Jam dinding di ruang keluarga telah berdentang dua belas kali, memberi tanda peralihan waktu di antara dua alam.
"Kita lanjut begadang atau mau tidur?" tanya Jojo.
"Kalo mau tidur ... aku balik aja," ujarku sambil pura-pura berdiri dari ujung kasur.
"Hahaha ... belum berubah!" ujar Yusa menertawakan Jojo yang tak pernah kuat begadang, kecuali ada tugas kuliah.
"Tring ... ting ... tring ... ting ... ting," tiba-tiba sayup terdengar suara denting musik klasik seperti kotak perhiasan yang sedang dibuka.
"Priti belum tidur, Yus?" tanyaku sambil meminta mereka diam sejenak.
"Kenapa?" tanya Yusa setengah berbisik.
"Laper lagi, Ray?" tanya Jojo dengan ekspresi setengah dungu.
"Kalian gak dengar alunan denting musik klasik?" tanyaku ke mereka.
"Gak denger apa-apa," jawab Jojo sambil berusaha menajamkan indera pendengarannya.
Tiba-tiba suasana kembali hening, suara denting musik klasik itu menghilang begitu saja.
"Ya sudahlah ... mungkin Priti nyiapin penampilan untuk ke kantor besok," ujarku sekenanya.
"Gak mungkin ... dia pelor," ujar Yusa memastikan bahwa Priti sudah tertidur pulas dini hari itu.
Kami kembali berbincang tentang semua kejadian seru selama menjalani masa kuliah bersama.
Jojo sebetulnya senior satu angkatan di atas kami yang terlalu sibuk pacaran, sehingga studinya sempat terbengkalai selama setahun.
"Kapan nikah, Jo?" tanyaku iseng ke Jojo.
"Begitu diterima kerja," ujar Jojo penuh keyakinan.
"Wieeewww ... nekad!" ujar Yusa setengah tak percaya.
"Sampe kapan di Jakarta, Jo?" tanyaku memastikan jadwal Jojo.
"Sabtu pagi," jawab Jojo membuatku setengah terkejut.
"Lho ... kok buru-buru amat, Jo?" balasku.
"Ada sepupu menikah," jawab Jojo singkat tapi serius.
"Trus kapan balik ke Jakarta lagi?" tanya Yusa.
"Dua atau tiga minggu lagilah," jawab Jojo sambil membalik badan ke arah dinding kamar.
Malam semakin larut, kedua sahabat Rayya mulai mengantuk, terlihat jelas dari bahasa tubuh mereka yang mulai merebah di atas kasur.
Alunan denting musik klasik kembali memecah keheningan. Tapi Rayya sengaja tak memberitahu kedua sahabatnya. Ia ingin memastikan apakah hanya dirinya yang mendengar keanehan tersebut.
Sementara itu Jojo mulai terlihat membalik tubuhnya ke arah dinding kamar yang berlawanan, mencari posisi tidur ternyaman.
Yusa nampak hanya terlentang memejamkan mata sambil menyilangkan kedua kakinya, nyaris tak bergerak.
Kali ini alunan denting musik klasik semakin terdengar jelas, dengan orkestrasi yang mengisi bagian latar, menyatu selaras dengan choir menciptakan atmosfir aural yang sangat kelam. Rayya merasakan dirinya seperti tertarik ke sebuah kutub hitam penuh kegelapan. Ia biarkan dirinya terbuai sensasi itu.
Rayya coba meraba setiap lipatan memori di ruang sinapsisnya, tapi tak kunjung ia temukan ingatan terhadap jenis musik yang sedang memenuhi ruang pendengarannya saat itu.
Repertoarnya sama sekali tidak mencerminkan paduan nada apapun seperti yang jamak terdengar pada komposisi musik hari ini. Minor dan diminish bergerak asimetris menciptakan misteri yang menyayat kesedihan dari masa lampau yang kelam, dan semua itu mulai menggetarkan rasa takut sekaligus keingintahuan yang mencekam.
"Ada apa di ujung semua misteri aural ini?" bathin Rayya bertanya-tanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
TARIAN BERDARAH
FantastiqueRayya menyaksikan sepasang kekasih dari ras Kaukasoid sedang menari di ruang makan rumah sepupu sahabatnya. Mereka berputar searah dan terkadang setengah melayang. Mata mereka selalu menatap ke arah Rayya tanpa berkedip di tengah gerak tari mereka.