Pelamunan

60 9 0
                                    

"Krieeeeett ...," terdengar suara pintu kayu rumah itu dibuka ke arah dalam.

"Assalamulaikum ...," ujar Pungki.

"Wassalamualaikum ...," balas seorang pria setengah baya yang muncul di ambang pintu.

"Sudah lama kalian sampai?" tanya pria itu.

"Baru kok," jawab Pungki.

"Oh iya kenalkan Pak ... ini Yusa sepupu saya ... dan ini Rayya sahabatnya," ujar Pungki mengenalkan Yusa dan Rayya kepada guru spiritualnya.

"Ya ... ya ... ayo silahkan masuk," ujar pria itu.

"Kami harus manggil ustad atau apa, Pak?" tanya Rayya tanpa minta persetujuan Pungki.

"Wah ... panggil saja Pak Umang ... saya bukan ustad," jawab Pak Umang.

"Baik ... terima kasih Pak Umang," balas Rayya.

"Silahkan duduk ... saya siapkan kopi dulu," ujar Pak Umang.

"Wah terima kasih Pak," ujar Yusa berbinar mendengar kata kopi di pagi hari.

Mereka bertiga tak banyak bercanda di ruang tamu itu, karena khawatir terdengar tak sopan dari balik dinding pembatas berbahan bambu itu.

"Boleh ngerokok di sini?" tanya Rayya.

"Itu asbak," ujar Yusa sambil menunjuk sebuah asbak di pojok ruangan.

Pungki berjalan mengambil asbak itu, lalu meletakkannya ke meja di hadapan mereka.

"Pak Umang ... kami boleh merokok, kan?" tanya Pungki.

"Mangga ... merokok aja," jawab Pak Umang terdengar dari arah dalam.

Tak lama kemudian empat cangkir kopi panas dengan asap masih mengepul tiba di meja. Setelah itu Pak Umang kembali lagi membawa nampan berisi termos hijau dan sepiring ubi rebus.

"Ada apa ini rame-rame ... biasanya Kang Pungki nyamper sendirian kemari," ujar Pak Umang membuka perbincangan pagi itu.

"Iya ini Rayya mau konsultasi ... nanya-nanya ," ujar Pungki.

Udara dingin menerobos dari arah pintu dan jendela yang baru saja dibuka oleh Pak Umang.

"Sok, mau nanya-nanya soal apa?" tanya Pak Umang.

"Ceritain aja Ray," ujar Yusa.

Tak lama, Rayya menceritakan semua pengalamannya di rumah Pungki beberapa hari lalu. Tentang manipulasi paroptic perception yang ia rasakan saat berinteraksi dengan sepasang kekasih yang menari dari dunia sana. 

"Mulut mereka mengeluarkan darah?" tanya Pak Umang.

"Iya dan akhirnya mengotori gaun si wanita," jelas Rayya.

"Kang Rayya ini tajam sekali matanya," ujar Pak Umang tiba-tiba.

"Saya melihat mereka bukan dengan mata ... karena saat saya terpejam mereka tetap terlihat dalam kondisi dan adegan yang sama," ujar Rayya menambahkan pengalamannya.

"Bukan mata yang nyata, Kang Rayya!" ujar Pak Umang menegaskan maksudnya.

"Tadi lihat apa di halaman luar?" tanya Pak Umang.

"Tabir cahaya keemasan," jawab Rayya.

"Kok tau, Pak?" tanya Yusa dan Pungki nyaris bersamaan.

"Nah itu yang melihat mata ketiganya Kang Rayya," ujar Pak Umang.

"Itulah Pak ... maksud kedatangan saya ke sini minta ditutup supaya gak terganggu," ujar Rayya menyampaikan keinginannya.

"Emang perlu Pak dihilangkan?" tanya Pungki.

TARIAN BERDARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang