Coklat, parsel, buku-buku. Begitu banyak yang Genta beri pada Panti Asuhan, tapi tak pernah cukup baginya. Selama Runa belum melirik dirinya dan selama Runa masih begitu tertutup dengannya, dia akan terus berusaha.
Lastri pun tak masalah, asalkan dia benar-benar mendapatkan calon mantu. Lastri juga tidak bermimpi yang muluk-muluk soal calon menantunya. Asalkan dia perempuan dan anak baik-baik saja sudah cukup.
Lastri tengah menyiapkan bekal untuk di bawa Parman—sang suami bekerja. Dia begitu sibuk di dapur. Padahal waktu masih menunjukkan jam 03.00 pagi. Sedangkan Parman sudah berada di belakang rumah, mendendangkan lagu dangdut favoritnya sembari memberi makan Hellen—kambing kesayangannya dan menyirami beberapa tanaman.
Untuk Genta, dia memiliki perubahan siklus hidup yabg signifikan, jika sebelumnya bangun subuh lebih awal, kini Genta selalu bangun pukul 03.00 karena ingin usahanya mendekati Runa membuahkan hasil.
Menjengkelkan memang, saat ada maunya dia baru melaksanakan ibadah sunnah itu, tapi mau bagaimanapun ia harus melakukan itu karena dia masih tau bahwa Allah yang mengabulkan semua doa hamba-Nya dan mengatur jalan hidup hamba-Nya. Setidaknya dia bisa berharap pada tempat yang tidak salah, Lastri pun sudah senang.
Di tengah sibuknya Lastri, tiba-tiba sebuah tangan melingkar di perutnya dari belakang. Jika ditanya apakah itu Parman? Jelas tidak, Parman hanyalah suami biasa yang tidak terlalu suka keromantisan seperti novel telenovela.
Dia adalah Genta. Ya, semenjak dulu hingga kini jika ada masalah dia akan memeluk Lastri dari belakang dan akan mengutarakan masalahnya di balik punggung Lastri. Menurut Genta, dengan posisi seperti itu dia bisa lebih leluasa menjelaskan masalahnya tanpa tersendat karena rasa malu.
“Kenapa, Le?” tanya Lastri yang masih melanjutkan aksi memasaknya.
“Hmm....”“Kenapa? Udah cerita aja, sopo weroh Bukne bisa bantu.”
“Genta mesti gimana, Bukne?”
“Gimana opone?”
“Runa, Bukne. Dia nggak ngelirik Genta sama sekali Bukne. Semua hal yang dia suka udah Genta lakuin. Tapi belum luluh juga anaknya. Genta ajak ngobrol dia juga masih cuek dan kayak ngehindar gitu Bukne,” curhat Genta pada Lastri masih dengan posisi memeluk Lastri dari belakang.
“Dia kayaknya persis banget sama Bukne dulu. Bedanya Bukne cuek karena emang cuek. Paknemu itu dulu mati-matian ngejar Bukne. Bahkan, sampek Bukne berangkat ke Surabaya buat kerja juga dikejar.”
“Terus gimana Bukne bisa luluh sama Pakne?”
“Paknemu itu bikin Bukne terenyuh. Dia adzan di mushola keluarga Bukne dulu. Suaranya MasyaAllah, Bukne sampek nggak bisa ngapa-ngapain cuman diem aja sambil mikir. Kenopo suaranya sebagus itu yo? Terus akhirnya dia jadi imam sholat. Luwes banget Paknemu itu kalo ngimamin Sholat. Abis gitu baru Bukne mau sama Paknemu.”
Genta terdiam, dia memang memiliki bakat alamiah seperti bapaknya yang memiliki suara serak bass merdu. Namun, dia tidak menunjukkan itu pada Runa karena setiap dia datang di luar jam sholat. Pikiran Genta berkecamuk, dia masih merasa kurang pantas jika menjadi imam sholat untuk orang lain, tapi kalau cara ini tidak di lakukan apakah Runa akan meliriknya?
“Ya udah Bukne. Nanti Genta coba kalo gitu,” ucap Genta sambil melepaskan pelukannya kemudian berjalan ke kamarnya untuk mengatur strategi sebaik mungkin nanti.
*****
Suasana panti masih sama dengan biasanya. Anak-anak panti yang masih berusia balita bermain di taman Panti, Runa yang membaca buku di kursi taman, Bu Rani yang akan memasak dan mengurus panti sambil mengawasi anak-anak panti di luar, dibantu juga dengan beberapa anak panti yang berusia di bawah Runa.