“Aku selamat dari kondisi kritis.”
Pandu kembali melanjutkan ceritanya. Seluruh penghuni ruangan merasakan kesakitan yang berbeda ketika Pandu bercerita. Sosok periang itu memiliki beban besar yang disembunyikan. Berbeda dengan Alisa yang memang seorang periang karena selalu gembira, Pandu berusaha bahagia sebagai upaya kesedihan yang selalu datang menimpa.
“Tidak lama setelahnya aku melakukan rawat inap untuk penyembuhan total. Tidak seperti sebelumnya, saat rawat inap aku diizinkan untuk berkeliaran di sekitar rumah sakit, seperti yang disarankan oleh dokter. Mungkin karena koma cukup lama, tubuhku harus kembali dibiasakan untuk bergerak. Mungkin karena itu juga sekarang wajahku dihiasi oleh kumis yang tipis. Jadi sewaktu ibu pergi meninggalkanku sendiri sementara waktu, aku berjalan-jalan santai di lobi rumah sakit. Sesekali pergi ke taman untuk menghirup udara segar.
“Di sana aku bertemu dengan beberapa pasien yang lain. Mulai dari balita hingga manula. Sering aku berbicara pada mereka dengan penuh semangat. Namun, setelahnya aku duduk seorang sendiri di taman rumah sakit. Benar seperti yang Adika katakan, berpura-pura bahagia itu memang melelahkan. Melihat burung-burung yang terbang penuh kebebasan adalah satu hal yang sangat kusukai. Yah ... setidaknya pasti ada mereka yang bisa hidup dengan bebas tanpa harus terikat kata normal yang divalidasi oleh masyarakat.”
Pandu diam sejenak. Ia menatap Alisa yang kelihatannya seperti menangis. Namun, tidak tahu pasti, soalnya sekarang mereka hanyalah sebatas roh tanpa raga. Pandu mengeluarkan lidahnya dan mengusili gadis itu.
“Suatu hari, seorang bapak-bapak datang dan duduk di sampingku tanpa permisi. Ia mengeluarkan sebungkus rokok dan bertanya kepadaku, 'apa kau keberatan?' yang kemudian kutanggapi dengan gelengan. Namun, entah apa yang terjadi, ia justru kembali memasukkan bungkus rokoknya ke dalam kantong jaket. Katanya, 'sial, aku lupa membawa korek'.
“Kami pun berbincang-bincang setelah itu. Ia menanyakan sakit apa yang kualami sampai harus mengenakan perban di kepala dan beberapa plester yang terdapat di wajah. Tentu aku tidak mungkin berbicara dengan jujur, mengingat pelaku dari kekerasan yang kualami adalah ayahku sendiri. Jadi kukatakan saja padanya kalau aku mengalami kecelakaan tunggal.”
Gistra tiba-tiba menyela, “Sebentar, Pandu.” Dan langsung membaca sekilas lembaran kertas yang ada di tangannya.
“Kenapa?”
Ia menggeleng. “Tidak-tidak, tadi aku merasa harus melihat catatanmu lebih dulu. Sila dilanjutkan.”
“Bapak itu kemudian mengatakan sebuah makna filosofis dari sebuah korek api. Terbilang random, mengingat kami baru saja bertemu dan berbicara karena tidak adanya korek api. Ia berkata, 'korek api, baik itu kayu maupun gas, sama-sama menghasilkan cahaya yang bisa kita asumsikan sebagai harapan. Namun, suatu saat api itu pasti akan padam. Entah kehabisan batang untuk dibakar, atau kekurangan cairan untuk diuapkan.' Aku belum paham apa maksudnya saat itu.
“Kemudian ia mulai menyambungkan pengertian itu ke dalam konteks kehidupan. Katanya, 'harapan itu pasti akan memiliki masa untuk merasa kadaluwarsa, sampai digantikan oleh harapan yang baru pun, tetap saja tidak akan bertahan hingga selamanya. Dan ketika harapan kita telah padam, itu berarti waktu kita juga sudah selesai.' Dan otak bodohku ini masih saja tidak mampu memahami maksud perkataannya.”
“Aku setuju,” tukas Alisa, yang dibalas Pandu oleh tatapan keingintahuan miliknya. “Aku setuju kalau otakmu itu bodoh.” Ia tertawa renyah setelah meledek Pandu.
Pak Andi kemudian berdesis. “Nak Alisa, jangan begitu ....”
Masih dengan tertawa, Alisa menjawab, “Iya, Pak, iya. Maaf.”
![](https://img.wattpad.com/cover/231177155-288-k306487.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Redup #DWC2020 [Tamat]
Fiksi Umum[General Fiction || 15+] Juli menjadi saksi, tentang senang yang remang. Juli menjadi saksi, atas utas batas pantas. Pada bulan ketujuh, himpunan detik siap menuntaskan sang gemuruh, menjadi menit penentraman atas segala rusuh, hingga waktu mengakhi...