"Ray ... itu cara Pak Umang menolak permintaanmu ... mana mungkin dia memberi syarat sekonyol itu," jelas Pungki seakan bisa membaca keraguan di hati Rayya.
"Iya aneh banget syaratnya," balas Rayya.
"Anggap aja bakat alam ... jangan dibuang Ray," ujar Yusa.
"Iyalah ... gak suka dengan apa yang kulihat tinggal baca Ayat Kursi, kan?" ujar Rayya berdalih untuk dirinya sendiri.
"Itu maksudku," ujar Yusa.
"lama-lama juga biasa," ujar Pungki sekenanya sambil tersenyum sendiri.
"Sudah siap berangkat?" tanya Pak Umang.
"Ayo siap Pak," balas mereka bertiga.
Bus yang mereka tumpangi berjalan sangat kencang sepanjang menempuh perjalanan pulang ke Kalideres. Hidung bus itu seakan menempel sejarak satu dua meter saja dari bagian belakang bus yang ada di depannya. Mereka beradu kencang sesama bus antar kota. Sungguh menegangkan, sampai-sampai Rayya reflek ikut mengerem setiap kali sopir bus mendadak mengurangi kecepatan atau menghindari kendaraan dari arah depan.
"Perhatikan bus ini akan membuang ke arah kiri, ke arah sawah, setelah melewati jembatan di depan," ujar Pak Umang tiba-tiba.
Beberapa saat kemudian ...
Benar saja, persis setelah melewati jembatan, bus itu membuang ke arah kiri karena menghindari sebuah truk yang mengambil jalur mereka dari arah depan.
Pak Umang nampak berkonsentrasi sambil memiringkan badannya melawan arah bus yang sedang tak terkendali meluncur ke arah sawah di sisi kiri.
Arah bus itu tiba-tiba kembali normal dan berada di tengah bahu jalan sebagaimana mestinya.
"Untung saja," ujar Pak Umang terdengar setengah bergumam.
"Sakti banget," ujar Pungki .
Yusa dan Rayya tampak saling melempar pandang menanggapi ucapan Pungki barusan.
"Dia pengen banget jadi anak indigo," bisik Yusa sambil tersenyum nakal ke arah Rayya.
Rayya hanya tersenyum kecil. Dia sedang sibuk memikirkan tentang apa yang baru terjadi. Energi apa yang digunakan oleh Pak Umang untuk mengendalikan sebuah bus yang tadi tak terkendali. Fenomena metafisik memang terkadang menarik keingintahuannya, tapi Rayya selalu berpijak pada keimanannya ketika berhadapan dengan keraguan nalar. Meskipun imannya masih setipis lapisan embun pagi di permukaan selembar daun keladi. Begitu mudah tergelincir karena keterbatasan akal dan pikir.
Mereka tiba di rumah Pungki tepat pukul 13:00 WIB. Makan siang tak dapat ditunda lebih lama lagi.
Priti ternyata tak ada di rumah, jadi mereka terpaksa membeli makanan dari sebuah kedai di seberang komplek pemukiman itu.
"Kok tadi bisa gitu, Pak?" tanya Rayya penasaran tentang pengendalian bus secara 'otonom' tadi.
"Kang Rayya juga bisa asal mau latihan," balas Pak Umang.
"Emang ada tempat kursusnya, Pak?" tanya Yusa.
"Coba Kang Rayya konsentrasi penuh ... bayangkan mau mengangkat portal di pos satpam itu," ujar Pak Umang mengarahkan Rayya.
Rayya terlihat fokus melihat ke arah portal dan mulai menggerakkan tangan kanannya seakan sedang mengungkit sesuatu dari arah bawah.
"T-tretek ... tek," suara portal tiba-tiba terdengar bersamaan dengan gerakkan naik setinggi lebih kurang sepuluh sentimeter, dan lalu terlepas begitu saja.
"Tahan ... jangan dibanting," ujar Pak Umang.
"Woooowww ... apa yang baru saja terjadi?" ujar Yusa.
"Cuma kebetulan, kan?" ucap Yusa kembali bertanya.
"Udah pasti kebetulan, Yus!" ujar Rayya mendukung pendapat sahabatnya itu.
"Sialan ... lagi-lagi benturan nalar!" gerutu bathin Rayya.
"Udah Pak ... saya gak pengen apa-apa lagi ... semakin aneh," ujar Rayya melemparkan pandangannya ke Pak Umang.
"Kalo pakek nalar ... ya jadi aneh," ujar Pak Umang.
"Jika benar energi adalah zat dan gelombang ... ya cuma dengan nalar kuantum aku bisa meraba fenomena diskrit tadi," bathin Rayya berbisik menolak tafsir diluar nalar yang menjadi argumen Pak Umang barusan.
Pak Umang nampak tersenyum, seakan memahami bencana nalar yang sedang berlangsung di benak Rayya.
"Remote TV juga merambatkan inframerah, kan?" sindir Pak Umang sambil meninggalkan teras menuju ke ruang makan.
Perdebatan singularitas teknologi itu terdengar sangat asing untuk sebuah masa, dimana sistem injeksi bahan bakar pun belum diaplikasikan secara masal pada mesin kendaraan pribadi.
"Ayo Kang Rayya, mau bantu gak?" ujar Pak Umang dari arah ruang keluarga.
"Apalagi nih, Yus?" tanya Rayya.
"Udah ikutin aja ... mana tau ada keseruan lain," ujar Yusa sambil mendorong Rayya masuk ke dalam rumah.
"Bantu apa, Pak?" ujar Rayya terjeda beberapa saat.
Nalar memang nyaris tak pernah spontan!

KAMU SEDANG MEMBACA
TARIAN BERDARAH
ParanormalRayya menyaksikan sepasang kekasih dari ras Kaukasoid sedang menari di ruang makan rumah sepupu sahabatnya. Mereka berputar searah dan terkadang setengah melayang. Mata mereka selalu menatap ke arah Rayya tanpa berkedip di tengah gerak tari mereka.