“Benar-benar tidak habis pikir!”
Pandu menyandarkan bahunya ke badan kursi. Ia melipat kedua tangan seraya menatap Adika dan Melisa bergantian. Tak lama, lelaki berkumis tipis itu memajukan tubuhnya dan berbisik, “Aku setuju denganmu, Melisa.”
Yang dipuji hanya tersenyum tipis. Melisa masih belum mampu menghapus kesedihannya dari kisah yang Adika ceritakan.
“Kalau aku boleh tahu, kenapa kau menyebut kisahmu sebagai kisah seorang perantau di keasingan?” Gistra kembali bertanya, masih belum ingin bertemu akhir dari kisah pertama. “Juga, bagaimana dengan kumpulan kalimat yang kau gunakan di akhir cerita?”
“Tidak.” Penolakan tersebut disuarakan oleh seseorang yang sejak awal terdiam. Satu-satunya lelaki yang belum memperkenalkan diri di ruang diskusi itu, akhirnya melakukan sesuatu yang mampu membuktikan bahwa keberadaannya di sana bukanlah hanya sebatas fana. “Itu bukan sekadar kumpulan kata, tapi bisa dikategorikan sebagai puisi.”
Pandu memajukan bibir bawahnya dan mengangguk. “Memangnya, bagaimana cara memberi kategori suatu tulisan, huh?” katanya.
“Kau ini apa tidak pernah mengenyam pendidikan SMA?” Lelaki itu mengatakannya tenang--yang justru semakin mengintimidasi Pandu ketika menangkap sindiran halus kepadanya. Setelahnya, lelaki itu tidak menjawab. Ia kembali diam menjadi sosok yang seperti tidak pernah ada di sana.
“Tuan, siapa namamu?” kata Adika. “Anda sepertinya mahir dalam permainan kata, jadi bisakah mengartikan kalimat-kalimatku tadi kepada Gistra?” pintanya.
Lelaki itu terlihat lebih tua dibanding tiga anak Adam yang lain. Mulutnya masih terkunci rapat, seakan tak ada tanda bahwa ia bersedia mengabulkan keinginan Adika.
“Hei! Sepertinya aku kenal denganmu,” kata Melisa penuh antusias. “Kau Andi, bukan? Penulis yang terkenal itu?”
Mendengar sebuah nama yang tadi disebut, sosok lelaki tua itu mengangguk pelan.
“Wah, astaga! Apa-apaan ini?” ujar Melisa heboh. “Kau adalah idolaku, Pak! Sial sekali kita harus bertemu di tempat seperti ini.”
Pak Andi terkekeh lembut. “Tidak sial sama sekali, Melisa. Justru saya senang karena bisa bertemu dengan orang yang menyukai karya-karya saya, sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan dunia,” ujarnya.
Untuk beberapa waktu, jalannya pembicaraan mengenai kisah Adika harus terjeda sebab pertemuan idola-penggemar yang tidak disangka. “Iya, aku benar-benar menyukai ceritamu yang berjudul Menyerupa Ikan Bandeng di Kota Bandung!” Suara Melisa mengelilingi seisi ruang yang sudah dibaui oleh aroma petrikor selepas kepergian sang hujan.
“Tunggu, Menyerupa Ikan Bandeng di Kota Bandung itu judul?” sahut Pandu, ingin tahu. “Unik sekali.”
“Iya.” Pak Andi mengusap lengan sebelah kiri. Wajahnya pun sengaja dialihkan menghadap ke arah meja. Sedari tadi, belum ada sosok yang berhasil melakukan kontak mata dengannya. “Itu adalah tulisan saya yang sangat berarti. Sangat saya sukai, tapi amat dibenci oleh para ... apa, tuh, sebutan untuk pengguna internet. Warganet?”
“Bukan, Pak, tapi netizen,” sanggah Melisa. “Yah, maknanya sama, sih, tapi warganet macam kurang terkenal gitu.”
Gistra menepuk punggung meja sebanyak tiga kali. Itu berhasil untuk menarik perhatian mereka yang sedang bercengkrama. “Sudah-sudah, kita di sini masih harus membahas cerita Adika. Mungkin nanti, setelah ini Pak Andi yang akan berkisah. Bagaimana?”
Melisa menyetujuinya enerjik. Pandu mengangguk pelan, sampai-sampai tidak terdeteksi. Adika hanya tersenyum. Gadis di sebelah Gistra tidak merespons. Dan Pak Andi menjawab, “Hahaha, baiklah.”
“Bagus. Kalau begitu, apa Pak Andi bersedia memenuhi permintaan Adika yang sebelumnya?” ujar Gistra yang ditanggapi anggukan oleh Pak Andi. “Baik, silakan dijelaskan, Pak.”
Otak Pak Andi memutar perkataan Adika sebelumnya, sebuah kumpulan kata yang membentuk prosa kegelisahan. “Singkatnya Nak Adika membicarakan tentang keraguan. Entah itu pada diri sendiri, pada individu yang lain, ataupun pada Sang Kuasa. Pada akhirnya, jawaban dari suatu pertanyaan yang bersifat mengandalkan perspektif selalu berakhiran abu. Kita tidak dapat menyimpulkan benar atau salah dari hasil pemikiran seseorang,” jelas Pak Andi.
Adika mengangguk bangga, sedangkan Melisa dan Pandu menganga tak percaya. “Ah, begitu ....” Gistra bergumam pelan.
“Iya, kira-kira seperti itulah. Bagaimana, Nak Adika?”
“Benar, Pak, seperti itu,” timpal Adika, senang. “Aku juga selalu merasa sebagai keasingan di sebuah keramaian. Yah, mungkin karena memang aku seorang perantau, jadi wajar saja selalu merasa sebagai asing tiap kali berpindah tempat.”
Gistra menarik napasnya, lalu diembuskan pada detik selanjutnya. “Baiklah, rasanya kita sudah mempelajari sesuatu dari kisah yang Adika ceritakan. Jadi, bagaimana jika berlanjut ke Pak Andi, sebagaimana kesepakatan kita tadi.”
Adika, Melisa, Pandu, Pak Andi, dan seorang gadis yang belum memperkenalkan diri, menyetujui pernyataan Gistra.
“Pak Andi, silakan dimulai.”
Pak Andi berancang-ancang memulai ceritanya. Ia mengulum mulut dan tersenyum sebentar. Untuk pertama kali, Pak Andi melakukan kontak mata dengan semua yang ada di sana. Dapat jelas dirasakan dari caranya memandang, bahwa ada sebuah hampa yang bersembunyi malu di dalamnya.
“Baiklah, saya akan memulai cerita yang disebut dengan Kisah Seekor Ikan di Arus yang Berlawanan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Redup #DWC2020 [Tamat]
Ficción General[General Fiction || 15+] Juli menjadi saksi, tentang senang yang remang. Juli menjadi saksi, atas utas batas pantas. Pada bulan ketujuh, himpunan detik siap menuntaskan sang gemuruh, menjadi menit penentraman atas segala rusuh, hingga waktu mengakhi...