Extra Chapter; 2. Fam(ily)

43.6K 1.3K 91
                                    

Sengaja hari ini pulang on time dan meninggalkan banyak pekerjaan untuk jemput istri. Tapi di tengah perjalanan menuju rumah--niatnya mandi dan ganti baju biar cakep--eh, dia telepon untuk bilang nggak jadi pulang. Mood gue hancur seketika. Tambah hancur lagi waktu gue bilang mau ngapel ke sana, tapi dia nolak.

"Kenapa kamu nggak jadi pulang hari ini?" tanya gue di telepon tadi sore.

"Cherly sama Jordy besok baru pulang. Aku nggak enak kalau pulang duluan. Nanti mama sama papa mikir macem-macem." begitu jawabnya.

"Loh, mereka, 'kan udah berdua disana. Bahkan berempat Jovita sama Jessica. Sedangkan kamu udah terlalu lama ninggalin suami sama anak-anak." protes gue. Jelas gue nggak terima karena Cherly udah sekeluarga disana--selama apa juga nggak masalah--beda sama istri gue.

"Mereka mama-papaku, Kenzie. Masa' aku hitung-hitungan, sih, nemenin seminggu doang."

"Seminggu lebih, Cel. Bukan cuma mereka yang butuh kamu, kita disini lebih butuh." sahut gue.

"Besok, ya."

Gue nggak jawab. Marah, tapi sedih lebih mendominasi. Yang jadi penyemangat hari ini, justru yang membuat down berkali-kali lipat. Gue bukannya nggak sadar usia, hanya saja gue terlalu mencintai Celline. Nggak bisa rasanya dipisahkan lebih lama dari ini.

"Aku kesana, ya." gue mencoba membangun harapan.

"Nggak usah, kamu pasti capek." kata dia yang nggak sepenuhnya salah.

"Nggak apa-apa, lagian besok weekend juga."

"Besok aku pulang, sayang."

Gue curiga, kenapa dia nggak mau gue samperin. "Kamu nggak lagi macem-macem, 'kan?"

Celline terkekeh. Membuat gue tambah kesal, sekaligus... Rindu.

"Jangan marah, ya, Papa Kenzie." rayu dia.

Gue langsung memutuskan panggilan. Dia tahu gue bukan tipe orang yang sabar, tapi malah seenaknya gini mempermainkan. Untung istri, untung sayang. Tapi gue sedang dalam mode nggak ingin digoda. Mungkin kalau goda secara langsung akan dengan senang hati menyambut. Tapi ini beda cerita.

Tok! Tok! Tok!

Pintu kamar gue terdengar diketuk seseorang. Gue lagi malas bicara atau hanya sekedar bilang masuk.

"Pa, ini kakak, mau pinjam baju mama."

"Hm," sesingkat itu respons gue.

Nggak lama pintu terbuka. Benar-benar menampilkan Shena. Gadis itu langsung menuju walk in closet yang ada di kamar gue.

"Udah bilang mama?" tanya gue setelah dia keluar membawa sebuah dress milik Celline.

"Udah, kata mama ambil yang mana aja."

Gue mengangguk, sementara Shena keluar dan menutup kembali pintu kamar.

Tubuh Celline dan Shena memang sebelas-dua belas, jadi mereka bisa saling meminjam barang satu sama lain. Terutama Shena yang hobi banget pakai baju Celline, kata dia cantiknya nambah kalau pakai baju mamanya. Paling yang bikin beda bagian dada. Tentu Celline lebih besar daripada Shena. Bukannya gue nggak sopan membedakan ukuran sensitif tersebut, tapi Celline sendiri yang bilang. Pernah dia ingin meminjam kaos abu-abu Shena untuk bertemu teman-temannya--karena mereka memiliki dresscode wajib setiap bulannya--tapi bagian dada Celline tercetak jelas. Gue nggak mengizinkan dan dia bilang pun sesak.

Beda lagi kalau ukuran sendal atau sepatu, kaki Celline justru lebih kecil. Entah kenapa kaki anak gadis zaman sekarang jauh lebih besar daripada ibunya--terjadi di beberapa teman gue--atau mungkin karena kebanyakan MSG jadi ngembang banget.

LIMERENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang