“Seminggu setelah itu, Ayu dijemput oleh kedua orang tuanya.” Gistra kembali bercerita. Dengan suara yang tenang, ia berhasil merayu tiap-tiap pendengar untuk merasa nyaman di dalam kisah yang sedang disuarakan. “Tentu bagiku itu adalah hal yang membingungkan. Dilematis karena senang dan sedih yang datang bersama-sama. Namun, kurasa kadar senang yang timbul lebih mendomimasi dibanding kesedihan.”
Sejak awal bercerita, tidak ada satu pun penghuni yang berani menyela perkataan Gistra. Entah mereka sudah terlarut ke dalam cerita atau mungkin berusaha diam demi mendapat jawab atas rasa ingin tahu yang sebelumnya menghampiri. Perihal memori sendu yang ia miliki ketika masih disebut sebagai manusia.
“Hanya saja ....”
Kali pertama Gistra mematahkan kalimatnya sendiri. Para pendengar penasaran akan kalimat apa yang seharusnya melanjutkan, sampai Pandu akhirnya berkata, “Hanya saja apa?”
Gistra tersenyum. Bohong, seperti yang dikatakan oleh Ayu. Ia hanya menarik dua sudut bibir tanpa memasukkan makna senyuman ke dalam ekspresinya itu. “Hanya saja keesokan harinya, ayah Ayu datang ke rumah sakit dan mencariku.”
“Mencarimu?” seru Melisa. Tampaknya ucapan Pandu tadi memecahkan tembok yang sedari tadi mendiamkan mereka. “Untuk apa?”
“Entah.” Gistra menggedikkan bahu. “Awalnya juga aku bertanya-tanya. Tapi ketika menemuinya di ruang pimpinan rumah sakit, ayah Ayu langsung menghantamkan tinjunya ke tubuhku.”
Tanpa sadar, keterkejutan Pandu yang berlebih, membuat meja bundar itu sedikit bergetar. Katanya, “Apa, kenapa begitu?!”
“Ia menyalahkanku atas kematian Ayu.”
Hening.
Kematian Ayu membungkam seluruh keingintahuan para penghuni. Tidak ada yang berani berkata-kata setelah kalimat tersebut mengudara. Gistra paham bahwasanya ia baru saja mengucapkan sesuatu yang membuat suasana menjadi kaku. Namun, ia juga sadar kalau tidak mungkin ia bergabung dalam diam. Cerita ini masih belum sepenuhnya usai, masih ada beberapa hal lagi yang masih harus disampaikan agar tidak menjadikan mereka semua arwah yang penasaran.
“Ayahnya mendatangiku tepat setelah surat milik Ayu ditemukan. Ayu menggantung dirinya sendiri karena ingin melepas penderitaan bagi dirinya dan juga orang-orang di sekitar. Ayahnya menyalahkanku karena Ayu menyebutku di dalam surat itu.”
“Apa yang ditulis Ayu?” sahut Alisa. “Kenapa bisa-bisanya ia menyeret paksa orang lain untuk ikut masuk ke dalam keputusannya sendiri? Bodoh.”
Gistra menggeleng. “Tidak-tidak. Jangan berkesimpulan seperti itu dulu.”
“Lalu?” Adika memberi respons.
“Setelah memukul perutku, ayah Ayu mengucapkan terima kasih kepadaku terus-menerus. Aku kebingungan kenapa, tapi kemudian ia menjelaskan bahwa setidaknya Ayu merasakan bahagia ketika menjalani perawatannya di rumah sakit jiwa Nuspen.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Redup #DWC2020 [Tamat]
Ficción General[General Fiction || 15+] Juli menjadi saksi, tentang senang yang remang. Juli menjadi saksi, atas utas batas pantas. Pada bulan ketujuh, himpunan detik siap menuntaskan sang gemuruh, menjadi menit penentraman atas segala rusuh, hingga waktu mengakhi...