"Ray ... bangun, Ray!" ujar Yusa sambil mengguncang bahu sahabatnya.
"Whoaaahhh ... jam berapa nih?" tanya Rayya sambil ngulet panjang.
"Tiga lima belas," ujar Yusa seraya meninggalkan kamar.
"Aku gak mandi ... cuci muka aja," ujar Rayya.
"OK ...!" balas Yusa dari balik pintu.
Beberapa waktu kemudian Yusa sudah nampak segar, mengenakan kemeja jins lengan panjang yang digulung hingga siku.
"Udah siap?" ujar Pungki yang menyeruak dari balik pintu kamar.
"Bentar ... aku cuci muka dan gosok gigi dulu," ujar Rayya sambil melangkah keluar kamar.
Pukul 04:00 WIB mereka bertiga sudah berada di dalam sebuah bus antara kota milik Arimbi. Mereka duduk di baris paling belakang, agar nanti mudah turun melalui pintu belakang. Bus itu bergerak dari terminal Kalideres melesat ke arah Merak.
Langit masih gelap shubuh itu, ketika mereka tiba di mulut jalan menuju rumah guru spiritual Pungki.
Mereka melangkah pelan di kegelapan jalan desa yang tak rata.
"Gak jauh kan, Pung?" tanya Rayya.
"Paling lima puluh meteran lagi," ujar Pungki.
"Sial keinjek bekicot!" ujar Yusa menyumpah kesal.
"Untung bukan kodok," ujar Rayya sambil menertawakan sahabatnya.
"Kampret jadi aku yang nginjek kodok!" ujar Pungki yang berjalan paling depan.
"Mampus tuh kodok!" sumpah Rayya karena mengingat badan Pungki yang ekstra-L.
"Itu rumahnya," ujar Pungki sambil menghentikan langkah kakinya.
Mereka berdiri di depan sebuah bangunan semi permanen yang sangat sederhana. Bangunan satu lantai itu hanya diterangi lampu lima watt yang terpasang di tritisan penutup pintu depan. Rumah itu tak memiliki teras. Fasad bangunannya hanya dihiasi sebuah pintu dan sepasang jendela yang letaknya saling bersisian. Pintu utamanya hanya berjarak semeter dari bahu jalan desa. Rumah itu tak berpagar.
Tiba-tiba ...
"Aduh mulai lagi!" ujar Rayya tiba-tiba terkejut.
"Raya, ada apa?" tanya Yusa sambil mendekat ke sahabatnya.
"Kenapa Ray?" ujar Pungki ikut terkejut melihat reaksi Rayya.
"Rumahnya menghilang!" ujar Rayya sambil menahan rasa terkejutnya.
"Hilang gimana?" cecar Pungki.
"Tertutup tabir!" jawab Rayya menegaskan apa yang dilihatnya.
"Tabir apa, Ray?" tanya Yusa.
"Tabir cahaya ... kuning keemasan ... menjulang tinggi hingga empat meteran ... mengelilingi rumah itu," urai Ray mendeskripsikan fenomena di hadapannya.
"Wuihh ... makin sakti!" ujar Pungki dengan muka keheranan.
"Cahayanya berpendar semakin keemasan ... seperti gelombang bergerak pelan ke arah atas," tambah Rayya.
Sesaat kemudian terdengar kumandang adzan dari kejauhan ...
"Eh ... udah shubuh," ujar Yusa.
"Pagar cahaya itu mulai menghilang perlahan," ujar Rayya sambil memandang ketinggian di arah depan mereka.
"Ayo kita ketok aja pintunya," ajak Pungki sambil melangkah ke arah rumah yang mulai terlihat jelas dalam pandangan Rayya.
"Assalamualaikum ... toktoktok," ujar Pungki sambil mengetuk pintu rumah itu.
Dari dalam rumah terdengar suara orang mengeraskan bacaan sholat shubuh.
"Ssstt ... lagi sholat ... kita tunggu sebentar," ujar Pungki.
KAMU SEDANG MEMBACA
TARIAN BERDARAH
ParanormalRayya menyaksikan sepasang kekasih dari ras Kaukasoid sedang menari di ruang makan rumah sepupu sahabatnya. Mereka berputar searah dan terkadang setengah melayang. Mata mereka selalu menatap ke arah Rayya tanpa berkedip di tengah gerak tari mereka.