“Jadi, siapa yang akan bercerita lebih dulu?”
Lima keberadaan yang lain tetap tenang dalam pandang, walaupun sekalimat tanya telah selesai dilemparkan. Ia yang tadi bertanya langsung menghela napasnya. Dipandangnya lima kehadiran sosok--tiga lelaki dan dua perempuan--yang sedang duduk bersamanya di sebuah meja berbentuk bundar. Mereka tampak diam enggan bersuara.
“Maaf-maaf. Aku lupa kalau kalian adalah kelompok yang berbeda dengan sebelumnya. Jadi, izinkan aku untuk memperkenalkan diri lebih dulu,” katanya. “Kalian bisa memanggilku Gistra. Di sini, kita berkumpul untuk membagikan kisah-kisah yang selalu disembunyikan manusia--kalian tahu itu.”
Gistra menyudahi sesi introduksinya. Netranya langsung berkeliling menatap wajah-wajah asing yang menunduk senduk. Namun, ada satu sosok lelaki yang terlihat kebingungan. Ia yang duduk tepat di hadapannya, terus memalingkan indera pandang ke segala arah. Ketika matanya bertemu dengan Gistra, ia tersenyum kikuk dan langsung membuang wajahnya.
“Kau.” Gistra mengarahkan ucapannya untuk lelaki kebingungan itu. Panggilannya membuat sosok tersebut membeku dari gerak sebelumnya, sedang empat keberadaan yang lain menoleh perlahan ke arah mana tatapan Gistra dimuarakan. “Rasa-rasanya kau memiliki banyak pertanyaan, bukan?”
Sosok itu mengangguk.
“Kalau begitu, perkenalkan dirimu lebih dulu, lalu berikan pertanyaanmu itu. Siapa tahu aku mengetahui jawaban atas kelesahan tersebut,” kata Gistra.
Tiga detik. Tujuh detik. Tiga belas detik. Sosok itu berulang kali membuka-tutup mulutnya, terlihat ragu untuk berbicara. Namun, tak ingin memberi tekanan dalam sesi perkenalan, Gistra berkata, “Kau tidak usah khawatir ingin diam seberapa lama pun itu. Di ruangan ini--tidak, di dunia ini, waktu tidak berjalan seperti yang kauketahui sebelumnya. Hanya saja, kita tidak bisa membiarkan yang lain untuk menunggu dirimu seorang.”
Tidak ada intonasi yang berusaha mendominasi, tapi Gistra mengucapkannya dengan lugas. Aura berwibawa miliknya seakan-akan menggerakan lidah lelaki itu untuk berani membuka kata. “Aku ... Adika. Seorang arsitek di Kota Kembang. Lalu ....” Ia terdiam sejenak, mungkin sedang ada perdebatan hebat di dalam kepalanya yang terlihat damai.
“Aku benar-benar gak ingat dengan apa yang terjadi sebelum ketemu sama empat orang ini. Setelah itu, tanpa sadar aku mengikuti gerak langkah mereka hingga duduk di meja bundar ini dan bertemu denganmu,” lanjutnya.
Gistra menyipitkan mata.
“Jadi sebenarnya, aku sekarang sedang ada di mana, sih?”
Pertanyaan pertama atas kegelisahan yang melingkupi lelaki bernama Adika itu sudah disuarakan. Empat kehadiran lainnya masih diam mendengarkan dialog keduanya. Tidak menutup kemungkinan bahwa mereka juga memiliki keingintahuan akan hal yang sama.
“Begini. Sebenarnya, jawaban dari pertanyaanmu itu bisa diketahui oleh dirimu sendiri.” Gistra mengajak mereka berkeliling dengan jawabannya. “Mungkin ada baiknya kamu yang lebih dulu bercerita, supaya mengerti ke arah mana nantinya atensi dari perkumpulan ini,” lanjutnya.
Adika menoleh repetitif ke arah empat sosok lainnya, seolah berharap mendapat dukungan. Akan tetapi, keempatnya hanya menatapnya diam. “Jadi, aku benar-benar harus bercerita?” Ia melontarkan pertanyaan kedua--yang seharusnya sudah terjawab sebelumnya. “Tapi kenapa?”
Sosok di sebelah kanan Gistra membuang napasnya kasar melalui mulut. Ia menatap Adika tajam. Katanya, “Bodoh. Kita ini su--” Perkataannya terhenti ketika Gistra memegang pergelangan tangannya dengan keras. Adika melihat bahwa ada hal yang hanya tidak diketahui olehnya seorang.
“Baiklah kalau begitu, aku akan bercerita. Tapi cerita seperti apa?”
Gistra melepaskan cengkeraman tangannya. Ia duduk sedikit maju dan melipat kedua tangannya di atas meja. Badannya sedikit dikemajukan ke depan dan berkata, “Apa saja. Apa pun itu yang teringat di kepalamu.”
Adika terlihat memutar otak, mengulang-ulang rekam kejadian yang ada di dalam kepalanya itu. Selama beberapa detik, ia terdiam dan sesekali mengangguk sendiri. “Ah, sepertinya aku mengingat beberapa kejadian sebelum bertemu dengan kalian semua,” katanya.
“Itu lebih bagus, Adika.” Gistra tersenyum lembut. “Baiklah, sekarang kita akan mendengarkan cerita milik Adika dan mengenal sesuatu yang baru.”
“Maaf sebelumnya aku tidak pandai bercerita, tapi aku akan menceritakan pada kalian sebuah kisah tentang seorang perantau di keasingan.”
ㅤ
ㅤ————————————————————
ㅤ
ㅤps.
Selamat sore.
Mungkin tidak sedikit dari kalian yang merasa tidak asing dengan konsep seperti ini. Karena, ya, saya mengikuti pengemasan cerita seperti salah satu komik yang ada di Webtoon. Perihal judul tidak akan diebutkan, tetapi saya ingin mengingatkan bahwasanya tidak ada sedikit pun niat saya untuk menjiplak karya tersebut.Saya sangat tertarik dengan konsep Webtoon itu. Ditambah lagi dengan tantangan yang diberikan oleh NPC (akun yang ditandai pada bab Prakata). Rasa-rasanya, kedua hal tersebut dapat dikolaborasikan menjadi sesuatu yang baru.
Jadi, silakan menikmati cerita yang akan dipublikasi setiap hari sepanjang Juli ini. Doakan saya selalu baik-baik agar tidak terhalang untuk melanjutkan.
Terima kasih banyak-banyak.
Mik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Redup #DWC2020 [Tamat]
General Fiction[General Fiction || 15+] Juli menjadi saksi, tentang senang yang remang. Juli menjadi saksi, atas utas batas pantas. Pada bulan ketujuh, himpunan detik siap menuntaskan sang gemuruh, menjadi menit penentraman atas segala rusuh, hingga waktu mengakhi...