Kisah Si Beruntung dan Sang Keadilan - Bagian 02

112 35 0
                                    

“Tadi itu apa?” Melisa bertanya seraya membetulkan posisi kacamatanya yang mulai turun. “Kenapa akhirnya sangatlah menggantung begitu, bikin kesal saja!”

Alisa terkekeh mendengarnya.

“Kamu tiba-tiba bercerita mengenai Rou dan Ratu Ella—itu mengingatkanku pada dua dongeng terkenal, Gadis Bertudung Merah dan Cinderella,” tambah Melisa. “Dari mana kamu mendengar cerita itu, Alisa?”

Gadis remaja itu tidak menjawab.

“Hei, Alisa, lebih baik segera kamu jawab pertanyaan Ibu Melisa itu. Bisa-bisa dia membunuhmu untuk kali kedua.” Pandu meledek, dibalas dengan cubitan pedas yang dilayangkan Melisa ke lengan kanannya. Pandu mengeluh aduh. Ia kemudian mengusap rasa perih yang timbul di sana berulang kali. “Lihat?” ledeknya.

Melisa menggeram. Sebisa mungkin ia menahan amarah yang sebenernya siap untuk diledakkan. Pandu memang orang yang seperti itu, mau tidak mau ia harus memakluminya. Walaupun tadi, sempat ada saat di mana Pandu tidaklah terlihat sebagai Pandu.

“Pandu, tahanlah candaanmu itu, sebentar saja, bisa?” pinta Gistra. “Sekarang Alisa, tolong jelaskan apa maksudmu dengan tiba-tiba bercerita tadi?”

Alisa tersenyum. Ia tidak menyangka kalau apa yang baru saja keluar dari mulutnya tadi, bisa berhasil untuk menarik perhatian orang-orang di sekitar dan menyukainya. “Cerita itu tentu saja tidak pernah kamu dengar di mana pun. Karena ... itu adalah tulisanku,” katanya.

Pak Andi spontan menoleh ke arah kanan—posisi di mana Alisa duduk. “Kamu juga menulis, Nak?”

Gadis itu tersenyum dan mengangguk malu.

“Luar biasa ... bakatmu itu benar-benar hebat sekali.”

Pipi Alisa semakin merona. “Aku bukan apa-aa kalau dibanding Bapak,” jawabnya.

Kemudian keadaan di dalam ruangan hanya berisikan obrolan kecil mengenai kisah hidup Alisa yang manis menyenangkan. Mulai dari disayangi kedua orang tua, hidup berkecukupan, dan segala keuntungan yang lainnya, termasuk wajahnya yang rupawan.

“Lalu kenapa kamu tidak langsung pergi sana ke kedamaian sana?” tanya Gistra, merasa ada yang janggal. “Semuanya terasa menyenangkan, alasan apa yang membuatmu berhenti di dunia perbatasan ini?”

Alisa yang gembira, mulai meredupkan senyumnya. Wajahnya datar selama tujuh detik. Kemudian, ia menatap satu per satu wajah yang terjangkau oleh pandangannya. Alisa kembali tersenyum, tapi kini menguarkan aura yang berbeda, yakni kesedihan.

“Alisa, kamu kenapa?” Adika bertanya, mengkhawatirkan perubahan yang terjadi. “Kamu tahu, kita siap mendengarkan ceritamu di sini.”

Namun, itu belum berhasil membuat Alisa membuka kisahnya. Gadis itu masih terdiam dengan tetap mempertahankan senyum manis di wajahnya.

“Ceritakan saja,” kata Gistra. “Masing-masing dari kita memiliki ceritanya sendiri. Namun, dengan berkumpulnya kita di sini, itu berarti kita sudah siap untuk membagikannya.”

“Ini bukan cerita,” jawab Alisa.

Pandu langsung menyahut, “Terus apa?”

“Ini adalah kenyataan yang kualami secara langsung ... sebelum akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupku sendiri.”

Pernyataan Alisa membuat semua yang ada di dalam ruangan tersentak kaget. Tatapan mereka mengindikasikan begitu banyak maksud yang terbilang abu. Entah kesedihan. Entah kemarahan. Atau yang lainnya. Semuanya remang tidak pasti.

“Kamu ....” Gistra diam sejenak. “Kamu bunuh diri?” lanjutnya.

Alisa mengangguk berat.

“Tapi kenapa, Alisa?” Kini Pandu yang bersorak kesal. “Kamu seharusnya masih punya harapan untuk hidup, tapi malah mebuangnta begitu saja!”

Mendengarnya, kesedihan yang Alisa rasakan langsung berubah menjadi emosi yang berapi-api. Gadis itu menatap lelaki berkumis di hadapannya seakan dipenuhi dendam. Tak lama, Alisa memukul meja dengan kedua telapak tangannya dan berkata, “TAPI AKU TIDAK PERNAH BERHARAP UNTUK HIDUP!”

Pandu terkejut.

Begitu juga dengan Gistra, Adika, Melisa, dan Pak Andi. Semuanya saling melempar tatap repetitif sebagai bentuk ketidakpercayaan dengan apa yang dilihatnya barusan.

“Nak Alisa, tenanglah.” Pak Andi berusaha menenangkan. “Ceritakan pelan-pelan supaya kami dapat memahami alasanmu itu,” katanya.

Wajah Alisa bermimik sulit didefinisikan. Namun, sangat jelas terlihat bahwa kesedihan dan amarah menjadi dua faktor paling tinggi menguasai tahta.

“Ini adalah kesalahan terbesar yang pernah kulakukan,” buka Alisa.

“Mengakhiri hidupmu?”  timpal Gistra.

Alisa menggeleng. “Bukan.”

“Lalu apa kesalahan terbesarmu?”

“Kesalahan terbesarku adalah menjadi manusia.»

Redup #DWC2020 [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang