Extra Chapter; 1. Fam(ily)

36.2K 1.1K 32
                                    

Menjalani hari-hari tanpa Celline bener-bener membuat hidup gue nyaris hancur berantakan. Jam tidur nggak jelas, pekerjaan numpuk, makan nggak teratur dan sering lupa sama banyak hal yang harus dibawa atau dilakukan. Gue udah terlalu terbiasa ada dia dalam hidup gue. Tapi situasi saat ini memaksa gue dan Celline berpisah.

Membangunkan dua remaja puber yang harusnya menjadi tugas Celline, kini harus gue ambil alih. Gampang-gampang sulit ternyata.

"Bang, udah jam enam. Buruan mandi, ntar telat ke sekolah."

Gue membangunkan anak sulung yang sekarang udah berusia lima belas tahun itu. Untungnya nggak susah, karena Shawn langsung bangun setelah punggungnya gue goyang-goyang secara pelan.

Lalu gue berpindah ke kamar sebelah. Gantian membangunkan anak gadis gue. Duh, udah jadi gadis aja. Ayahnya ini masih belum terima setiap kali--secara diam-diam--Shena curhat ke mamanya kalau dia lagi naksir sama cowok. Gue tau itu cuma sekedar cinta monyet. Tapi sebagai ayah, gue ngerasa nggak rela mendengar hal itu. Gue pengin tetap jadi laki-laki yang dicintai anak perempuan gue, tapi sepertinya terlalu egois. Eh, tapi gitu juga nggak, sih, ayah-ayah di luar sana? Atau karena gue yang memang basic-nya posesif?

"Kak, bangun, kak."

Gue tepuk-tepuk pipi mulusnya itu dengan pelan sambil terus menggumamkan kata bangun.

Membangunkan Shena jauh lebih sulit daripada membangunkan Shawn. Terbukti dari dia yang nggak bergerak sama sekali. Maka gue mendudukkan dia secara paksa supaya sadar. Tenang, gue bukan pedofil yang akan macem-macemin anak sendiri. Gue nggak punya gangguan itu sama sekali. Gue sayang sama Shena sesuai pada porsinya.

"Bangun, kak."

"Lima menit lagi, pa..."

Gue biarin dia tidur lagi dan menunggu selama lima menit. Meski sebenarnya gue juga masih ngantuk dan menunggu akan membuat gue semakin ngantuk.

"Udah lima menit, kak." peringat gue.

Dia langsung bangun dan segera ke kamar mandi. Shena dan yang lainnya cukup paham kalau papanya ini nggak memiliki banyak stok sabar seperti mamanya.

Haha, lucu juga.

Tapi dari lubuk hati terdalam, gue nggak mau ditakutin sama anak-anak. Gue mau dihormati.

----------

Mereka udah lengkap dengan seragam putih biru, begitu juga dengan gue yang siap dengan seragam kantor. Kami sarapan bertiga.

"Nanti kakak nggak ada bimbel tambahan, pa. Kakak ke rumah nenek, ya, mau ketemu mama."

Gue mengangguk. Udah dari dua hari lalu Shena pengin banget ketemu mamanya, tapi karena bertabrakan dengan jam bimbelnya maka gue nggak izinin. Bisa diomelin Celline habis-habisan kalau sampai gue membiarkan anak-anak bolos.

"Abang ikut?" tanya Shena.

"Abang ada eskul basket." jawab Shawn seadanya.

Setelah bercakap pagi dan menyelesaikan sarapan, gue mengantar mereka ke sekolah. Ini udah jadi rutinitas, ada Celline ataupun enggak. Kecuali kalau urusan jemput, jadi tugas Celline atau sopir pribadi keluarga kami.

Akhirnya sampai di kantor setelah urusan anak-anak selesai. Gue merogoh ponsel dari saku celana bahan yang hari ini gue kenakan. Dengan segera gue menghubungi pujaan hati melalui panggilan video.

Sebenarnya berdering, tapi nggak diangkat. Pasti dia lagi repot. Tapi gue belum bisa kerja kalau belum dengar suaranya. Semacam nggak ada penyemangat. Gue hubungi terus, berulang-ulang. Sampai akhirnya usaha gue membuahkan hasil.

LIMERENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang