Sejak dulu, Alisa selalu hidup dikelilingi oleh kebahagiaan. Rasa-rasanya ia merasa ada yang timpang karena terus saja merasakan tawa. Namun, papa dan mama selalu mengingatkan Alisa untuk selalu gembira, dalam kondisi seperti apa pun. Meski Alisa hanya mengetahui satu kondisi selama hidupnya ini; kebahagiaan.
Gadis itu tumbuh dengan kasih sayang keluarga dan media. Papa yang merupakan pengusaha ternama di Asia, menikahi mama yang merupakan aktris terkenal yang sudah menggeluti dunia peran hingga skala internasional.
“Pah, Mah, Alisa cinta kalian!” ujar Alisa yang baru saja melepaskan seragam putih-biru. Pasalnya, kalimat itu diucapkan olehnya karena mendapat hadiah yang super mewah sebab posisinya dalam menempati peringkat pertama. Walaupun bersekolah di sekolah internasional, kecerdasan Alisa memang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Waktu terus berjalan, hidup Alisa masih terus diikuti kebahagiaan. Terlebih lagi ia adalah anak tunggal yang mana pasti akan menjadi pewaris harta ketika ayahnya tiada.
Tepat ketika hari libur pascaujian, Alisa mengajak dua sahabatnya, Fia dan Sheri, bertamasya menuju pulau pribadi milik keluarganya di sekitaran Semenanjung Korea.
“Apa? Liburan ke pulau pribadi keluargamu?” kata Fia, tak lama setelah Alisa mengajak keduanya. “Apa itu boleh? Bukankah pulau pribadi keluarga itu hanya boleh digunakan untuk keluarga saja?”
Alisa tentu menggeleng. “Maksud dari pulau pribadi keluarga itu, berarti pulau itu cuma boleh didatengin sama keluarga dari pemilik pulau, dan orang-orang yang diperbolehkan masuk sama mereka,” jelasnya.
“Tapi ....” Sheri merasa ragu. “Letaknya ada di Semenanjung Korea, kami tidak memiliki surat-surat untuk keluar-masuk negara lain.”
“Tidak perlu khawatir!” sanggah Alisa, girang. “Aku memiliki solusinya. Kalian cukup kumpulkan hal-hal yang ditulis di kertas ini, dan besok kumpulkan padaku.”
Ia kemudian menyerahkan masing-masing selembar kertas pada Fia dan Sheri. Mereka membaca beberapa hal yang tercantum di sana dan menyanggupinya.
Keesokan harinya, Alisa sudah memegang berkas milik Fia dan Sheri yang dilapisi amplop dengan rapi. Sebelum kedua temannya pulang ke rumah masing-masing, Alisa berpesan, “Sekarang kalian mulai siapin barang yang mau dibawa, ya. Kira-kira kita bakal stay di sana selama satu minggu.” Ketika Fia dan Sheri meninggalkan rumahnya, Alisa langsung menghubungi ayahnya yang sedang melakukan perjalanan bisnis ke Jepang.
“Hallo, Alisa, ada apa?”
Percakapan singkat itu dilakukan Alisa untuk meminta bantuan papanya mengurus surat-surat, seperti visa dan semacamnya untuk Fia dan Sheri. Papa bilang, “Iya, nanti biar Tante Astri yang urus.”
Tiga hari kemudian, Tante Astri, sekertaris pribadi papa, datang menemui Alisa untuk menyerahkan berkas-berkas yang diminta. Tentu saja ia langsung mengabari dua teman dekatnya untuk menyiapkan diri.
“Kita berangkat besok, ya!”
Hari yang dinanti tiba. Fia dan Sheri datang membawa koper perlengkapan masing-masing. Mereka berangkat menuju pualu dengan menggunakan jet pribadi keluarga Alisa. Waktu yang berjalan ketika menempuh jarak yang cukup lama itu, digunakan untuk sekadar mengobrol ringan, melihat pemandangan, atau bahkan tidur untuk meregenerasi energi.
Saat tiba, Fia dan Sheri tidak henti-hentinya berkata takjub mengenai apa yang sedang dilihat oleh mata mereka. Pemandangannya begitu menakjubkan! Pasir pantai yang bersinggungan dengan permadani biru samudera itu seakan-akan menarik mereka untuk berlari mendekati. Tiga gadis remaja itu saling menyiram air pantai satu sama lain, mereka gembira bisa terlena oleh kebahagiaan. Terlebih lagi bagi Fia dan Sheri yang belum pernah mendapatkan pengalaman seperti ini sebelumnya.
Malam pun tiba. Alisa dan teman-temannya itu melakukan pesta barbekyu di halaman depan rumah besarnya. Mereka duduk santai menghadap pesisir pantai, membelakangi kolam renang yang siap dipakai digunakan.
“Biasanya aku ke sini bareng papa dan mama. Ini pertama kalinya aku ke sini sama temen-temen aku, tanpa papa dan mama. Aku bener-bener seneng!” teriak Alisa pada kalimat terakhir. “Makasih udah mau ikut liburan sama aku.”
Fia dan Sheri tersenyum kikuk.
“Harusnya kita yang berterima kasih, Alisa.” Sheri menjawab lebih dulu. “Aku sama Fia mungkin gak akan pernah ngerasain hal kayak gini kalau kamu gak ngajak kita ke sini,” katanya.
Fia mengangguk prihatin sambil tertawa. “Iya, aku cukup beruntung bisa berteman dengan kamu. Makasih, ya, udah mau jadi temen kita, di saat anak-anak yang lain ngejauhin kita karena dapat beasiswa.”
Mendengarnya, Alisa menggeleng tegas, menolak asumsi itu tanpa suara. Ia langsung memeluk kedua temannya itu.
“Aku juga berterima kasih, karena cuma kalian yang mau berteman denganku sebagai Alisa, bukan sebagai pewaris Zarinlake Group.”
Pelukan itu dilepaskan oleh Alisa. Tanpa sadar ternyata ia menitikkan air mata. “Kayaknya minumannya udah abis, jadi aku ambil dulu ke dalem sebentar, ya,” serunya, berusaha kabur enggan ditanya-tanya.
Dua botol besar minuman soda sudah ada di pelukan Alisa. Ia berjalan riang menuju halaman depan untuk kembali berkumpul dengan teman-temannya. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengarkan apa yang Fia dan Sheri bicarakan.
“Meskipun begini, dunia tetep enggak adil sama orang-orang kayak kita, ya?” kata Sheri. “Kita hanya dikasih kebahagiaan yang sifatnya sementara oleh seseorang yang bisa merasakan bahagia selamanya. Ironis sekali.”
“Sheri, Alisa bisa sedih kalau mendengar hal itu.”
“Hei, aku sedang mengomentari hidup kita berdua. Kamu dan Alisa memang teman terbaik yang pernah kumiliki seumur hidupku, tapi itu tetap tidak bisa melupakan fakta yang mana kita dan Alisa berada di lapisan yang berbeda. Lapisan kita selalu menderita ketika mereka jenuh merasa bahagia.
“Memang benar bahagia diciptakan bersama dengan derita, seperti kita yang ditakdirkan menderita dan mereka yang berbahagia. Siklusnya seperti itu, supaya tercipta konsep adil yang diinginkan oleh Tuhan. Jika ada yang berbahagia, maka pasti ada yang menderita. Tidak bisa semuanya bahagia atau semuanya menderita. Beberapa orang harus menanggung beban dengan hidup seperti itu.”
Fia diam mendengarkan. Begitu juga dengan Alisa yang kemudian merasakan denyut nyeri mendiami hatinya.
“Kebahagiaan yang kita alami gak bisa menghapus kesedihan kita yang seharusnya. Itu hanya semata-mata sebagai bentuk pengingat kalau kita memiliki kesempatan untuk merasakan hal yang gak bisa kita miliki. Sekarang mungkin kita bahagia, tapi itu cuma jeda yang memulihkan lelah kita. Nanti mungkin mereka menderita, tapi itu juga cuma jeda yang mengistirahatkan lelah mereka.”
Sadar Fia dan Sheri tidak lagi bercengkerama, Alisa kembali menyambung langkahnya untuk menemui dua sejoli yang duduk santai dimanjakan embusan angin lembut.
“Minuman datang!” seru Alisa, sebisa mungkin berlagak tidak mendengar apa saja yang mereka katakan. Ia tidak ingin merusak kebahagiaan yang mereka anggap hanya sementara itu. Namun, tetap. Bagaimana pun juga, Alisa tidak bisa menyalahkan Fia dan Sheri akan pemikiran mereka yang seperti itu. Hidup menempa mereka untuk berpikiran demikian.
Ternyata benar, ada baiknya kalau kita tidak mengetahui isi hati dan pikiran orang lain. Terkadang kita hanya perlu menjalani hidup dengan mengabaikan hal-hal yang dimikili individu lain. Meskipun tadi Alisa mendengarnya tidak sengaja. Kini ia mengetahui beban pikiran yang selama ini disembunyikan Sheri dan Fia.
“Maaf,” ucap Alisa, kembali menitikkan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Redup #DWC2020 [Tamat]
Художественная проза[General Fiction || 15+] Juli menjadi saksi, tentang senang yang remang. Juli menjadi saksi, atas utas batas pantas. Pada bulan ketujuh, himpunan detik siap menuntaskan sang gemuruh, menjadi menit penentraman atas segala rusuh, hingga waktu mengakhi...