William Hoffman sudah sangat hapal kebiasaan pamannya yang selalu datang lebih cepat dibandingkan staff kantor yang lain. Jika yang lain akan datang mendekati jam absen masuk, maka Henry Hoffman akan datang satu jam lebih cepat. Oleh karena itu, dia sudah berada di kantor jam 07.05 dengan pakaian rapi seperti yang pamannya selalu ajarkan kepada dia. 'People get what they see'
"Morning Uncle." Sapa William begitu memasuki ruangan yang biasanya menjadi ruang kerja nya ketika pamannya tidak ada.
Ruangan itu mempunyai dua meja kerja. Satu milik paman nya yang berada di dekat kaca jendela dengan pemandangan jalanan kota, dan satu lagi meja milik William yang menghadap kaca satu arah, yang bisa memungkinkan orang yang di dalam ruangan bisa melihat keluar tapi tidak sebaliknya. Satu set sofa warna dark brown menghiasi ruangan itu sebagai tempat menerima tamu.
Henry Hoffman yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya menghentikan kegiatannya. "Morning"
William menarik kursi di depan meja kerja pamannya dan menempatkan dirinya disitu.
"What happened with that act Will? You surprised me." Henry Hoffman mencoba meneliti lewat mata keponakannya yang saat ini hanya menunduk lesu di depannya.
Masih belum mendapatkan jawaban apapun, Henry Hoffman melanjutkan, "You've been staying by my side since Senior High School. And yesterday..... I have no idea for what came to your mind."
"I'm sorry Uncle. My bad." Jawab William lirih tanpa sedikitpun berani melihat mata Henry Hoffman.
Paman nya itu adalah orang yang dia takuti setelah orang tuanya. Dia bukan orang yang akan membiarkannya melakukan hal-hal di luar nalar. Semenjak dia memutuskan untuk kembali ke Indonesia, Henry Hoffman adalah satu-satunya orang yang dipercayakan oleh orang tua William untuk mendidiknya. William bukannya tidak senang tinggal dengan orang tuanya. Hanya saja, Amerika bukan tempat yang ingin dia tinggali. Dia lahir dan besar di Indonesia. Dia mencintai budaya Indonesia, makanan Indonesia, bahkan jika dia ingin menikah, dia ingin menikah dengan orang Indonesia. Enam tahun dia menghabiskan masa remajanya di Amerika dan dia tetap merasa jiwanya tidak berada disana.
"Kalau kamu tahu kamu salah, perbaiki segera. Bagaimana saya bisa menyerahkan tanggung jawab untuk perusahaan ini sepenuhnya kalau kamu bersikap seperti itu William. I don't care if you have personal problem with that girl. All you have to do now is getting involved to that project until it's done. That is called as responsibility. Remember?"
"Not that one please Uncle." Iba William dengan wajah memelas.
"Don't argue with me! Kamu ngga malu apa jadi atasan yang tidak professional?"
William kembali tertunduk, kali ini sangat lemas. Jika semakin dia melawan, maka semakin ganaslah pamannya. Maka dengan sangat terpaksa dia menganggukkan kepalanya tanda setuju tanpa melakukan perlawanan lebih banyak. Mau tak mau dia tetap harus berhadapan dengan Airin untuk berurusan dengan project itu.
"Get me some breakfast first. Tadi ngga sempat mampir beli karena buru-buru." Henry Hoffman menyuruh keponakan nya yang masih terkulai tak berdaya di kursinya. Sebenarnya dia juga tidak tega memarahi William seperti itu, tapi dia harus mendidik William dengan keras agar jadi orang yang bertanggung jawab.
"Aunt Nancy ngga ikut?" Kebingungan karena pamannya tidak sarapan di rumah.
"No. Dia tidak mau meninggalkan anak kesayangannya di Jakarta. Lucy mewakili sekolahnya ikut lomba piano, jadinya mamanya bersikeras menemaninya."
Sudah lama William tidak bertemu saudara sepupunya yang bernama Lucy itu. Mungkin saat ini Lucy sudah kelas 2 SMP karena dia seumuran dengan adik kandung William yang tinggal di Amerika.
"Ada coffeeshop baru di dekat sini. Mereka buka pagi-pagi sekali. I can get you some toast and a cup of espresso."
"That would be nice, thank you."
William langsung tancap gas untuk membelikan sarapan untuk pamannya.
Hanya perlu 20 menit bagi William untuk kembali dari membeli sarapan. Dengan segelas kopi di tangan kanan nya dan sebuah bungkusan kertas berisi roti panggang di tangan kirinya, dia melangkahkan kaki nya memasuki kantor. Agak sulit membuka pintu kaca di depannya dengan barang bawaan nya. Sampai ada tangan dari seseorang di belakangnya yang membantunya membukakan pintu. William menoleh dan melihat jika tangan itu adalah tangan Airin.
"Thanks." Tutur William dengan wajah dingin dan segera berlalu mendahului Airin.
Tak ubahnya William yang merasa ketegangan atmosfer di antara keduanya, Airin pun juga merasakan hal yang sama. Tapi di hatinya, Airin merasa lega karena William menampakkan dirinya hari ini, artinya dia baik-baik saja setelah kejadian kemarin. Airin saja yang tidak tahu apa yang sudah William lalui pagi ini.
Tepat pukul Sembilan, William memanggil beberapa orang yang bertanggung jawab untuk project hotel yang di handle Airin. Termasuk Airin.
Beberapa kali menanyakan detail perkembangan project kepada Airin, William selalu menghindari bertatapan mata dan hanya bertanya seperlunya. Bersikap seperti hanya atasan dan bawahan. Tidak lebih. Hal yang sama juga dilakukan Airin, sama-sama bersikap dingin, seperti sedang menghukum diri mereka karena salah menempatkan perasaan mereka dan lari dari perasaaan itu.
Hal yang sedang mereka lakukan ini, bahkan terasa lebih menyiksa dari pertengkaran mereka kemarin. Dan ini bukan hanya terjadi di hari itu, beberapa hari berjalan setelahnya, keduanya bahkan tidak bertegur sapa saat berpapasan dimana pun. Layaknya orang asing.
Tersiksa? Pasti. Tapi keegoisan telah membuat mereka lebih menerima rasa sakit daripada menguak kebenaran yang sesungguhnya.
"Pak, MOU nya sudah selesai saya buat. Tinggal Bapak tanda tangan saja."
Kalimat itu meluncur dari ujung telfon saat William mengangkat line telfon di atas meja kerja nya.
"Titip saja di Linda, nanti Linda yang bawa ke meja saya."
Tak kalah sengit dari sekedar memanggil William seolah hanya atasannya, William pun membalas Airin dengan bertindak sedikit arogan dan tak ingin bertemu dengannya.
Airin mendengus kesal setelah meletakkan gagang telfonnya. Tak bisa dia pungkiri, walaupun dia masih merasa sakit hati, tapi dia sangat merindukan William yang dulu suka menganggunya. Keadaan di antara dia dan William memang sudah sangat beku dan canggung. Kesedihan yang sama juga dirasakan William di ruangan yang lain, dia juga merindukan sosok Airin yang sering membuatnya gemas. Namun keduanya tetap menolak untuk berdamai dan melanjutkan perang dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Until You Say It First
RomanceBerawal dari kesalahpahaman di sebuah toko DVD, Airin harus berhadapan dengan Boss yang rewel dan sering mengganggunya. William, laki-laki yang biasanya selalu dikejar-kejar wanita dimanapun dia berada, sekarang malah bertemu perempuan yang selalu...