mulai bersuara.

"Dok, gimana kabar Dione? Dia baik-baik aja kan? Benar kan dok? Jawab dok!"

"Larisa ... nak tenang, nanti dokter juga jawab," ucap ibu Larisa.

"Saudara Dione sedang kritis dia kekurangan banyak darah, apa kalian keluarganya?"

"Saya sahabatnya dok," jawab Deimos.

"Saya ibunya!" teriak Bu Risya.

Bu Risya adalah ibu Dione. Dia tidak bersama suaminya karena sedang bekerja. Sementara adik-adik Dione berada di rumah.

"Oh, kalau begitu saya ingin membicarakan sesuatu dengan ibu, silakan," ajak dokter kepada Bu Risya.

Mereka berdua pergi ke ruangan dokter dan membicarakan beberapa hal. Mungkin tentang pembayaran rumah sakitnya.

"Perasaanku kok gak enak ya, Nil," ucap Larisa.

"Bismillah aja, semoga Dione baik-baik aja,"

"Aamiin ...."

Jam telah menunjukkan pukul 21.30 dan mereka belum juga pulang.

"Kalian pulang saja duluan, besok bisa datang ke sini lagi untuk menjenguknya," ucap Deimos.

"Nggak! Aku gak mau! Aku mau tetep di sini!" tolak Larisa.

"Ris, jangan keras kepala dong! Lihat mata kamu jadi bengkak, kalau Dione lihat, dia bisa ejek kamu lho!"

"Gak Nil, aku gak mau! Lebih baik aku diejek sama dia daripada harus lihat dia diam dan tak berdaya kaya gitu, aku gak mau kehilangan dia," ucapnya.

ketika kita jatuh dan diam [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang