Selain Permintaan Itu

249 30 0
                                    

Airin memasukkan beberapa barang ke dalam tasnya dengan cepat, berusaha tak menarik perharian, kemudian berjalan mengendap meninggalkan mejanya. Sudah lebih dari sepuluh hari sejak dia berlari-lari menghindar agar tidak bertemu empat mata dengan William. Satu-satunya hal yang tak ingin dia lakukan saat ini adalah bertemu atasannya itu. Sekalipun hanya bayangan William yang melintas, rasa sakit di dadanya selalu muncul. Sesak dan perih.

Namun kali ini rencananya tak berjalan mulus. William sudah duluan menangkapnya di lobby kantor.

"Mau kemana pagi-pagi begini?"

Shiittt.... Umpat Airin dalam hati saat William menghadangnya di pintu keluar.

"Ada janjian dengan Bu Sanjaya yang punya resto Orchid Exclusive Dining."

"Aku antar."

Belum sempat Airin menolak tawaran William, tiba-tiba ada motor berhenti di pelataran depan lobby kantornya.

"Airinnnn..." panggil si pengendara motor sambil melepas helmnya. Tampaklah Ferdi dengan rambut yang agak berantakan namun tak mengurangi ketampanan sang empunya wajah.

"Fer... aku baru mau telfon kamu." Seru Airin yang tampak terkejut dengan kemunculan Ferdi.

William yang berdiri di samping Airin menatap Ferdi dengan tatapan sengit. Musuh.

Tanpa mempedulikan William yang diliputi amarah, Airin bergegas mendekat ke arah Ferdi.

"Bu Sanjaya ngajak kita ketemuan. Lukisannya dimana?"

Kita? Apalagi ini? Sejak kapan kamu dan dia jadi 'kita'? Dan ada urusan apa antara kalian dengan project Orchid Resto? Pikiran William berkecamuk.

Senyum Ferdi mengembang, terlihat begitu bahagia. "Ada di kost. Aku ngga bisa bawa sendiri. Makanya aku jemput kamu. Padahal baru nelfon kamu."

"Ya udah yuk ke kost kamu."

What the hell !! Hey perempuan, kamu punya harga diri ngga sih. Gampang banget pergi ke kost laki-laki.

Masih dengan cuek dan tanpa melihat ekspresi William, Airin pun berpamitan.

"Saya jalan dulu Pak."

Sebagai sesama laki-laki, William tahu betul jika Ferdi menaruh hati pada Airin. Itu terlihat dari senyuman yang dilemparkan Ferdi kepada William saat Airin menaiki motornya. Senyuman menjatuhkan lawan, penuh kemenangan.

We'll see who will be the winner. Rutuk William dalam hati.

Perlahan Ferdi mengendarai motornya membelah kemacetan kota Jogja. Pagi ini dia sudah ijin untuk datang ke kantor agak siang. Lagipula kantornya tidak mengharuskannya datang jam berapa, yang penting pekerjaannya beres. Setelah mengambil dua buah lukisan yang sudah Ferdi selesaikan, mereka bergegas menyerahkannya ke Bu Sanjaya.

Terlihat Bu Sanjaya sangat puas dengan lukisan itu. Beliau bahkan memuji kecakapan tangan Ferdi dan memberikan bayaran yang lebih dari cukup untuk membayar lukisan Ferdi. Beliau berjanji jika kelak ke depannya ada project yang berhubungan dengan design interior, beliau pasti akan menggunakan jasa Ferdi.

"Airin, Ferdi, Ibu ada urusan lagi, Ibu sudah minta koki untuk siapkan makan siang kalian. Ehhh belum waktunya lunch ya... Brunch deh kalo gitu."

"Bu jangan repot-repot. Jadi enak ini saya." Tukas Airin sambil bercanda.

"Bukan Ibu koq yang masak, jadi Ibu ngga repot." Bu Sanjaya pun membalas dengan bercanda. "Ya udah. Ibu jalan duluan ya."

"Iya Bu. Terima kasih banyak. Hati-hati di jalan."

Serentak Airin dan Ferdi berdiri untuk menghormati Bu Sanjaya yang sudah mau pergi.

Tak lama setelah kepergian setelah Bu Sanjaya, seorang pelayan mengantarkan dua gelas orange juice dan pelayan lain membawakan dua piring beef Steak yang terlihat sangat menggugah selera.

"Silakan dinikmati kak." Kata pelayan itu.

"Makasih ya Mba."

Airin sebenarnya merasa sangat tidak enak karena Bu Sanjaya menjamunya seperti ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Airin sebenarnya merasa sangat tidak enak karena Bu Sanjaya menjamunya seperti ini. Apalagi ini belum jam buka resto. Jadi harusnya belum waktunya mereka melayani pesanan makanan. Namun dia juga tidak bisa menolak kebaikan client nya itu. Pikirnya, mungkin beliau hanya membalas kebaikan Airin dengan kebaikan yang lain.

"Rin, ada yang mau aku omongin." Kata Ferdi sambil meletakkan pisau dan garpunya di meja.

"Ngomong aja kali Fer, serius amat."

Ferdi sempat terdiam beberapa saat sebelum mulai mengatakan maksudnya.

"Bisakah kita menjadi lebih dari teman?"

Airin bukan bodoh, hanya pura-pura tidak mengerti. "Maksud kamu?"

"Aku ngga mau menunda lagi untuk bilang tentang hal ni. Aku sudah terlalu lama mencari pembenaran untuk sikapku yang seperti pengecut yang ngga berani mengatakan isi hatiku. Aku pengen kamu jadi pacar aku Rin."

Hening menyeruak.

Airin berharap waktu bisa berputar kembali ke masa mereka masih bekerja di toko DVD. Andaikan ini beberapa bulan yang lalu, mungkin tanpa ragu Airin akan menjawab 'Iya'. Apalagi baginya Ferdi adalah malaikat pelindungnya, yang hampir selalu ada ketika Airin terpuruk sekalipun. Walaupun Airin tak pernah tahu harus menempatkan Ferdi sebagai apa. Selama ini Airin selalu lari dari pertanyaan tentang Ferdi karena Ferdi juga tak pernah mengungkapkan perasaan nya kepada Airin. Airin hanya tak ingin merasa besar kepala dan berharap lebih kepada Ferdi.

Tapi semuanya sudah berbeda. Airin sudah menaruh orang lain di hatinya sepenuhnya, tak menyisakan sedikitpun celah bagi siapapun untuk menerobosnya. Walaupun hatinya masih sakit, namun tak bisa dia hindari bahwa hatinya sudah dia tambatkan pada sosok William.

"Ferdi..." Airin menatap mata Ferdi yang saat ini mengharapkan jawaban darinya. "Aku ngga mau bohong sama kamu Fer. Bahkan jika aku harus menukar seluruh hidupku untuk kebahagiaan kamu, aku rela Fer. Tapi aku ngga mau membohongi dan menyakiti kamu. Bagiku kamu akan selalu menjadi orang penting yang aku sayang dan hormati. Tapi rasa sayang ini tak bisa aku lebihkan menjadi rasa cinta dari perempuan kepada laki-laki. Apapun akan lakukan untuk kamu Fer selain permintaan kamu barusan."

Terlihat raut kekecewaan di wajah Ferdi.

"Apa sudah ada orang yang kamu sukai Rin?"

Airin menggangguk lemah.

"Apa dia juga menyukaimu?"

"Aku ngga bisa menjawabnya Fer. Karena sampai sekarang, aku juga ngga tau dia menganggap aku sebagai apa. Aku ngga bisa membaca apa yang ada di hatinya."

Until You Say It FirstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang