“Kenapa hidup seperti ini?”
Kamu bertanya di tengah gelombang yang tenang. Gerak aliran air tidak mampu mengendalikan tubuhmu untuk mengikuti arahannya begitu saja. Kamu tetap bergeming menyaksikan ikan-ikan lain yang menggerakkan siripnya. Mereka terlihat bahagia menyelusuri ke mana aliran sungai berkomando.
“Hei, kenapa berhenti di sini?” tanya seekor ikan yang lain, ia ikut berhenti hanya unyuk bertanya padamu. “Kita akan bertemu samudera kalau mengikuti aliran ini.”
Kamu tersenyum menganggapi. “Nanti aku menyusul,” jawabmu.
Ikan itu mengangguk dan kembali meninggalkanmu sendirian. Masih di titik yang sama, siripmu rasanya sudah sedikit pegal karena memasang kuda-kuda bertahan sedari tadi. Kamu mulai bergerak perlahan untuk sekadar mengikis kaku yang dirasakan tubuh.
Tanpa sadar, tubuhmu terbawa mengalir mengikuti arus. Dilewatinya beberapa bebatuan yang menetap di dasar laut sana. Kamu juga tak jarang bertemu dengan sampah-sampah yang tersebar sembarang tempat. Miris. Tempat tinggalmu sudah dipenuhi kotoran yang ditinggalkan oleh makhluk ciptaan Tuhan yang paling baik: manusia. Ego mereka seringkali mengedepankan spesies sendiri dan mengabaikan kehidupan lainnya.
Seolah-olah, Bumi ini hanya dibuat untuk mereka.
Kamu kesal menyadari hal itu. Kebencian yang terkandung di dalam diri sudah meluap tak terlihat. Sedingin apa pun suhu air yang melingkupi sekitar, panasnya amarah tetap saja tidak berkurang.
“Kamu percaya kalau kita bisa ke laut hanya dengan menyusuri sungai ini?” Seekor ikan tiba-tiba berenang di sampingmu. “Karena rasanya aku tidak percaya,” lanjutnya.
Kamu menoleh, tentu, ingin mengetahui siapa yang berbicara. “Entahlah. Hidup harus terus berjalan--tidak, berlanjut, bukan?” katamu.
Ikan itu tidak menjawab perkataanmu. Ia tetap berenang dengan gerak yang seirama denganmu. Kalian berdampingan cukup jauh. Namun, tidak ada komunikasi yang tercipta di antara kalian.
“Hei.” Kamu memanggilnya duluan, ingin berkenalan. “Siapa namamu?”
Ikan itu melirikmu. “Sebut saja aku Kelabu,” katanya. “Kamu?”
“Gabu.” Jawabanmu cukup singkat. Juga cukup tepat untuk menyudahi pembicaraan yang baru saja dimulai. Lagi, kamu terjebak dalam ruang bisu yang sama dengan Kelabu. Tidak sedikit pun kata yang terdengar di ucapkan dalam ruangan itu. “Omong-omong, boleh aku bertanya?”
Pada akhirnya kamu menyerah. Paham kalau kalian akan berenang bersama dalam waktu yang cukup lama. “Apa?” Kelabu menjawabnya tanpa menatap.
“Kalau kamu pikir sungai ini tidak dapat mengantar kita ke laut, kenapa kamu terus mengikutinya?”
Kelabu diam beberapa detik. “Sama sepertimu. Hidup harus terus berlanjut. Sia-sia rasanya jika mengharapkan sesuatu, tapi hanya berdiam di satu titik dengan menolak untuk bergerak.”
Kamu menyimak perkataan Kelabu dengan saksama. “Itu berarti, kamu hanya mengikuti arus ini karena kamu pikir hidup itu harus berlanjut, bukan karena bisa membawamu ke laut yang luas?”
“Iya.” Kelabu mengangguk. “Aku, atau mungkin kita, sekarang sedang berjalan di arus yang sama. Namun, bukan berarti kalau kita benar-benar berada di arah yang sejalur.”
Kebingungan mendobrak dirimu dengan keras. “Maksudmu bagaimana, Kelabu?”
“Gabu, terkadang kita memang harus mengikuti ke mana arus mengarahkan gerak tubuh kita, tapi itu bukan berarti kita harus benar-benar mengikuti apa yang diinginkan oleh sang arus. Kita bergerak mengikuti hanya untuk bisa bertahan, itu yang paling penting.” Kelabu berenang dengan tatapan kosong kala tatapanmu terlempar ke arahnya. “Aku mungkin terlihat bergerak seperti ikan yang berenang di arus yang sama. Namun, kenyataannya, aku adalah ikan yang berada di arus yang berlawanan,” tutupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Redup #DWC2020 [Tamat]
Ficção Geral[General Fiction || 15+] Juli menjadi saksi, tentang senang yang remang. Juli menjadi saksi, atas utas batas pantas. Pada bulan ketujuh, himpunan detik siap menuntaskan sang gemuruh, menjadi menit penentraman atas segala rusuh, hingga waktu mengakhi...