LEO - delapanbelas

27.9K 1.9K 26
                                    

Makan malam terjadi dengan sangat hening karena insiden burung dan kerangkeng. Padahal rasa masakan Alena sangat enak, tapi rasanya lidahku tudak mampu bergerak untuk mengucapkan kalimat apapun!

Ini karena insiden burung dan kerangkeng sialan!

Setelah makan malam, Alena segera membereskan semua piring dan mencucinya. Aku sendiri langsung berjalan ke sofa dan menyalakan televisi. Sebenarnya aku masih sulit percaya sama kejadian tadi. Alena bicara dan aku sangat terharu! Itu artinya Alena sudah membuka dirinya kan? Itu artinya dia sudah benar-benar percaya padaku?

Huff...

Syukurlah! Aku kira butuh bertahun-tahun lagi untuk menunggu hari ini tiba! Ternyata kesabaran itu harganya mahal.

Alena menghampiri sofa dan duduk di sebelahku. Aku dan Alena menghabiskan sisa malam ini dengan menonton televisi. Alena kembali diam. Yah, mau tak mau berarti aku yang harus memulai pembicaraan.

Walau aku masih malu dengan kejadian burung dan kerangkeng, tapi aku merasa tidak nyaman kalau harus diam terus. Sudahlah, anggap saja kejadian tadi tidak ada! Itu lebih aman bagi kami berdua.

Aku mulai menceritakan kegiatanku di rumah sakit hari ini. Jujur saja, nyaris setiap malam aku seperti membuat laporan untuk Alena tentang apa saja yang aku lakukan di rumah sakit seharian. Dari jam tujuh sampai jam tujuh. Dua belas jam yang kulewati bisa aku ringkas dalam cerita sepanjang dua jam! Hebat kan?

Biasanya aku mulai ceritaku dari saat aku sampai di rumah sakit. Bertemu dengan satpam yang menanyakan kabar. Lalu aku juga bercerita tentang Amara yang semakin gencar mengejar Ello, bahkan sampai ke toilet! Memang dua orang itu anehnya tidak ketolong lagi. Oh, aku juga cerita tentang Nico yang curhat soal pasien genitnya. Yah, Nico kan pekerjaannya selalu berhubungan dengan wanita. Walau wanitanya sudah punya suami, tapi tetap saja bisa genit-genitan sama Nico!

Itu biasanya, tapi hari ini luar biasa. Aku ditelepon pagi-pagi di hari Sabtu indahku untuk segera datang karena ada kecelakaan bus menyebabkan sepuluh orang luka parah. Kekurangan dokter bedah, jadi aku langsung berangkat! Setelah itu aku malah diminta Dokter Rusdi untuk menjadi asistennya dalam pencangkokan hati!

Syukurlah semua selesai dengan segera dan aku bisa oulang cepat. Tapi aku malah tidak menemukan Alena dimana-mana. Ck!

Aku masih sibuk bercerita tentang prosedur pencangkokan hati yang dilakukan Dokter Rusdi sambil membayang-bayangkan yang tadi terjadi di OR. Aku banyak menggunakan bahasa kedokteran yang aku yakin setiap kali Alena mendengar ceritaku, dia kebingungan. Tapi hebatnya, Alena mendengarkan dengan setia!

"Leo..." panggil Alena membuatku berhenti bercerita.

Aku langsung menoleh dan sedikit kaget. Jelas saja aku kaget, karena biasanya dia tidak pernah menginterupsi apa yang kuceritakan! Selama ini dia seperti batu dan sekarang dia bukan lagi batu!

Dia bersuara dan ... Suaranya membuatku seperti tersengat aliran listrik. Apalagi jika dia memanggil namaku!

"Y-ya?" Sahutku gugup.

Ah, ini pertama kalinya kami melakukan komunikasi dua arah! Aku tidak lagi bermonolog sendirian!

"Kenapa kamu ingin menjadi dokter bedah?" tanya Alena dengan wajah polos.

Aku terdiam. Jujur saja, aku tidak pernah menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti ini. Tidak pernah! Bahkan saat aku mau mengambil spesialisasi bedah, para calon mahasiswa yang lain ditanya tapi aku tidak! Bahkan aku tidak perlu ikut tahap wawancara dan langsung lulus!

Pertanyaan ini benar-benar membuatku bungkam! Aku bingung. Tapi apa yang ku harapkan? Alena tidak mungkin bertanya mengenai perbandingan operasi-operasi yang ku lakukan kan?

I Love Her 1 : LeonardoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang