Chapter 3

2 1 0
                                    

Sejak kepulangan Salfira di panti asuhan, tidak ada lagi pembahasan tentang siswa kakak kelas Runa yang menurutnya adalah anak yang baik. Semua juga berjalan lancar-lancar saja. Seringnya Tara membeli jajanan yang di jualnya dan sesekali mampir ke panti untuk mengetahui cara membuatnya pun membuat mereka semakin dekat. Terkadang Runa juga pulang bersama Tara ketika Salfira tidak pulang ke panti bersamanya.

Kelas saat ini sedang sepi, hanya ada beberapa siswa yabg terkenal dengan julukannya sebagai kutu buku saja yang masih bertahan menatap lembaran-lembaran buku bertuliskan rumus-rumus logaritma dan limit. Seperti halnya Runa yang saat ini tengah fokus memandangi soal yang ada di hadapannya.

Dia merasa aneh dengan jajaran angka yang ternyata masih salah meskipun sudah ke 10 kalinya dia mengulang. Apakah dia bodoh? Justru tidak, karena dia adalah jawaranya matematika dan sering kali mengikuti Olimpiade Sains di sekolahnya. Dia hanya memastikan keakuratan jawabannya, terlebih ini bukanlah soal biasa. Melainkan soal Olimpiade Matematika Nasional yang akan dia ikuti pekan depan.

Sedangkan Salfira, dia juga masih bertahan di kelas ini bersama Runa di sampingnya. Tetapi Salfira tetaplah Salfira. Dia berbeda dengan siswa dan siswi lainnya di kelas. Dia memang tengah fokus, tapi fokusnya hanyalah pada sebuah layar ponsel yang menayangkan sebuah drama dengan pemain yang tampan bak pangeran dan cantik bak putri kerajaan.

Semua sudah terbiasa dengan itu, belajar atau membaca buku sambil di temani suara drama dan terkadang diiringi dengan tangis Salfira saat terharu dengan adegan di drama yang ia tonton.

Pandangan Salfira yang semula fokus pada layar gawainya pun beralih pada Runa yang saat ini terus menghela nafas berat berulang kali.

“Kamu kenapa?” Runa hanya melirik Salfira sekilas lalu menghela nafas kembali sambil menatap tumpukan kertas hasil dari soal-soal yang ia kerjakan.

“Di tanya kok nggak jawab malah gitu sih, kamu kenapa? Jawabannya salah mulu?”

“Kayaknya nggak salah sih, kamu liat dari tadi jawaban aku sama dan hasilnya benar semua.”

“Lah terus kenapa nafasnya berat gitu?”

“Aku yakin jawabannya nggak semudah ini pasti, pasti jawabannya lain bukan ini, tapi dengan cara yang berbeda.”

“Ya udah kamu pake cara yang lain aja kan bisa.”

“Kamu pikir semudah itu apa, aku udah coba berkali-kali bedain cara, tapi jeluntrungnya ke situ lagi.”

Salfira yang melihat wajah Runa pun tersenyum kecut. Meskipun dia teman karib dari Runa, tapi tetap saja dia tidak sepintar Runa dan keahliannya adalah di bidang teater. Dia memang teman yang tidak serbaguna di saat seperti ini.

“Eh, gimana kalo nanti pulang sekolah kita mampir ke pasar malam yang udah buka pas siang?” ajak Salfira sambil menatap Runa dengan jarak yang dekat, kebiasaan Salfira yang hanya dia tunjukkan pada teman yang sudah seperti saudaranya sendiri. Dia merasa jika menatap dengan jarak yang dekat, lawannya akan melihat puppy eyes-nya dan mau menuruti kemauannya.

“Kayaknya aku nggak bisa deh.”

Mendengar itu tubuh Salfira yang semula menempel pada Runa pun akhirnya menjauh. Menghentakkan kakinya lalu meraih gawainya kembali. Menonton drama kesukaannya yang kini menjadi tak minat untuk dilihat.

“Ya maaf, Ra. Aku udah ada janji sama seseorang,” ucap Runa dengan gelagatnya yang terlihat tidak enak hati pada Salfira, karena sudah terhitung cukup sering dia menolak permintaan Salfira agar untuk ditemani.

“Seseorang? Kakak kelas otak bulus itu lagi?”

“Ih kamu mah. Jangan asal njeplak aja. Dia itu orang baik-baik ya. Kamu itu jangan suka menjelekkan orang kalo belum tau lebih jelas.”

ArunaSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang