[General Fiction || 15+]
Juli menjadi saksi,
tentang senang yang remang.
Juli menjadi saksi,
atas utas batas pantas.
Pada bulan ketujuh,
himpunan detik siap menuntaskan sang gemuruh,
menjadi menit penentraman atas segala rusuh,
hingga waktu mengakhi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Perkataan yang dikatakan oleh Ayu terus-menerus berkeliling di kepalaku. Aku tidak begitu peduli kenapa ia tidak menyukaiku, tapi aku sangat terganggu dengan ucapannya yang menyebutku sebagai pembohong. Dasar seperti apa yang melandasi ucapannya itu, aku pun tidak paham.
“Aldo, melamun saja kamu.” Dokter Rafli melewatiku yang tengah bimbang di balik meja. “Sedang memikirkan apa?” serunya.
Aku tersenyum. “Entahlah, Rafli. Hanya saja, ada sesuatu yang mengganggu pemikiranku.”
“Apa itu?”
“Kemarin Ayu berbicara padaku untuk pertama kalinya. Namun, ia langsung mengatakan bahwa aku adalah pembohong dan ia tidak menyukaiku.”
“Lalu?” Rafli kian penasaran. “Mana yang membuat pikiranmu terganggu? Disebut pembohong ataukah karena tidak disukai olehnya?”
Senyum Rafli sedikit nakal. Aku tahu, Tuhan menciptakan Ayu dengan begitu sempurna. Ia cantik, seperti nama yang disandang. Para lelaki pasti menaruh ketertarikan padanya ketika melihat bagaimana anggunnya perempuan berdarah campuran itu. Termasuk aku, pada awal melihat kedatangannya kira-kira satu minggu yang lalu.
Aku sedikit paham bahwa naskah takdir yang digoreskan oleh Tuhan, menarikku mau tidak mau untuk bertemu dengan Ayu. Dunia ini hanyalah fiksi yang diciptakan oleh Sang Kuasa. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengikuti bagaimana Tuhan mengatur jalannya cerita. Namun, kenapa pertemuan kami ini diawali oleh kebingungan yang menggelisahkan?
“Aku lebih penasaran kenapa ia menyebutku sebagai pembohong.” Pada akhirnya aku menjawab demikian. Rafli manggut-manggut. Ia sepertinya sudah memiliki tanggapan untuk itu, tapi asumsi tersebut dirahasiakan olehnya. “Menurutmu, kenapa aku disebut pembohong?”
Rafli menggedikkan bahu.
“Ah, aku benar-benar tidak paham. Kukira aku terlihat seperti pembohong bagi orang lain, makanya aku bertanya padamu. Tapi ternyata bukan karena itu.”
Percakapan kami senja itu masih berakhir dengan tanda tanya. Tidak ada jawaban yang bisa disimpulkan ketika mendiskusikan pemikiran orang lain. Terlalu banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Justru hal ini semakin beban di kepalaku kian memberat. Seakan-akan menambahkan beberapa kilogram kegelisahan atas pemikiran yang melewati batas.
Bahkan aku tidak bisa tidur dengan tenang. Sunyinya malam semakin meramaikan argumen-argumen yang seharusnya tidak ada. Inilah yang membuatku benci menjadi seorang pemikir. Terbebani oleh mereka yang mulai melenyapkan kedamaian dalam diri.
Aku berbaring ke arah kanan, menghadap jendela yang memenjara bulan di dalam kotaknya. Untuk waktu yang cukup lama, aku enggan melepaskan tatapanku dari planet putih kecil yang bertugas mendampingi Bumi itu.