The Truth

276 30 0
                                    

Telfon Airin berdering. Dari Silvy.

"Halo Vy."

"Rin, kamu ada waktu hari ini? Bisa ketemuan?"

Airin memeriksa jam tangannya. 16.30, hampir jam pulang kerja.

Semenjak di restoran pasta terakhir, Airin belum bertemu lagi dengan Silvy. Silvy pergi ke Surabaya untuk beberapa waktu membantu papanya menyelesaikan beberapa urusan perusahaan mereka.

"Aku selesaiin kerjaan ku setengah jam lagi ya Vy. Nanti aku rumahmu."

"Aku jemput ya Rin." Terdengar suara sedih Silvy dari ujung telfon. Dia masih merasa bersalah kepada Airin.

"Ngga usah Vy. Nanti aku naik ojek online aja kesana. Minta tolong aja Bi Yati bikinin aku nasi goreng ya. Aku belum sempat makan siang tadi."

Silvy tersenyum. Dia bahagia mendengar sahabatnya minta dibuatkan nasi goreng, artinya Airin baik-baik saja dan tidak marah padanya.

"Siap my Queen..."

Setelah hampir satu jam dari mereka menutup telfon, Airin sudah sampai di depan rumah Silvy yang megah. Silvy menanti Airin dengan cemas di depan pintu, seolah-olah melihat anaknya yang baru dibebaskan oleh penculik Silvy berlari memeluk Airin dan menangis tersedu-sedu.

"Ada apa ini Vy? Kamu bikin takut tau."

"Rin, aku tau aku salah Rin... Maafin aku Rin. Aku temen yang buruk ya Rin... "

Airin sampai harus melepaskan dengan paksa pelukan Silvy yang sangat kencang.

"Heiiiii.... Boleh ngga aku makan dulu baru kamu lanjutin nangisnya entar. Cacing di perutku udah pada demo dari tadi."

Silvy melepaskan pelukannya dan mengusap air matanya.

"Oh iya aku lupa kamu belum makan. Aku udah suruh Bi Yati siapin nasi goreng, telur dadar, ayam goreng, sop iga sapi, roti bakar, susu hangat, air madu."

Airin seketika menampar gemas pantat sahabatnya, "Aku hanya belum makan siang, bukan ngga makan satu minggu."

Silvy terkekeh dan kemudian membiarkan Airin menikmati super late lunch nya dengan tenang.

Setelah selesai, Silvy menarik tangan Airin untuk masuk ke kamarnya. Mereka pun duduk berhadapan di atas tempat tidur Silvy.

"Rin, kamu mau kan maafin aku." Pinta Silvy memelas.

"Harusnya aku yang minta maaf karena ngga cerita ke kamu."

Silvy terdiam sejenak dan manggut-manggut, "Bener juga. Harusnya kan aku yang marah. Tega banget kamu ngga cerita ke aku. Kamu anggap apa aku ini?"

"Mesin printer rusak."

"Loh koq gitu!?" Tanya Silvy dengan cemberut

"Bisa nya cuma nyetak tinta kabur. Ngga jelas semuanya."

"Tapi aku punya berita yang jelas sekarang beib." Silvy memasang muka serius dan memandang Airin.

"Koq aku deg-degan ya." Kata Airin menggoda.

Silvy tak menggubris Airin dan mulai bercerita. "Aku ketemu Emma beberapa hari yang lalu sebelum dia pulang ke Canada."

"Ada pilihan PASS ngga?" Tanya Airin dengan senyum yang dipaksakan.

Silvy menepuk kaki Airin yang duduk bersila di depannya. Airin tak henti-hentinya menggodanya.

"Emang acara quiz."

Airin tertawa terbahak.

"Ok ok... terus ada kabar apa tentang Emma?"

Walaupun hati Airin was-was menanti cerita Silvy, tapi dia tak mau menghindari situasi itu dan bersiap untuk berita terburuk.

"Emma cerita semuanya ke aku." Silvy mulai bercerita. "Sebenarnya dia datang mendadak ke Indonesia karena menerima telfon dari William. Dia bilang, William serius tentang mengajaknya putus. Sejak dia berangkat ke Canada, William sudah berulang kali memintanya putus, tapi ngga pernah dia hiraukan. Sampai beberapa minggu yang lalu William memohon untuk melepaskannya karena dia ngga mau Emma terus-terusan berharap sama dia padahal dia ngga bisa membalas cinta Emma. Dia bilang, William mencintai orang lain dan ngga pengen orang itu terluka. Emma bersikeras ngga pengen putus dan pengen ketemu orang yang udah merebut William dari dia. Tapi ngga sedikitpun William memberikan clue tentang orang itu. Akhirnya Emma menyerah dan pulang. You know what I mean kan beib.... "

Airin tenggelam dalam diam menyerap berita yang baru saja disampaikan Silvy. Menarik nafas panjang seolah dia baru terjaga dari sebuah tidur panjang dengan mimpi yang sangat buruk.

Dia menyadari kalau dia sudah salah paham kepada William. Dia sudah melukai hati William. Airin merasakan penyesalan yang begitu dalam. Berpikir dialah manusia terbodoh dan teregois di dunia ini.

Akankah dia memaafkan aku? Aku sudah terlalu kejam padanya.

Tanpa berpikir panjang, Airin meraih smartphone nya dan mengetik nama William di daftar contactnya.

Mencoba menelfon William beberapa kali namun tidak diangkat. William mengabaikan panggilannya.

Dia teringat kalau perang dingin di antara mereka sudah berlangsung beberapa hari dan saat itu sudah bukan jam kantor, sudah pasti William tak mau mengangkat telfonnya karena pasti bukan urusan pekerjaan.

Malam harinya Airin gelisah. Airin ingin segera menyelesaikan kesalahpahaman mereka, namun mendatangi rumah William rasanya bukan hal yang pantas dilakukan di tengah malam buta.

Akhirnya dia pun mengetik pesan untuk William.

'I have something to talk to you. Do you have time tomorrow?'

Pesan terkirim.

Setelah beberapa menit pesan itu pun dibaca, namun belum juga dibalas.

'Saya ada pekerjaan di luar kota selama beberapa hari. Jika ada urusan pekerjaan yang berkaitan dengan saya, silakan hubungi Linda.'

'Bukan tentang pekerjaan. Ada yang harus kita bicarakan.'

'There's nothing to do with me then.'     

Fine, I made one mistake and now you treat me like a piece of shit. Tapi itu juga bukan semua salahku. Kamu juga ngga pernah cerita sama sekali tentang Emma. I really want to reconcile with you, but you don't care at all. Screw you William.

Until You Say It FirstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang