LEO - empat

32.3K 2.1K 24
                                    

Aku langsung memarkirkan mobilku dan mengeluarkan wanita itu. Memindahkannya ke atas brangkar dan ikut masuk ke dalam ruang UGD. Naya, perawatku, sepertinya kaget karena aku akhirnya datang juga.

"Dok?" panggilnya.

"Masih tidak ada dokter?" tanyaku.

"Sudah dok, tapi kenapa dokter kemari?" tanya Naya bingung.

"Sudah saya bilang kan, saya mabuk. Dan menabrak orang..." kataku membela diri.

Naya melihat wanita yang kubawa tadi dan kaget. Ya tentu saja kaget, karena seorang dokter yang seharusnya menyelamatkan malah membuat orang celaka! Tapi mau bagaimana lagi, aku yang salah karena mabuk dan menyetir mobil dengan kecepatan luar biasa.

Aku menghempaskan diriku di salah satu sofa yang ada di ruang tunggu di UGD. Tidak berniat untuk ikut campur dengan para dokter yang sedang memberikan pertolongan kepada wanita itu. Lagipula kepalaku juga masih sedikit pusing, walau rasanya mabukku hilang semua karena nyaris menabrak seseorang.

"Leo?" Aku langsung menoleh.

"Oh, elu.. tumben lu masih di sini." Tanyaku kepada Marcello, sahabat kuliah sekaligus dokter di rumah sakit ini juga. Sayangnya, aku dan dia tidak di satu departemen. Dia di departemen kesehatan jiwa.

"Ada sedikit urusan. Nah, lu sendiri? Ngapain juga ada di UGD? Lagian ini udah tengah malam kali. Ada panggilan?"

"Kalau ada panggilan mah, gue ga akan ada di sini. Di OR kali!"

"Jadi?"

"Tuh, gue baru nabrak orang karena mabok."

"Hah?!"

Aku terus memijat-mijat pelipisku sampai satu orang dokter mendekatiku dan memberi kabar tentang wanita itu.

"Dokter Leo,"

"Ya, jadi gimana keadaannya?"

"Ga ada yang serius. Hanya saja luka memar dan lecet di seluruh tubuhnya yang perlu mendapat perhatian. Jelas itu bukan karena tabrakan, tapi lebih mengarah kepada kekerasan." Jelas dokter UGD itu.

Aku mengangguk dan dokter itu pamit pergi. Hm, aku juga setuju dengan dokter tadi. Itu memang bukan luka karena aku menabrak wanita itu. Bahkan aku tidak menabraknya! Tapi itu karena kekerasan.

"Lu ngelakuin kekerasan, Le? Gila lu! Lu ngelakuin BDSM???" Teriak Ello tidak tahu tempat.

Aku langsung menoyor kepala Ello yang kelewatan pintar itu. Untung saja rumah sakit sudah sepi karena tengah malam, kalau tidak mau taruh dimana mukaku ini! Ck. Lagipula Mana mungkin aku seperti itu! Aku lebih suka cara yang biasa aja daripada yang ribet dalam melakukan seks! Aku ini kan dokter, ya masa aku menyakiti orang?! Yang benar saja!

"Mana mungkin! Lu liat sendiri deh gue apain tuh cewek."

Aku pun bangkit dari kursi dan berjalan ke ruang perawatan yang dokter UGD katakan. Hm... Kamar nomor 22. Di belakangku, Ello setia mengikuti sambil terus bertanya ini itu. Ck, kenapa Ello yakin sekali aku melakukan BDSM sih!

Aku dan Ello masuk ke ruang perawatan dan menutup pintu. Baru saja aku ingin membuka suara untuk memperkenalkan Ello dengan wanita yang nyaris kutabrak itu, Ello malah berteriak duluan.

"ALENA?!" Ello bergegas mendekati ranjang dan memperhatikan wajah wanita yang nyaris kutabrak itu dengan lekat.

"Lu kenal??!" tanyaku tidak percaya sambil berjalan mendekatinya. Siapa wanita yang dipanggil Alena? Pacarnya Ello?

"Jelas kenal! Dia kan pasien gue yang hilang seminggu lalu karena kabur!" Aku langsung terbelalak mendengar jawaban Ello. Tidak bisa ku percaya, ternyata aku menabrak......

"Orang gila dong?!?"

Giliran Ello yang menoyor kepalaku. Ck! Memangnya aku salah? Pasien Ello kan semuanya memang orang yang tidak waras, alias gila! Kalau tidak gila, untuk apa datang ke dokter spesialis kesehatan jiwa seperti Ello?!

"Yang gue rawat ga semua gila kali! Sembarangan aja lu!"

"Yeeee... mana tau sih! Lagian, kenapa dia kabur?" Kataku membela diri sekaligus penasaran. Bagaimana pun juga, wanita yang nyaris kutabrak ini menjadi tanggung jawabku sekarang. Aku yang membawanya masuk rumah sakit karena kesalahanku. Jadi setidaknya, aku harus tahu apa-apa saja mengenainya.

"Jujur, gue bahkan ga ngerti kenapa dia dirawat di rumah sakit jiwa."

"Maksud lu?"

Tok tok tok

Menyebalkan. Siapa pula yang mengetuk pintu? Wanita yang nyaris kutabrak tidak mungkin butuh apa-apa lagi. Juga tidak mungkin kalau itu suster Naya yang akan memintaku untuk operasi kan? Aku sudah bilang padanya kalau aku mabuk!

Apa mencari Ello? Tapi siapa yang mencari dokter jiwa malam-malam???

"Permisi Dok, Mm... itu... dokter Ello, dicariin sama Amara." Kata perawat itu malu-malu. Aku langsung menatap Ello dan menaikkan sebelah alisku. Amara ya?

"Jadi, udah nyampe mana lu sama dia? Tiap hari kan ketemu mulu. Pasti ada sesuatu tuh!" godaku.

"Nyampe rumah sakit jiwa!"

"Bilang aja 'nyampe di hatimu'!"

Aku tertawa terbahak-bahak melihat muka Ello kesal sambil menggerutu. Ck! Dasar Ello, kenapa hubungan dia sama Amara lucu sekali sih! Tiap hari ketemu, tiap hari mengobrol, tiap hari bersama... Orang buta saja mengira mereka pacaran, masa iya Ello mengaku belum?!

"Diem deh lu! Gue sama Amara ga ada apa-apa! Gue duluan.. Besok baru ke sini lagi! Sekalian mau nganter Amara pulang karena dia ga bawa mobil hari ini. Bye!"

Aku hanya bisa tersenyum geli dan geleng-geleng kepala melihat Ello pergi. Ck, bagaimana mungkin aku punya sahabat yang tidak jujur sama perasaannya sendiri? Apa dia mau pendam terus sampai berubah gila?

Lucu kan kalau nanti ada headline news mengenai seorang dokter spesialis kesehatan jiwa terkena gangguan jiwa? Bahahahhaa...

Sudah-sudah... Ada hal yang lebih penting yang harus aku pikirkan sekarang.

Alena... Siapa dia sebenarnya?

I Love Her 1 : LeonardoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang