Gadis bertudung menatap langit-langit rumah sang nenek yang sudah rapuh. Tidak ada serigala yang datang seperti diceritakan kebanyakan orang. Bosan. Ketika melirik, dilihatnya seorang wanita paruh baya yang berbaring di atas kasurnya tak berdaya. Hati gadis itu terenyuh. Neneknya sudah menderita sangat lama. Mengapa Tuhan begitu percaya bahwa setiap orang bisa melewati penyakit yang pada akhirnya hanya berujung pada kematian?
Perjuangan itu menjadi sia-sia.
Seperti halnya nenek dari gadis itu. Wanita paruh baya yang sudah mengidap penyakit jantung selama kurang lebih dua tahun tersebut, tidak juga menunjukkan ciri-ciri yang mengindikasikan kebaikan. Malah semakin jatuh memburuk. Napasnya kini semakin pendek dengan tak jarang terbatuk darah.
Cucu dari sang nenek yang melamun memperhatikan hutan dari balik jendela, tidak mengerti bagaimana untuk membantu satu-satunya keluarga yang tersisa.
“Nak ....” Sang nenek memanggil, membuat si gadis menoleh sigap. “Kemarilah ....”
Gadis itu spontan menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Ia berkata, “Iya, Nek, sebentar.” Lalu turun dari bangku tinggi dekat jendela, berjalan sedikit cepat ke arah ranjang sang nenek, mengambil bangku, dan duduk di sekitarnya.
“Maafkan, Nenek ...,” rintihnya, hampir tak bersuara. “Di usia yang belia ini, seharusnya kau bermain bersama teman-teman sebayamu, bukan menjaga orang tua penyakitan yang sebentar lagi bertemu dengan ajalnya.”
Si gadis menggeleng. “Enggak, Nek. Aku lebih suka di sini buat ngejaga Nenek, dibanding buang-buang waktu buat bermain. Toh, Ratu Ella juga semasa kecilnya tidak pernah bermain. Ia hanya disuruh-suruh oleh ibu dan kakak tirinya yang kejam itu,” balasnya.
Tak lama setelah mendengar tanggapan si gadis, nenek tertawa kecil. Dengan mata yang sulit dibuka sempurna, ditatapnya wajah mungil yang bulat menggemaskan di dekatnya. Ia tersenyum, seakan melihat rekaman masa lalu yang berwujud sebagai manusia. Seperti dirinya dahulu.
Sang nenek tiba-tiba terbatuk keras. Si gadis bertudung merah panik kebingungan. Ia tidak mengerti harus berbuat apa untuk membantu. “Nek! Nek! Nenek kenapa?” katanya, berusaha tegar, tidak ingin terlihat lemah dengan menangis di hadapan sang nenek.
Tidak ada tanggapan untuk beberapa saat. Namun, tujuh detik kemudian, gatal yang merayapi tenggorokan sang nenek sudah berhenti. Tak tega melihat cucunya yang khawatir, nenek berusaha menggerakkan tangannya untuk mengusap rambut lembut si gadis. “Nenek tidak apa-apa, Nak ...,” ucapnya, mengatakan kepalsuan yang bahkan faktanya terpampang di depan mata. Gadis itu paham neneknya berbohong.
“Kamu tidak perlu khawatir, Nak.”
Mau tidak mau, gadis itu harus mengiyakan pernyataan sang nenek. Setidaknya untuk menenangkan kegelisahan yang berpotensi melahirkan tekanan lain. Lalu kemudian, seiring detik merangkak pasti, nenek kembali jatuh dalam tidurnya. Si gadis menatap sendu wajah nenek yang napas pun terlihat sulit.
Ia kembali berpikir mengenai eksistensi Tuhan dan semacamnya. Bukankah lebih baik mengakhiri lebih cepat, daripada harus merasakan derita yang sangat lama lebih dahulu? Lagi pula, akhirnya sama-sama mati. Memperlambatnya hanyalah egois, bukan? Tujuan apa yang ingin Tuhan maksudkan kepada dirinya dan sang nenek?
Entahlah.
Ia baru hidup selama sepuluh tahun. Itu juga selalu dalam keadaan segala kurang. Mungkin pemikiran kanak-kanaknya itu akan dapat terselesaikan ketika menjadi dewasa nanti. Pun jika diberi kesempatan oleh Tuhan.
“Sebentar.” Gadis itu bergumam. “Rasa-rasanya aku mengingat sesuatu.”
Ia kemudian beringsut pergi menuju meja di dekat pintu rumah. Dicarinya beberapa lembaran kertas yang mengandung informasi di dalamnya. Satu. Tiga. Lima. Total ada lima lembar yang berhasil ditemukannya. Dibacanya baik-baiknya susunan kata yang terangkai di sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Redup #DWC2020 [Tamat]
Ficción General[General Fiction || 15+] Juli menjadi saksi, tentang senang yang remang. Juli menjadi saksi, atas utas batas pantas. Pada bulan ketujuh, himpunan detik siap menuntaskan sang gemuruh, menjadi menit penentraman atas segala rusuh, hingga waktu mengakhi...