[General Fiction || 15+]
Juli menjadi saksi,
tentang senang yang remang.
Juli menjadi saksi,
atas utas batas pantas.
Pada bulan ketujuh,
himpunan detik siap menuntaskan sang gemuruh,
menjadi menit penentraman atas segala rusuh,
hingga waktu mengakhi...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
“Di dalam cermin.”
Kalimat itu mencelus keluar tatkala Adika menyudahi sesi ceritanya. Seluruh sosok yang duduk melingkar bersamanya, spontan menoleh ke arah Gistra dengan tampak kebingungan.
“Apa maksudmu?” Seorang wanita berkacamata mulai mengeluarkan suaranya. “Aku paham maksud dari cerita yang Adika sampaikan, tapi tidak dengan tanggapan yang kau berikan.”
Gistra berdecak. “Sebentar-sebentar. Bukankah ada baiknya memperkenalkan diri lebih dulu, supaya kita mampu berbicara dengan santai?” katanya.
Wanita berkacamata itu melirikkan matanya ke kanan dan kiri secara berulang. Ia menggaruk tengkuk dengan wajahnya yang meredup merah perlahan-lahan. “Namaku Melisa. Aku seorang pegawai kantoran biasa di Kota Hujan.” Setelahnya, hening datang mendistraksi pembicaraan. Kurang lebih sampai dua puluh satu detik, sampai akhirnya Melisa mengulangi pertanyaannya. “Jadi apa maksud dari 'di dalam cermin' yang kau katakan tadi?”
Adika termenung. Alih-alih mendahulukan kegelisahannya yang selama ini membelenggu dirinya perihal Hirya, kini ia memilih untuk menenggelamkan diri untuk berdiskusi bersama diri sendiri tentang kemungkinan terbesar yang berindikasi sebagai jawaban atas pertanyaannya sendiri.
“Adika, apa kau juga memerlukan penjelasan?”
Arsitektur itu tidak menjawab.
“Hei, Adika,” ulang Gistra. Melisa yang duduk di sebelah Adika, menggoyangkan tubuhnya dengan lembut. Dan itu berhasil menarik Adika untuk keluar dari pelukan sang bingung. “Apa kau mendengar perkataanku?”
Mata Adika sedikit membulat lebar. Dimiringkannya sang kepala untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak mendengar. “Apa?”
“Perlukah kau penjelasan dari tanggapan yang kuberikan tadi?” Dengan sabar Gistra meladeni Adika yang dikuasai ketidakpahaman. “Jawabannya dapat mencakup rasa ingin tahumu mengenai alasan tentang eksistensimu di ruangan ini.”
“Rasanya aku sudah memegang jawaban,” katanya, “tapi masih bersifat abu. Jadi, tolong bantu aku menegaskan warna dari kepastian yang sedang kucari.”
“Kamu ingat terakhir kali kalau kau tiba-tiba terbangun dan melihat kawanmu, Hirya, terikat dan teriak meronta. Jujur ini sangat menarik. Namun, untuk memahami dengan apa yang kumaksud dari 'di dalam cermin', kau harus membayangkan bahwa kau sedang bercermin. Bisakah?”
Adika menutup matanya, kemudian mengangguk.
“Apa yang kau lihat di dalam cermin itu?”
“Diriku.”
“Ya, benar. Setiap kali kita bercermin, kita pasti akan melihat pantulan kita sendiri.”