3.Musibah

26 16 1
                                    

Musibah yang datang dari Allah, lebih baik daripada nikmat yang datang dari dirimu sendiri."
_Syeikh Ibnu Athaillah_

🕊️🕊️🕊️

"Aww....." Rintih Tari saat dirinya jatuh dipinggir jalan bersama dengan motor kesayangan.

Mencoba berdiri namun kaki kanan dan tangan kanannya tidak bisa diajak kompromi, sakit sekali. Bersyukur badan mungil Tari tidak sampai tertimpa badan motor hanya kaki saja. Tangan itu mencoba menahan agar tidak sampai jatuh terbaring, jika badannya ikut tertimpa mungkin sudah tidak sadarkan diri.

beberapa orang berhamburan untuk segera menolong korban. Aksi cepat dan tanggap dilakukan oleh seorang lelaki paruh baya yang lebih awal sebelum kejadian terjadi. Dan seorang wanita paruh baya melihat nanar dan segera menolong.

Tiba tiba seorang lelaki paruh baya tersebut mengulurkan tangan, berniat membantu Tari yang kesulitan bangun. Netra itu melihat uluran tangan enggan dia terima, lalu menangkupkan tangan, "Maaf."

Lelaki paruh baya tersebut hanya tersenyum. "Hati hati neng!" Peringatnya saat melihat Tari mencoba berdiri walau menahan sakit.

"Awww." Ringis Tari, perlahan tapi pasti dia mulai berdiri sambil memegang pergelangan kaki, nyeri sekali rasanya.

"Mari saya bantu motornya neng." Akhirnya lelaki paruh baya tersebut berusaha mendirikan motor Scoopy milik Tari, tubuh motor sedikit lecet dan kaca spion bengkok. Lelaki itu berbaik hati mencoba memperbaikinya.

Tari tersenyum. "Makasih ya Pak." Dibalas anggukan dan senyuman bapak tersebut.

Disisi lain netra Tari melihat pria yang menabraknya sedang berusaha berdiri sambil meringis kesakitan. Motor miliknya sedikit luka dilihat kaca spion copot beserta lecet pada badan motor.

"Makasih Bu." Kata pria itu disela menahan sakit sambil memegang bahu terasa ingin patah.

Ibu tersebut tersenyum ramah, "lain kali hati hati, apa mau ibu bawa ke rumah sakit saja, ibu khawatir lihat kondisi kamu sama perempuan itu. Takut kenapa napa nak." Tutur Ibu yang memakai gamis lengkap dengan jilbab syar'i yang kini memperhatikan kondisi Tari dan pria itu. Karena merasa khawatir Ibu tersebut ingin membawa mereka ke rumah sakit.

Pria itu bergeleng, "Tidak susah repot repot Bu, ini cuma luka kecil, sekali lagi terimakasih banyak Bu." Diakhir kalimat pria itu tersenyum dan dibalas senyuman juga oleh ibu tersebut.

"Sama sama nak."

"Makanya neng lain kali kalau nyebrang, liat jalan." Ketus seorang ibu berbadan gemuk sambil mengipasi dirinya dengan kipas tangan miliknya.

Sungguh tatapan yang ibu tersebut berikan sangat sinis. Kalau saja dia anak bandel tidak tahu sopan santun ingin sekali menjotoh wajah perempuan, bukan menanyakan bagaimana keadaanya ini malah menatap sinis. Ah, hati tari memang terlalu sensitif.

Tari tersenyum, "Iya Bu, saya memang kurang hati hati. Tapi makasih sudah di ingatkan."

"Masnya juga, sudah tahu dijalanan. malah main HP, bahaya mas. Untung mbak hanya kesenggol, lain kali mbak juga harus lihat kanan kiri kalau mau nyebrang!" Lanjut ibu tadi.

"Betul tuh, ingat ini jalan raya bahaya, lain kali lebih hati hati mas, mbak." Imbuh seorang bapak berjenggot tebal.

"Iya pak Bu, makasih sudah diingatkan." Kata Tari mewakili.

"Tapi nggak papa kan mas mba?"

"Iya pak, nggak papa cuma luka dikit." Jawab pria tersebut sambil memegang bahu kanannya.

"Iya pak, makasih ya. Dan buat bapak ibu semua saya juga makasih sudah mau bantu." Lanjut pria tersebut tersenyum sopan.

"Sama sama mas mbak, apa tidak sebaiknya kalian ke rumah sakit saja." Saran lelaki berjenggot tebal.

Tari dan pria itu saling menatap sekilas, entahlah jika mereka menerima pasti absen masuk sekolah, tapi jika tidak tubuh sudah terasa hampir remuk.

"Nggak usah pak, terimakasih."
Tolak Tari halus.

"Betul nak, terima saja ya. Biar ibu yang antar kalian, bagaimana?" Tanya Ibu berpakaian syar'i tersebut membuat mereka berdua langsung menoleh ke arah sumber suara.

"Em boleh saja Bu, tapi saya nggak bisa kalau harus bolos sekolah juga nanti nasib motor dan dagangan saya gimana?"

"Tenang saja Bu, di madrasah ada UKS nanti biar kami istirahat disana saja."
Lanjut Tari mencoba menyakinkan walau ibu tersebut tampak masih khawatir wajahnya masih terlihat cemas walau tersenyum pun seperti sedang memaklumi.

"Betul Bu, kata My Lovely kami nggak mau repotin ibu."
Imbuh Pria itu, ibu tersebut tampak terdiam berfikir sebelum mengiyakan apa kata mereka.

"Ya sudah kalau itu mau kalian, ibu setuju tapi jangan tolak ya, ibu mau anatarkan kalian?"

Tari dan pria tersebut saling menatap seolah bertanya 'bagaimana'. Ibu tersebut memperhatikan mereka berdua sambil tersenyum.

"Nggak boleh nolak, urusan motor biar nanti Ibu suruh sopir Ibu ke bengkel."

"Biar kami saja Bu." Kata lelaki paruh baya yang masih setia berdiri disana bersama beberapa orang.

"Makasih pak."

"Sama sama Bu."

"Gimana? Kalian mau kan?"

Apalah daya mereka berdua tidak ada alasan untuk menolak kebaikan Ibu tersebut. Lagipula badan mereka terasa remuk dan sakit sekali, tidak memungkinkan bisa mengendarai motor seorang diri.

Di perjalanan menuju madrasah ibu tersebut menanyakan berbagai macam pertanyaan buat mereka berdua, mulai dari nama, tempat tinggal, asal sekolahan, dan lain sebaginya. Ibu tersebut sangat ramah, itu menurut Tari. Dalam lubuk hati dia menginginkan sosok Ibu yang pengertian seperti ibu tersebut, beliau bernama Hafshah, nama yang yang cantik seperti orangnya.

Setelah sampai Di Madrasah ya tepatnya diluar gerbang madrasah Tari dan Andre. Ya nama pria itu adalah Andre, teman satu madrasah namun beda kelas. Sebelum Bu Hafshah pergi mereka berdua mengucapkan banyak terimakasih.

"Masya Allah ibu itu baik bener. Coba kalau nggak ada ibu itu nasib selanjutnya entahlah." Puji Tari setelah mobil yang di tumpangi Bu Hafshah pergi dari depan gerbang madrasah.

"Tar, maaf ya."

Tari mendongak, "hmm."

"Aku bener bener nggak tahu kalau kamu nyebrang, coba kalau aku lihat kamu, pasti nggak mungkin aku nabrak bidadari semanis kamu, suwer." Jelas Andre jarinya membentuk huruf V sambil tersenyum.

"Ya ya ya." Malas, satu kata saat dirinya berhadapan dengan pria berwajah hitam manis ini.

Mata tari tiba tiba membulat, saat netranya melihat perempuan berbadan gemuk berjalan ke arahnya. Entahlah perasaan Tari tidak enak jika harus berhadapan dengan Bu Siska. Lihat saja sekarang Bu Siska menatap mereka berdua tajam seperti elang.

"Kalian berdua ikut saya ke ruangan."

Mereka berdua menunduk, lalu mengangguk patuh begitu saja tanpa membela diri. Mustahil mereka mengelak jika wajah Bu Siska sudah merah padam.

•••
Kalau ada kritik saran, silahkan sampaikan! Terimakasih.

Btari Indraswari ✓ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang