“Apakah ini benar-benar pertemuan terakhir kita?”
Pandu mengatakannya sedih. Sepanjang jalan menuju pintu keluar, keempat sosok lainnya juga hanya diam tidak bersuara. Mereka hening di tengah tujuan bertemu perpisahan.
Gistra yang berjalan di depan, menyetujuinya dengan berkata, “Iya, ini adalah pertemuan terakhir kita. Memang kenapa, Pandu?”
Pandu tidak lagi menjawab. Lelaki berkumis tupis bergabung bersama empat sosok lainnya dalam kebisuan. Gistra tahu, perpisahan seperti ini akan sulit bagi mereka. Ia pun merasakan kesedihan serupa di saat-saat awal memegang nama Gistra. Namun, ia juga sadar kalau bersedih atas segala perpisahan hanyalah sia-sia. Terkadang, ada beberapa kata pisah yang seharusnya dijadikan perayaan. Seperti saat ini, ketika berhasil menyelesaikan permasalahan para arwah yang masih tertinggal di dunia. Yang juga berarti mereka dapat pergi dengan tenang. Juga ... meringankan hukuman yang harus Ayu tanggung sejak lama.
Hujan di luar gedung sudah mereda sejak cerita Melisa berakhir. Aroma petrikor mulai tercium tatkala tubuh mereka semakin mendekati pintu. Harum yang menenangkan bagi mereka yang sedang bersiap untuk pergi dengan tenang. Gistra tersenyum, langkahnya semakin lambat. Lima langkah lagi, maka dirinya akan berpapasan dengan badan pintu yang tertutup rapat.
Pandu berjalan tepat di belakang Gistra, disusul Melisa, Adika, Pak Andi, dan Alisa di posisi terakhir. Mereka bergerak rapi seperti garis lurus. Melangkah tenang dengan penuh kepastian. Mereka paham bahwa gerak kaki mereka saat ini akan membawa sang jiwa menuju ketenangan.
Namun, apakah itu yang mereka inginkan?
“Jangan buat diri kalian terjebak di dunia ini semakin lama,” seru Gistra. “Aku melakukan ini semua karena rasa bersalahku terhadap Ayu. Andai saja Ayu tidak menderita seperti itu, mungkin aku tidak akan melakukan hal-hal seperti ini. Pikirku kami bisa kembali bersama di sana nanti, tapi ternyata kenyataan berkata lain.”
Sampai. Lima langkah sudah dijejaki. Tubuh Gistra kini membeku di hadapan pintu. Tiga detik kemudian, ia menarik pintu untuk membukanya. Embusan angin langsung menerpa wajah mereka satu per satu. Rasanya sejuk. Entah kenapa itu bisa dirasakan, mengingat raga mereka sudah tidak lagi berada di tempatnya.
Gistra berdiri menyamping. Ia mempersilakan para tamu untuk segera pergi ke arah cahaya di kejauhan sana. Pandu, yang berdiri tepat di belakangnya, tidak juga mengangkat kaki untuk pergi. Melisa menghampiri Pandu dan menepuk pundaknya. “Biar aku pergi lebih dulu.”
Tubuh Pandu sedikit bergetar, Melisa dapat merasakan itu. Perempuan berkacamata itu langsung berjalan tanpa ragu melintasi tubuh Pandu yang membeku. Ia berhenti sejenak ketika bersejajar dengan Gistra yang tersenyum hangat.
“Mel ... berbahagialah, ya.”
“Tentu.” Melisa tertawa, kemudian menyeka air mata yang tak ada. “Setidaknya aku tidak lagi harus merasa bingung untuk membedakan kenyataan dan kepalsuan,” tuturnya.
Melisa dan Gistra berjabat tangan. Tiga detik kemudian, perempuan itu kembali melanjutkan langkahnya melewati badan pintu. Di luar, ia terlihat menghirup udara sejuk yang menguar bebas. Melisa menoleh ke belakang, ke arah teman-temannya, dan mengisyaratkan ajakan ayo pergi ke pada mereka.
“Pandu, ayo kita keluar.” Kini giliran Pak Andi yang berbicara. Namun, tetap, Pandu masih bergeming di tempatnya berdiri. Mau tak mau Pak Andi harus bergerak sendiri untuk pergi. “Gistra, apa saya bisa meminta bantuanmu?”
Lelaki itu memiringkan kepalanya. “Tentu, mengapa tidak?”
Gistra memang sering mendapat permohonan bantuan dari para arwah. Seperti contohnya Hirya yang menginginkan Gistra menceritakan fakta tentang kematiannya dan Adika. Lagi pula, tidak ada yang salah dengan membantu mereka yang ingin pergi. Pun mereka yang meminta bantuan, biasanya memang memiliki sesuatu yang harus diketahui oleh orang lain.
“Kalau nanti Yossi datang ke tempat ini, tolong katakan kalau saya sangat menyayanginya.” Pak Andi mengusap-usap lengan kanan Gistra. “Terima kasih, ya, Gistra.”
Gistra mengangguk. “Tentu, Pak.”
Pak Andi kemudian bergerak menyusul Melisa yang sudah berputar-putar tiada sabar. Kini tersisa tiga jiwa lagi yang masih tertahan di dalam gedung ini. Giliran Adika yang membujuk Pandu. Arsitektur itu Namun, siapa sangka, Alisa melangkah maju tanpa ragu melewati kedua lelaki itu. Seorang gadis termuda dari kelompok tersebut, seolah-olah sudah siap untuk bertemu Tuhan.
Ia bahkan melengos ketika berhadapan dengan Gistra. “Tunggu.” Lengan Alisa dipegang olehnya. Gadis itu terhenti tepat sebelum menapakkan kaki di luar.
“Apa, bukankah kita sudah dipersilakan untuk pergi dengan tenang?”
Gistra melemaskan genggamannya. “Alisa, aku tahu kamu memiliki banyak sekali pertanyaan. Tapi tidak semua rasa ingin tahumu harus dipenuhi.”
Gadis itu terdiam. Ia lalu melepas genggaman Gistra dan langsung pergi begitu saja. Menyadari selanjutnya sudah giliran mereka, Adika merangkul Pandu untuk bergerak ke arah luar. “Terima kasih,” kata Adika, lantas keduanya berjabat tangan.
“Pandu?”
Lelaki berkumis tipis itu langsung memeluk Gistra dan seperti menangis. Tubuhnya naik-turun sesenggukkan. Gistra mengusap punggung Pandu untuk menenangkan. “Kenapa malah menangis?”
“Dia memang bodoh.” Alisa menyahutinya dari luar. Sedetik kemudian, semuanya baru sadar kalau suara gadis itu juga bergetar tak stabil. “Apa?!”
Semua terkekeh, termasuk Pandu yang kini melepas pelukan. “Aldo, pasti berat menjalani ini semua sendirian, ya?” Kalimat yang Pandu ucapkan tidak dapat diprediksi oleh siapa pun di sana, termasuk Gistra sendiri.
Pandu mengucapkan terima kasih dan berjalan dengan Adika meninggalkan gedung. Kini lima jiwa tersebut dapat berjalan dengan tenang. Gistra berdiri di ambang pintu melihat kepergian mereka. Sesekali mereka menoleh, melambai tangan dengan senyum bahagia. Fasenya berjalan seperti itu hingga sebuah kabut tebal melahap eksistensi kelimanya.
Gistra menutup pintu dan kembali ke tempat yang sama. Ia mengeluarkan sebuah kertas dan pena yang ada di kantonya dan mencatat sesuatu. Permintaan yang diucapkan oleh Pak Andi tadi. Ia menghela napas, lantas menyandarkan tubuh pada badan kursi.
“Setidaknya mereka sudah tenang ....”
KAMU SEDANG MEMBACA
Redup #DWC2020 [Tamat]
General Fiction[General Fiction || 15+] Juli menjadi saksi, tentang senang yang remang. Juli menjadi saksi, atas utas batas pantas. Pada bulan ketujuh, himpunan detik siap menuntaskan sang gemuruh, menjadi menit penentraman atas segala rusuh, hingga waktu mengakhi...