Fajar kembali menyongsong hamparan pasir putih yang kini mulai basah tergerus ombak. Kapal-kapal yang mulai berayun mengikuti irama ombak pun berdecit bersahutan. Setiap orang mulai menampakkan batang hidungnya kala matahari sudah menampakkan bentuknya yang utuh.
Setiap rumah pun sudah mengeluarkan asap yang berkepul, tanda nyonya di setiap rumah itu tengah berkutat dengan bahan-bahan masakan.
Sama halnya dengan apa yang tengah di lakukan anak-anak panti asuhan “Cahaya Mentari”. Seorang gadis yang nampak lebih tua dari anak panti lainnya tengah sibuk mencuci sayuran diiringi dengan sang Ibu panti yang tengah menggoreng tempe, tahu, dan bahan gorengan lainnya.
Sedangkan anak panti yang berusia di bawahnya tampak antusias menunggu masakan siap sambil duduk di meja makan menatap ke arah mereka.“Runa, tolong ambilin saus tiram di kulkas, Nak,” pinta Bu Rani seraya melanjutkan aksi menggorengnya.
“Iya, Bu.”Selang beberapa menit masakan mereka pun sudah tersaji dengan rapi di meja makan yang berukuran lumayan besar. Cukup untuk 20 orang.
Adik panti Runa begitu lahap menyantap makanan yang Runa dan Ibu Rani masak. Tidak ada yang berbicara saat makan, itu adalah aturan tetap di Panti itu. Selain karena tuntunan agama, hal itu dilakukan agar tidak ada yang tersedak dan mereka bisa fokus makan dengan baik.
10 menit kemudian acara sarapan pun selesai. Satu persatu dari mereka mulai berhamburan keluar dari meja makan menuju kamar masing-masing. Bersiap untuk pergi ke sekolah ataupun bermain di taman bermain samping panti.
Bu Rani yang sedang mencuci piring pun terkejut saat tanpa suara Runa bertanya padanya.
“Bu—“
“Ya Allah! Runa kamu ini. Bikin Ibu jantungan.”
“Hehe .... Maaf, Bu. Runa nggak niat kagetin Ibu. Itu Runa mau bilang kalo nanti bawa jajanannya dikit aja ya, Bu.”
“Loh, kenapa bawa dikit? Nanti kasian dong langganan yang lain nggak dapat jatah,” ucap Bu Rani seraya mengelap tangannya yang basah sambil berlalu menuju meja makan.
“Ya gimana ya, Bu. Abis temen-temen banyak yang ngutang katanya Mbak Ira. Kita kan nggak dapat untung jadinya. Padahal juga mereka bisa beli bakso sama es yang di atas 3000 an. Giliran beli jajanan kita malah ngutang.”
Runa berkata sambil menunduk dan tangannya yang tak bisa diam tanda bahwa ada rasa gugup dan takut yang sedang dia rasakan.
“Nggak apa-apa, Nak. Kalo emang belum rezekinya juga bakalan tetep ada yang hutang meskipun jualan sedikit. Doa sama Allah gimana baiknya, doa supaya di lancarkan. Kamu bantuin Chika sama Fatma gih. Kasian mereka kalo telat masuk di hukum di lapangan,” perintah Ibu Rani sambil menunjuk pintu kamar yang berada di belakang Runa tepat di sebelah pojok.
Dengan lesu, Runa melangkah menuju kamar sesuai perintah sang Ibu panti. Dia tahu pasti ibu pantinya itu, tidak akan mengurangi jumlah jajanan yang dijual meskipun banyak yang menghutang. Padahal, tujuan Runa hanya ingin mengurangi kemungkinan kerugian yang terjadi.
Runa membuka pintu itu perlahan lalu menutup kembali setelah masuk ke dalamnya. Terlihat adik pantinya yang masih berusia 13 tahun itu tengah repot memakaikan baju pada Anggi dan gita, adik pantinya yang kini sudah menempuh pendidikan di taman kanak-kanak.“Sini biar kakak aja yang makein baju,” pinta Runa yang langsung di turuti oleh Chika dan Fatma. Mereka kemudian beralih pada adik panti yang lain. Setiap pagi adalah waktu yang sangat menyibukkan bagi anak panti yang berusia 12 tahun ke atas. Selain mereka membereskan panti, mereka juga membantu Ibu Rani melakukan pekerjaan rumah yang lain seperti memasak, mencuci, dan memandikan serta mendandani adik panti mereka.