Kisah Sebuah Luka yang Berteriak Senyap - Bagian 01

147 35 0
                                    

"Aku penasaran dengan ceritamu, Om."

Alisa menatap Pandu yang sedang mempermainkan kumis tipisnya. Dari suaranya, gadis itu seakan-akan meledek Pandu yang masih saja menunda ceritanya.

"Melisa, kamu lebih dulu," respons Pandu. "Aku terakhiran saja."

Jawaban itu membuat Alisa terkekeh. Sementara itu, Melisa melepas kacamatanya, mengusap kedua mata, dan kembali memasangkannya. "Sekarang giliranku?"

"Jangan."

Semua langsung menoleh kepada Gistra. Seluruhnya bertanya-tanya dalam kepala mengenai kenapa Melisa harus menunda ceritanya. Namun, mereka tidak berani bersuara. Jadi hanya bisa bergelut dalam pikir tanpa pernah tau jawaban aslinya.

"Lebih baik Pandu yang bercerita," katanya.

Pandu berdecak. "Ah, kenapa, sih?!"

"Kenapanya apanya, Pandu?" Pak Andi menyahuti. "Lagi juga, memangnya kenapa kalau kamu menceritakannya lebih dulu dibanding Melisa? Tidak ada untung-ruginya ini."

"Betul."

"Berisik kamu, Adika!" sewot Pandu. "Sial sekali kalian bekerja sama untuk menyudutkanku."

Tidak ada yang menanggapi. Kelimanya hanya diam memperhatikan Pandu yang memasang mimik malas. Ia kemudian melirik Gistra dan menyipitkan matanya. Ada kekesalan yang terlihat dari bagaimana pandangannya dilemparkan.

"Sebelumnya sudah kubilang, kalau setiap orang pasti akan pergi meninggalkan kita, sesayang apa pun mereka." Pandu memulai ceritanya. "Setiap manusia itu pada dasarnya egois, mementingkan keperluannya sendiri, dan enggan membantu kesusahan orang lain kalau-kalau dirasa tidak memberikan benefit apa-apa."

Alisa merasa tertarik dengan bagaimana Pandu membuka kisah. Ia memajukan badannya dan memasang ekspersi gembira. "Terus-terus?"

"Diamlah, Bocah."

"Cih."

"Lanjutkan, Pan," sahut Melisa.

Pandu menuruti. "Aku ...."

---------------

"Ayah kamu tuh! Udah tua bangka kayak begitu, masih aja suka mainin cewe!"

Ibu berteriak, tapi sudah tidak membuat telingaku sakit lagi. Mungkin inilah kenapa disebut bisa karena terbiasa. Aku jadi tahan dengan omelan-omelan ibu mengenai kebejatan yang ayah lakukan.

"Pandu! Kamu tuh udah dua puluh lima tahun, kapan mau nikah, sih?" kata ibu, di sela-sela kegiatannya memotong bawang. "Ibu malu kali setiap ditanya tetangga atau keluarga yang lain. Kamu tuh kalau gak bisa kerja, ya setidaknya kasihlah Ibu cucu."

Aku hanya menjawabnya malas sembari menyaksikan tayangan di tv. "Iya, Bu, iya."

Narasi ibu tidak hanya sampai di situ. Ia masih saja mengungkit-ungkit urusan orang lain yang kemudian disangkut-pautkan kepadaku. Si A yang sudah jadi bos. Si B yang sudah punya anak. Si C yang bisnisnya sukses. Begitu seterusnya hingga ibu bertemu dengan huruf Z. Namun, yah, aku tidak bisa membantahnya sedikit pun. Satu kata yang kuucapkan bisa membuat ibu menimpalinya lima kali lipat lebih banyak.

Memuakkan, bukan?

Hidup menjadi anak yang selalu ditekan oleh keinginan orang tua yang sebelumnya gagal mereka perolah. Mereka ingin aku sukses. Mereka ingin aku menikah dan punya anak. Mereka ingin ini-itu. Banyak sekali tuntutan yang diberikan hanya untuk membalas jasa mereka yang telah mengirimkanku ke dunia ini.

Sial.

Aku juga mau seperti itu, tapi itu sangat-sangat-sangat sulit! Memang siapa, sih, orang di dunia ini yang tidak ingin menjadi sukses? Kalau untuk menikah dan memiliki anak, mungkin bisa dikesampingkan karena itu keputusan masing-masing pribadi. Tapi menjadi sukses? Ayolah, tidak perlu munafik pada diri sendiri.

"Pan, kamu masih main sama si Arfi?"

"Iya, Bu ...," jawabku malas.

"Tuh, pasti karena itu!" Ibu memotong bawangnya keras. "Kamu jangan main sama si Arfi terus. Jadi kebawa malas gini kamu," katanya.

Sudahlah. Aku sudah lelah kalau ibu mulai membawa-bawa sahabatku. Kumatikan tv dan segera berpamitan dengan ibu. "Mau main," tuturku lebih dulu.

Tentu ibu tidak diam. Mulutnya berkata panjang kali lebar mengenai sangsinya terhadap Arfi. Namun, itu tidak kuhiraukan. Bisa-bisa niatanku menenangkan pikiran jadi terhenti kalau menanggapinya. Jadi segera kunaikin kendaraan beroda dua yang ada di depan rumah, dan langsung melajukannya menuju entah ke mana.

Arfi. Dia temanku sejak kecil. Kami selalu bermain bersama dan janji untuk tetap menjadi teman, apa pun yang terjadi. Arfi juga mengetahui cerita tentang keretakkan keluargaku yang disebabkan oleh perselingkuhan ayah.

"Awas!" Seseorang berteriak.

Aku spontan melihat seorang anak yang memeluk bolanya di jalur yang akan kulintasi. Segera kubantingkan kemudi ke arah kiri untuk menghindari tabrakan yang tak diinginkan. Aku pun terjatuh setelah motor menabrak tiang listrik. Beberapa orang mendatangiku. Sebagian untuk menanyakan kondisi, sebagian lain untuk menyalahkanku karena tidak konsentrasi.

"Pandu!"

Suara itu familiar. Aku mencari sosok yang tidak asing di antara kerumunan banyak orang. Wajah Arfi tertangkap mataku saat itu. Ia langsung berkata, "Ini teman saya, Bapak dan Ibu sekalian bisa bubar. Terima kasih, ya, terima kasih."

Gerombolan itu spontan menghilang. Kini hanya tersisa aku dan Arfi yang berusaha membenarkan posisi sepeda motor yang sebelumnya terjungkal. Ia membopongku dan menaikkanku ke kursi penumpang. Lelaki itu kemudian pergi sebentar menuju salah satu kedai kofi dan kembali menemuiku.

"Biar gue yang bawa," katanya. Aku mengangguk. "Lo mau ke mana?"

Lidahku kelu tak menjawab.

"Woi, mau ke mana ini?"

"Terserah, asal jangan rumah."

Arfi menatapku sebentar. "Ah, oke." Ia sepertinya paham bahwa ini adalah saat di mana aku menjadikan keluarga sebagai alasan bertualang. Jadi ia mengendarakan sepeda motor hanya untuk mengelilingi Kota Tangerang.

"Omong-omong, kok lo ada di sana?" tanyaku, ketika kami berbelok menuju Taman Cibodas. "Kebetulan banget."

"Tadi gue lagi ke salah satu kedai kopi punya temen kampus dulu. Terus kaget ada suara tabrakan. Gue kira siapa, taunya elo." Ia menjawab santai. "Daripada muter-muter gini, mending kita temuin temen gue tadi, gimana? Lo juga gak mau balik ke rumah, 'kan?"

Benar kata Arfi, lebih baik pergi dengannya daripada pulang ke rumah dan bertemu ibu. Terlebih lagi tadi ada insiden kecil yang membuat sikutku luka. Bisa-bisa pertanyaannya itu kemudian berubah menjadi larangan pergi bermain.

"Oke."

Arfi memutar kemudi, kembali menuju Permata. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di kedai yang dimaksudkan Arfi sebelumnya. Saat itu, kami bertemu dengan seorang perempuan berpakaian santai. Atasan sweter dengan bawahan jins dan sepatu sneakers-nya itu benar-benar mengunci tatapanku.

"Ah, kenalin, ini Asri."

Aku mengulum senyum, malu. Perempuan itu sangatlah ... cantik? Entahlah, yang kuingat saat itu aku benar-benar terhipnotis. Sialnya hanya untuk sementara. Benar-benar sementara.

Kukira aku memiliki kesempatan untuk memilikinya. Namun, semuanya kandas saat Arfi berkata, "Dia tunanganku."

Redup #DWC2020 [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang