Bencana Nalar

140 9 0
                                    

Pungki terlihat keluar dari kamar tidurnya, berjalan ke arah ruang makan.

"Ngobrolin apaan tadi di teras ... seru amat?" tanya Pungki.

"Tau deh ... gak ada yang nyambung," ujar Yusa.

"Hehehe ...!" mereka tertawa bersama.

"Mau ngapain nih, Pung?" tanya Rayya.

"Mau netralisir biar rumah ini gak jadi ballroom lagi," jawab Pungki.

"Ooo ngusir sepasang penari berdarah itu?" tanya Rayya.

"Iyalah daripada ganggu terus," balas Pungki.

"Lho tapi yang diganggu cuma aku, kan?" tandas Rayya.

"Tapi semua orang sudah terpengaruh dengan informasi itu," jawab Pungki.

"Informasiku melengkungkan nalar mereka," bathin Rayya.

"Waduh maaf Pung jadi bikin serem, ya?" ujar Rayya.

"Gak juga ... ada serunya juga sih!" ujar Pungki.

"Udah dibersin, Pak?" tanya Pungki saat melihat Pak Umang sedang duduk di pojok ruang makan.

"Ini lagi dicoba," jawab Pak Umang.

"Siapa mereka, Pak?" tanya Pungki penasaran.

"Residual energi dari masa lampau," ujar Pak Umang seakan ingin memancing nalar Rayya.

Dan benar saja ... Rayya langsung bereaksi!

"Maksudnya energi sisa, Pak?" tanya Rayya.

"Sisa energinya siapa, Pak?" tambah Rayya.

"Jejak sisa peristiwa masa lalu," jawab Pak Umang.

"Peristiwanya siapa, Pak?" cecar Rayya. 

"Subyek acak Kang," ujar Pak Umang.

"Periode peristiwanya acak, subyeknya acak, khalayak targetnya juga acak. Randomizernya siapa, Pak?" ujar Rayya semakin penasaran.

"Siapa yang mengatur kompatibilitas codingnya, Pak?" cecar Rayya lagi semakin disiksa akal yang melebar.

"Wah saya gak bisa menjelaskan lebih jauh Kang," ujar Pak Umang nampak kewalahan menghadapi bencana nalar menjelang sore itu.

"Anggap saja rekaman visual Kang," tambah Pak Umang.

"Waduh kalo sekedar rekaman visual gak mungkin bereksponansi menjadi kontak mata dari berbagai sudut yang berbeda," ujar Rayya menolak argumen Pak Umang.

"Rekaman pasti tanpa respon mimik interaktif Pak," tambah Rayya.

"Mungkin saja itu sisa energi yang terekam dalam level subatomik," ujar Pungki melibatkan diri dalam perdebatan itu.

"Lalu siapa yang mengcompile ke saat ini ... mereka cuma meniru peristiwa masa lalu!" ujar Rayya.

"Mereka siapa?" tanya Pungki.

"Mereka yang memiliki memori time series lebih lama ketimbang rata-rata usia hidup manusia," ujar Pungki.

"Jin maksudmu, Ray?" tanya Yusa.

"Benar ... mereka memanipulasi peristiwa yang pernah mereka saksikan di masa lalu milik individu tertentu," duga Rayya.

"Untuk apa mereka melakukan itu?" tanya Pungki.

"Standar branding hantu aja ... menawarkan rasa takut di tingkat harga termurah untuk merebut loyalitas manusia," urai Rayya beranalogi.

"Ya sudah Kang Pungki ... mereka jadi diusir?" tanya Pak Umang yang mulai terlihat tak tertarik lagi masuk dalam perdebatan yang dia rasakan semakin rumit itu.

"Look! Mereka diusir ... bukan memori itu dihapus atau residu energi itu dikonversi ... jadi mutlak mereka itu jin!" tegas Rayya.

"Jadi mereka hantu, Ray?" tanya Yusa.

"Iya politik jin sejak era dinamisme purba tak berakal," ujar Rayya.

"Mereka jin kan, Pak?" ujar Rayya mencari posisi nalar Pak Umang.

"Ya istilahnya begitu," ujar Pak Umang nampak tak ingin lagi terjebak dalam perdebatan. 

TARIAN BERDARAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang